Kamis, 31 Maret 2016

Percakapan Kematian antara Aku dan Aku


Halo, aku. Iya, kamu. Kamu adalah aku. Yang tengah menatap laptop begitu lama. Terpaku pada sebuah judul yang aku ketik sendiri.

In My Last 8 Days
Masih tidak tahu harus menulis apa tentang delapan hari terakhir kita? Apa yang begitu sulit? Bukankah kita dulu pernah merasa akan meninggal sebelum usia 30? Walau toh ketika usia itu lewat, kita justru berdoa agar diberi umur panjang. Life begins at 30. Kata orang.

Seingatku, kita dulu pernah bercita-cita meninggal dengan diiringi tangis oleh ribuan bahkan jutaan orang. Ya, dulu kita berharap menjadi orang terkenal. Bagaimana dengan sekarang? Can you imagine? Your last 8 days?

1. Jujur pada Suami
Akhirnya kau ketik juga poin pertama kita. Tapi kenapa jujur pada suami? Kita kan tidak pernah bohong pada dirinya? Unless ... oh aku tahu. Ini tentang jumlah utang kita, kan. Aku sarankan kita banyak-banyak cium tangannya agar dia mau melunasi utang kita dengan lapang dada. ^^  Bolehlah harta tak tersisa saat mati, tapi jangan sampai ada utang yang masih belum terlunasi.

2. Mohon Maaf
Ah, ini penting sangat. Kita tahu bahwa kita bukanlah orang sempurna. Sangat jauh dari sempurna. Bahkan perkataan dengan niat baik pun dapat menimbulkan sakit bagi orang lain. Aku setuju dengan poin ini. Kita akan minta maaf besar-besaran , pada mama papa karena hingga kini belum kesampaian memberi uang bulanan.  Pada kakak-kakak yang selalu dimintai tolong dan belum pernah membalas (dasar bungsu). Pada suami yang suka dicemberuti istri. Dan pada anak-anak yang ... sering dikecewakan Aminya.

What about the other? All friends and relatives?

Kita mungkin bisa gunakan sosial media. Buat permohonan maaf terbuka dan terbuka pula dengan segala balasan. Ingatkah kamu tentang isi khutbah terakhir Rasulullah?
"Barangsiapa yang punggungnya pernah aku pukul, maka ini punggungku, silahkan membalasnya."
 
Beranikah kita menghadapi semua komplenan orang tentang kita? Well, kebenaran itu seringkali menyakitkan, bukan?

We deserve it, anyway.

Aku setuju.

3. Surat untuk Anak-anakku
Ada senyum terukir di bibirmu. Pasti karena kamu ingat film India itu, Kuch Kuch Hota Hai. Surat untuk Anjani itu memang inspiratif sekali. Menulis surat untuk anak-anak pada tiap-tiap tahun istimewanya. Pada datang bulan pertama si sulung. Pada sunatan si anak tengah. Pada hari pertama sekolah si bungsu. Dan masih banyak lagi. Berapa banyak yang hendak kita tulis?

I don't know. As much as we could.

Surat untuk suami?
Eh, kamu malah nyengir. Ingat pertanyaan kita waktu itu ya? Saat kita bertanya pada suami apakah sekiranya kita boleh menikah lagi saat dia sudah meninggal. Dia menjawab, "Ya terserah kamu. Lha aku sudah meninggal ini." Dan itulah yang akan kita lakukan. Kita tak bisa mendikte pilihan kehidupan percintaannya. Hanya bisa berharap doa yang terbaik untuk dirinya dan anak-anak.

4. Foto dan Album Keluarga
Mungkin kalau sudah injury time begini, suami kita akan terdorong untuk membuat foto keluarga dengan seragam Liverpool. Agar bisa dibingkai dan dipajang di rumah. Tak hanya itu, kita harus cetak foto-foto sejak si sulung lahir. Dan menempelkannya bersama-sama anak-anak. Sambil saling berbagi cerita. Cerita yang mungkin tak akan mereka dengar lagi.

5.   Mengosongkan Lemari
Aku tahu maksudmu. Kita sama-sama tidak tega membayangkan raut sedih suami, kan. Walau pembawaannya cuek tapi dia mