Jumat, 20 Maret 2020

Social Distance Kawanan Dino di Hunian 36m2



Terhitung sejak Senin, 16 Maret 2020, baik anak-anak dan suami mengikuti anjuran Guberbur DKI dengan melakukan social distancing terkait meningkatnya status penyebaran Covid-19 menjadi pandemi. Work From Home dan Home Learning. Begitu bahasa kerennya. Alias apa-apa #dirumahsaja. Sebagai seorang ibu rumah tangga, hal ini bukan situasi baru, maklum masih punya anak kecil yang belum sekolah. Jaga kandang dah jadi pekerjaan utama saya. Belum lagi, saya pun termasuk introvert. Maka kerja di rumah (yang berduit maupun ga), olahraga via youtube, bikin konten di rumah, dah lazim ada di jadwal saya. Namun, rupanya tidak membuat saya jadi lebih mudah menghadapi semua ini.

Karena ini bukan liburan. Ketika anak bebas main game di ponsel, nonton sampai belekan, main di luar sampai dekil, atau ke mal hingga duit habis. No. It’s not like that. School from home artinya ada tugas yang disampaikan gurunya. Ada tahfidz yang kemudian jadi dilakukan via online.
Hari pertama, ketika semua masih kagok. Para orangtua lintangpukang. Koordinasi sana-sini. Dokumentasi, lalu share ke nomor yang terkait. Belum lagi anaknya bertingkah karena merasa tengah liburan. Yang dari pagi dah nagih soal, tapi karena belum ada dia jadi main dulu hingga siang. Dan begitu siang, sudah ga mood. Akhirnya butuh 3 jam untuk menyelesaikan 20 soal. Semua usaha ini dikalikan dengan jumlah anak. Itu pun masih ditambah, pertengkaran rutin para kawanan dino. Hasilnya? Senewen tingkat tinggi. Kepala saya pening, mata berkunang-kunang saat magrib menjelang.



Hari kedua, sudah ada jadwal. Disesuaikan dengan jam sekolah. Akhirnya dua ponsel saya jadi bermanfaat. Tadinya hanya satu yang diaktifkan, tapi karena masing-masing anak dapat tugas yang terkadang berupa soal baru yang tidak ada di buku, jadi yah masing-masing pegang, kecuali saya. Ketergantungan saya pada gawai diuji nih. Dari pukul 7 hingga pukul 12. Rupanya penjadwalan ini, membuat anak laki-laki saya kewalahan. Padahal di sekolah toh sama saja muatannya, entah kenapa motivasi berkurang. Mungkin karena tidak ada faktor main di lapangan, jajan di kantin ... Jadinya begitu pukul 11, dia mulai meraung-raung ga jelas. Cuma gara-gara tidak bisa jawab soal, yang dia dah tidak punya hati untuk berpikir jernih pun melihat di buku pelajarannya. Aksi ngambek yang dimulai dari pagi ini dan berlanjut ke siang ini, muncul lagi jelang sore. Akhirnya sesi tahfidz yang biasanya video call dan saya dampingi, saya lepas saja. Terserah deh hasilnya bagaimana. Hasil akhir? Entahlah ...


Hari ketiga, seperti hari kedua. Si kakak sudah bisa mengikuti ritme. Pagi-pagi mengerjakan soal di lorong hingga Om OB datang untuk bersih-bersih. Sebelum zuhur sudah rampung, meski dia ga harus menyetorkan foto kegiatan hari itu. Sementara si anak tengah, dan lagi-lagi anak laki, masih meneruskan mode berulahnya. Tugas dari sekolah sudah mulai bervariasi. Hari itu ada pelajaran agama yang diminta menyerahkan foto dan video saat tengah melaksanakan shalat dhuha dan fardhu. Meski dengan protes sana-sini, “kenapa harus difotoooooo!” akhirnya terlaksana juga tapi Amy ga sempat bikin background rapi. Ya sudah lah, biarin kelihatan jemuran bajunya. Ternyata tidak hanya itu tugas agamanya. Satu lagi, diminta membuat list perbuatan baik di rumah. Nah loh. Anaknya lagi rese begini. Alhasil, hingga jelang pukul 8, saya belum bisa kirim laporan, karena memang belum ada perbuatan baiknya. Wong, bikin kesel melulu. Ya sudah, saya serahkan pada si anak silahkan berasumsi sendiri, apa perbuatan baiknya hari ini. Ditulisnya, “mengambil selotip untuk Amy”. Iye, itu doang yang dia kerjain!!!! (breath in, breath out).



Hari keempat, setelah amukan pol Amy di hari Rabu, saya agak lelah kalau harus ngegas juga hari Kamis ini. Syukurnya gurunya kian kreatif memberikan tugas, dibagikannya video yang kemudian saya balas dengan permintaan voice note dari dirinya. Untuk mengobati rindu anak-anak muridnya. Well, actually, saya yang rindu mengirim anak-anak ke sekolah. Berasa ga sih kalau rasanya kurang berterimakasih pada guru-guru anak-anak kita? Hari ini edisi baper bin mellow lah. Saya pikir variasi tugas dari gurunya akan bikin anaknya lebih semangat. Eh mulai lagi dong tantrum ... kali ini bukan karena susah, tapi karena menurut si anak laki, terlalu banyak soal yang harus disalin sementara waktu sudah menunjukkan pukul 12. Setelah beberapa menit mendengar dia meraung-raung, saya putuskan mendekatinya. Elus-elus dadanya, tanya masalahnya apa. Yak, ilmu parenting Cuma bisa dilaksanakan kalau ortunya juga lagi waras. Kalau lagi ga, mending di kamar aja deh. Anyway, dalam derai airmatanya, si anak laki berucap, “buat apa aku terusin lagi, sudah jam 12!! Nanti ga dinilai lagi!!” Yaelah, anak cowo drama.

Lalu saya kirim pesan ke gurunya. Gurunya bilang akan menunggu, lalu menambahkan, “di sekolah juga tulisnya banyak tapi selesai.” Dan anaknya kemudian tenang sendiri dan mulai melanjutkan tugasnya. 30 menit kemudian, selesai. Eh tapi itu belum selesai, ada tugas PJOK. Saya pikir disuruh kirim video senam, rupanya diminta mengirimkan foto Perbuatan Menjaga Kebersihan di Rumah. Here we go again. Eh tapi rupanya si anak cowo malah semangat ketika diminta lap lemari buku dan difoto saat membereskan mainan- dengan catatan yang difoto pas taruh kotak mainannya, bukan lagi beberesnya. Malu rupanya dia kalau aib kamar kaya kapal pecah gara-gara dia tebar mainan terumbar bahkan viral di media sosial ^^. Urusan tahfidz juga lumayan. Dia jadi belajar menggunakan fitur mengakhiri video (iye, itu kali-kali pertama kawanan dino menggunakan fitur video call secara intens), mematikan suara alias mute saat group video call dan sekarang belajar menggunakan voice note.

Yap hari ini, hari kelima, ada satu pertanyaan yang diminta gurunya disampaikan via voice note. Harus tepuk tanganlah buat walikelas si anak cowo ini. Karena kalau di sekolah negeri kan yah tergantung kapasitas dan kreativitas gurunya supaya ga monoton kirim-kirim tugas untuk muridnya. Harus dijaga interaksinya. Mengingat belum tentu semua anak bisa diajak kumpul via zoom atau google classroom. Pagi ini, guru agamanya mengirimkan voice note agar setiap anak melakukan tadarus pagi. Pembiasaan yang memang dilakukan setiap Jumat. Mana harus difoto pulak. Anak cewe ribet harus pakai kerudung dan ganti celana panjang dan didobel jaket. Maklum belum pada mandi. Dan anak cowo (yes, dia lagi) ngambek karena terpaksa menghentikan tontonannya, Harry Potter and the Sorcerer Stone untuk ke sekian juta kalinya. Akhirnya tadarus sambil pangku alQuran tapi ditutup lalu lama-lama tiduran. Yeah, tadarusnya di luar kepala. Malah saya yang dikoreksi sama dia. But guess what, sekarang pukul 9 pagi, dan dia sudah selesai semua tugasnya. Mungkin karena lebih sedikit dan karena senang dengan salah satu latihan yang pakai google form, juga karena Harry Potter maraton di TV ... yah sudahlah.

Sehari-hari memang nyaris tidak berubah. Saya tetap membangunkan mereka saat subuh dan masih memberi kesempatan bagi mereka main di luar selama 30 menit karena aslinya mereka anak outdoor. Sementara bapaknya, meski judulnya work from home, lebih tepatnya bagi dia adalah work from coffee shop karena kayanya sulit bagi dia kerja kalau digelayutin sama kawanan dino. Sementara saya, yah porsi masak saya jadi banyak sih. Belum lagi diminta suami agak ngestok makanan sebelum harga naik. Kulkas saya yang biasanya isinya kembang es aja, jadi penuh, tumben. Walaupun kepadatan makanan ini sebenarnya akan habis dalam dua minggu, tapi setidaknya ga harus belanja setiap hari. Tapi tiap hari ada aja sih yang perlu dibeli, batere komporlah, roti lah, selai lah, sayur lah. Yah intinya dilakukan pagi-pagi banget biar ga ketemu banyak orang, belanja cepet-cepet, langsung pulang. Ga pakai selfie-selfie ... ^^

Semoga semakin hari kami semakin baik. Begitu juga bumi.


Jumat, 28 Februari 2020

JJS: Sail & Dinner Trip ke Museum Sejarah Jakarta & Pelabuhan Sunda Kelapa


Sudah lama sebenarnya ingin ikut tur dalam kota sama komunitas sejarah atau komunitas pejalan kaki. Kali ini dapat tema dan waktu yang pas bareng Indonesia Hidden Heritage. Yang saya incar adalah Pelabuhan Sunda Kelapanya dan disebutkan akan makan malam di Marina Batavia, persisnya di rooftop nya. Bayangan akan laut dan langit senja tentu membuat semangat saya melambung-lambung. Bayarnya cukup murah, Rp. 165000,- saja sudah termasuk makan malam.


Memang, bisa lebih murah kalau jalan sendiri, tapi yah beda berapa sih, terkadang kan bareng-bareng yang lain meski ga ada yang kenal bisa menciptakan pengalaman tersendiri. Maka setelah saya mampir ke dua Museum: Museum Bank Mandiri untuk melihat Pameran Opera Omnya dan Museum Bank Indonesia yang sebenarnya cuma mau numpang kamar kecil tapi jadinya tawaf juga di dalam sana, saya bertemu dengan rombongan dengan dresscode sailor alias nuansa garis biru putih. Hampir semuanya perempuan. Ada sih laki-laki, last minute tapi. Itu pun orang Indonesia yang baru balik dari Kanada. Lalu ada satu bule, karyawan IKEA. Kalau ga salah ingat, ada 11 orang belum terhitung pemandu dari Indonesia Hidden Heritage.




Awalnya, saya pun kaya yah relain lah, karena saya sudah beberapa kali ke Museum Sejarah Jakarta. Apalagi status saya lulusan Program Studi Belanda. Ceritanya sombong. Tapi rupanya dengan menggunakan guide dari Museum Sejarah Jakarta, saya baru tahu kalau ada yang namanya Ruang Mural. Saya selalu melewati ruangan ini tapi ga pernah benar-benar menyimak kalau isinya adalah bakal mural. Maklum, yang sudah diwarnai baru satu setengah sisi, selebihnya masih sketsa karena pelukis nya meninggal dunia. Duh kalau tahu begini, jadi ingat keterangan di pameran Opera Omnia terkait usaha para seniman mengembalikan lagi warna karya Leonardo da Vinci atau ya bahkan membuat replika dengan resolusi tinggi seperti yang dipamerkan di Museum Bank Mandiri. Harusnya sih bisa ya... soalnya sudah ada yang mulai pudar.. Malah saya inginnya diwarnai saja full.. Biar tuntas...





Setelah dari Museum Sejarah Jakarta, kami naik angkot dari depan Museum Bank Mandiri menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Lucu sih, ada yang sudah lama ga naik angkot, bahkan ada yang belum pernah naik angkot. Kayanya kalau trip begini memang ga bisa manja-manja, yang penting semua bareng-bareng.


Butuh sekitar 15 menit sebelum kami tiba di tujuan. Kebayang kalau kami memilih jalan kaki hahahah... Pelabuhan Sunda Kelapa pernah menjadi pelabuhan utama pada masanya. Kini, Pelabuhan Sunda Kelapa hanya beroperasi untuk kegiatan antar pulau. Yah, kan Jakarta punya banyak pulau. Banyak kapal-kapal phinisi bersandar. Dan tentu saja tumpukan kontainer yang menggelitik hasrat selfie saya. Di Pelabuhan Sunda Kelapa, kami mencoba naik perahu. Satu alasan kenapa saya tidak ajak kawanan dino, karena sudah menyangka akan naik perahu kecil yang sangat rentan terbalik kalau penumpangnya ga bisa tenang.




Langit biru terang dan air laut ga banyak sampah apalagi bau, jadi berperahu 30 menit itu terasa melayang begitu cepat. Sekadar melihat dua mercusuar merah dan hijau yang saya tidak tahu apa cerita di baliknya. Juga untuk merasakan berada di tepi Jakarta. Saya membayangkan, kapal-kapal dari Rotterdam pernah bersandar di sini.





Lepas naik perahu, kami berjalan ke destinasi terakhir yaitu Marina Batavia. Sebuah gedung tua berbatasan merah yang sempat terlihat dari perahu kami tadi. Saya yakin tempat ini dulunya adalah tempat yang terkait dengan urusan pelabuhan. Entah itu kantor atau tempat lelang. Yang pasti, itu bukan tempat makan dari dulu.




Meski kami disambut oleh patung dengan kostum tentara Belanda di gerbang, tapi interiornya justru lebih terasa nuansa tiongkoknya. Entah karena memang hari itu tengah perayaan cap go meh atau karena yang mengelola adalah keturunan Tionghoa. Apa pun, bagi saya itu menggemaskan, rasanya mau berlama-lama di situ. Tamu-tamunya juga banyak yang datang karena kumpul keluarga dalam rangka Cap Go Meh. Di sekitarnya, bersandar kapal-kapal modern... Milik pribadi kayanya.





Kami langsung ke lantai teratas untuk mengejar momen matahari terbenam.  Sayang, awan toska tengah tebal sehingga menutupi matahari. Namun, pemandangan laut dari balkon selalu membuat saya bahagia. Apalagi pemiliknya mengemasnya dengan cukup apik sehingga kami dapat berfoto-foto di berbagai sudut dengan antusias.


Sekalian saja ya saya review Marina Batavia hehehe... Saya secara pribadi suka tempatnya. Tempat ini sepertinya juga digunakan untuk acara perkawinan baik itu indoor atau outdoor. Yang menyenangkan adalah, disediakan tempat shalat. Dan tempatnya tuh cakep. Lucunya papan penunjuk musholla berada di ruangan yang saya yakini adalah tempat untuk pemberkatan perkawinan. Pokoknya ga selesai-selesai deh foto-fotonya






Acara diakhiri dengan makan malam bersama. Bercengkerama lebih lanjut dengan teman-teman baru. Hingga tibalah waktunya kami harus pulang. Nah, di sini nih baru ada kendala... Susah banget order taksi online. Kebanyakan maps nya akan mengarahkan lewat Ancol yang notabene jadi lebih jauh bahkan tersesat. Jadi lebih 30 menit kami menunggu dan untungnya bisa dilewati dengan mencari spot foto bahkan tiktok-an ...


Saya pasti akan ikutan lagi kalau waktu dan temanya pas. So far, dikeker terus di IG dan FBnya Indonesia Hidden Heritage jika ada info terbaru. So  much fun.

Rabu, 26 Februari 2020

RABUku: AYESHA (Uzma Jalaluddin) - Cinta lewat Prasangka




Kaya judul buku yang lain ya. Pride & Prejudice. Kebetulan buku ini disebut-sebut sebagai versi muslim untuk novel klasik ini loh. Dan ini buku terjemahan, bukan buku lokal. Penulisnya adalah keturunan India muslim yang sudah bermukim di Kanada sejak kecil. Dan budaya yang kental seperti di Indonesia, tentu menjadi tantangan bagi mereka, menjelang terbentuknya generasi pertama di negara yang jelas sangat bertolak belakang dari negeri asal mereka. 


Uzma Jalaludin menulis karena melihat koleksi di toko buku di Kanada jarang sekali buku bertema Islam. Kalaupun ada, seringkali yang diangkat adalah tema kekerasan. Padahal, namanya ibu-ibu kan butuh drama ya, butuh romance hehehe... Buku ini pun rampung setelah bertahun-tahun digarap pada 2018 lalu. Yah namanya juga ibu-ibu. Baru bisa mengerjakan yang lain kalau tugas utama sudah selesai. Apalagi, beliau pun bekerja sebagai guru SMA pun ibu dari 3 bujang.



Adalah Ayesha, seorang gadis yang membawa tumbler merah. Begitu yang tertangkap di pandangan Khalid. Tatapannya sayu... Dan cantik. Ayesha baru saja menerima pekerjaan sebagai guru pengganti di sebuah sekolah menengah di Toronto. Sebuah karier yang dianggap aman bagi keluarga besar Ayesha. Pilihan ini termasuk tidak populer, karena di kalangan India muslim di sana lebih mementingkan para wanita menikah muda ketimbang bekerja. Wanita bekerja dianggap sebagai bakal perawan tua alias gak laku. Tradisi perjodohan atau perkenalan keluarga pria ke keluarga wanita pun masih lazim, tapi Ayesha, karena umurnya, mulai mendapat tawaran-tawaran dari pria-pria yang tertolak. Ayesha sendiri tak peduli dengan nyinyiran keluarga besarnya, dia tak peduli telah banyak melanggar budaya-budayamya. Dia lebih memilih sibuk bekerja, dan rutin mengisi acara pembacaan puisi di salah satu lounge. Tentu saja, tak ada yang tahu soal hal ini kecuali sahabatnya, Clara. 

Sementara Khalid bekerja di bagian IT di perusahaan yang sama dengan Clara. Tapi Khalid berbeda. Dia menerima semua budayanya dengan lapang dada. Tak hanya penampilannya yang kerap menggunakan gamis dan berjanggut tebal, bahkan ke kantor. Dia juga pasrah bahwa dirinya akan menikahi gadis yang dipilihkan oleh ibunya. Meski wajah Ayesha telah menarik perhatiannya sejak pertama kali. 


Saat keduanya pertama kali bertemu muka, prasangka telah menyelimuti mereka. Ayesha merasa Khalid adalah orang yang kolot dan suka menghakimi. Sementara Khalid, merasa Ayesha bukan wanita baik-baik karena mendatangi acara di bar alias lounge tempat Ayesha membaca puisi. 


Sialnya, mereka berdua terpaksa berjumpa lagi di sebuah kepanitiaan acara masjid besar. Oleh karena pertemuan pertama yang tak sempurna, Khalid mengira bahwa Ayesha adalah Hafsah. Gadis muda yang dijodohkan sang ibu. Padahal Hafsah adalah sepupu Ayesha, yang seharusnya menangani acara komunitas tersebut. Akan tetapi karena sepupunya adalah remaja manja, dia seenaknya tidak datang dan terpaksa Ayesha mengaku sebagai Hafsah. 


Cinta Khalid semakin tumbuh. Dia bahagia, pilihan ibunya rupanya cocok dengan hatinya. Tapi Ayesha, perasaannya justru kian membuatnya tertekan. Dia tahu, pada akhirnya, kebenaran akan terungkap. Dan semua akan sirna. 


Ayesha memang meragukan cinta. Melihat ibunya yang hampir tak pernah membicarakan mendiang ayahnya. Sementara Khalid, dia hanya ingin membahagiakan ibunya, karena tahu sejak kakaknya dikirim ke India, ibunya kehilangan kebahagiaannya. 


Menarik melihat bagaimana Uzma mengangkat tema Islamofobia, sekaligus juga gambaran para muslim imigran di sana. Memang ada yang Amir, rekan kerja Khalid, yang senantiasa ke barat dan esoknya terbangun di rumah wanita yang berbeda setiap harinya. Tapi ada juga yang seperti Khalid, tak terpengaruh apa pun. Persahabatan Ayesha dan Clara yang meski jelas sangat berbeda, tidak melunturkan ketulusan mereka. Tanpa prasangka. Meski, dalam urusan percintaan, ada banyak prasangka yang lalu lalang. 


Dalam pengerjaannya, Uzma sama sekali tidak bermaksud membuat versi muslim novel Pride & Prejudice. Namun, karena memang itu buku klasik yang sudah berulang kali dia baca, secara tak sadar ada inspirasi yang tertutur di dalamnya. Meski begitu, Uzma berhasil memberikan cita rasa India muslim dengan sangat baik, sehingga bagi mereka yang belum membaca Pride & Prejudice pun akan merasakannya sebagai cerita yang sama sekali baru. 


Ini memang drama sederhana, akan tetapi senang rasanya bisa menikmati sebuah karya yang menjadi pionir literasi novel islami di negeri orang. Semoga semakin banyak tumbuh Uzma-uzma lain di luar sana.


Saya merasa beruntung bisa menghadiri peluncuran bukunya dan dihadiri pula oleh Uzma Jalaludin bersama suami yang tak henti menatap istrinya dengan bangga. Walau tak sempat berfoto bersama karena saya harus menghadiri rapat di tempat lain. Tadinya saya tak hendak meminta tanda tangannya, tapi kawan saya yang juga manajer Noura Publishing berujar, "Sudah jauh-jauh datang ke Jakarta, masa ga minta tanda tangan?" 


Jadi saya titipkan novel ini padanya, dan beberapa hari kemudian, tiba buku ini dengan  ucapan yang pasti sudah dipesan oleh kawan saya hahahaha... Thank you yaa... 

Rabu, 19 Februari 2020

RABUku: ENCORE - Merahnya Cinta Tami

Bermula dari keisengan saya bertanya pada satpam. Siapa tahu ada paket, pikir saya. Toh, saya sadar sedang tidak melakukan transaksi ke e-commerce dalam beberapa waktu belakangan. 

"Ada, bu." Jawab satpam menunjukkan nama saya tertera di buku catatannya. 
Saya jadi kaget sendiri. 

Begitu satpam keluar, dari bentuknya saya yakin itu berbentuk buku. Apa itu bukti terbit untuk editan saya? Tapi sepertinya semua sudah terkirim ... 

Begitu paket itu berpindah tangan, saya tengok pengirimnya. Laily Lanisy...

Who?
I have no idea. 

Abang saya memang sering memesankan buku untuk adik-adiknya di Jakarta meski dia masih betah di UK, tapi melihat nama pengirimnya, saya yakin itu bukan dari salah satu kawan abang yang memang ga sedikit adalah komikus kenamaan. I'm sure it's not comic. 

Sesampainya di unit, saya tutup pintu kamar. Tak ingin anak-anak ikut menyaksikan unboxing paket saya seperti biasa. Takut isinya buku nyeleneh. Saya buka hati-hati, tak ingin membuat sobek tulisan keterangan pengirim berikut nomor teleponnya. Dan saat saya keluarkan bukunya, saya makin bingung. 

Ternyata Laily Lanisy adalah nama seorang penulis. Penulis romance sepertinya. But I still don't know her. Ini dapat dari mana nama dan alamat saya. Kalau nomor telepon ya biasalah, kan memang saya cantumkan. Apa mungkin salah kirim?

Namun, bagi seorang buku antusias kaya saya, pantang mengembalikan buku ^^
Lalu saya buka plastik dan mulai membuka lembaran pertamanya. Untuk Melati. OK fix, bukan salah kirim.

So, this mysterious writer has sent me a book. Dan apa lah lagi yang bisa saya lakukan selain membacanya. 

It's a love story. About Tami. 
Laily Lanisy menyebutkan bahwa novel Encore adalah kumpulan semua kisah tentang Tami yang selama 20 tahun ini telah muncul dalam berbagai bentuk di media-media cetak, salah satunya muncul di majalah Gadis. Selama 20 tahun setia pada karakter yang sama. Wow. Saya nulis 50 halaman saja rasanya mau ganti ke cerita yang lain. 
Tami menderita leukimia. Tapi tidak ada yang tahu selain keluarganya. Kawan-kawannya melihat Tami sebagai mahasiswi yang aktif dan bandel karena sering terlambat atau bahkan mangkir. Mereka tidak tahu, aktifnya Tami karena sudah ada perkiraan tanggal kematiannya di depan mata. Mereka tidak tahu, mangkirnya Tami karena terkapar menjalani pengobatan. 

Tami menerima penyakitnya tapi bukan berarti menolak untuk hidup. Kedua orangtua yang sama-sama dokter, menjadikan rumahnya sebagai rumah sakit untuk memudahkan pengobatan bagi putri bungsunya. Dia cukup 'beruntung' karena menjadi salah satu yang pertama yang mencecap hasil eksperimen terkini. 

Tami tak menghentikan dirinya untuk jatuh cinta pada pria. Pada Bara. Lagipula, siapa yang bisa menolak datangnya cinta? Namun, dia tak yakin akan kuasa menerima cinta dari pria tersebut. 

Penulis mengambil sudut pandang empat tokoh, yaitu: Tami, Bara, Tommy (kakak Tami), dan Oki (mantan pacar Tommy) sebagai caranya meramu kisah. Sebuah kelompok support system. Yang memang sejatinya diperlukan, terutama jika ada salah satu anggotanya menderita kanker. Bagaimana Tommy yang bolak balik Jogja-Bandung di saat adiknya dalam keadaan terendah, atau betapa sedihnya ketika dia dengan berat hati tidak bisa menemani karena ada ujian di kampusnya. Bagaimana Oki yang meski sudah mantan, akan tetapi setelah sekian tahun bergaul dengan keluarga Tommy, tapi bagi Tami, Oki adalah kakak perempuannya. Sesuatu yang hanya dimengerti para sisterhood. 

Laily Lanisy menulis bagaimana Tami menerima cinta Bara, bagaimana Tommy menjadi semangat Tami, dan bagaimana Oki menjadi tempat Tami bersandar. Memangnya apa hubungannya dengan kanker? Banyak. Penyakit tersebut harus diakui tak hanya mampu menggerus tubuh tetapi juga jiwa. Toh tak melulu tentang Tami dan Bara, karena Tommy juga berulangkali muncul dengan tekadnya 'balikan' dengan Oki. Mantan kekasih sekaligus mantan tetangga di masa kecil. Yang sehat saja, punya masalah. Apalagi yang sakit. 

Dengan latar belakang Jogjakarta, kisah ini jadi mirip dengan Dilan dengan latar belakang Bandung. Rasanya ingin turut menyusuri tempat-tempat yang disebutkan di novel tersebut. 

Kisah Tami dan kanker darahnya ini sendiri mengingatkan saya pada sepupu saya (al Fatihah). Saya ingat dengan percakapan kami. Ada mimpi, ada cinta, tapi sulit sekali berharap. 

Cara Laily Lanisy menempatkan detail yang mungkin tidak sedetail Grey Anatomy, membuat bacaan ini mudah dicerna. Meski, karena kelebatan kenangan, seringkali saya harus jeda sedikit saat membacanya. Yah nuansanya agak serupa dengan The Fault in Our Star (yang kebetulan disebut juga di buku itu), dan syukurnya ga sedepresi Me before You. 

Usai membacanya, masih ada sedih yang menggantung. Dan sebelum saya tutup buku itu, saya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya cepat. 

Hidup ... seringkali tak sesuai yang kita rancangkan. Seindah apa pun itu ....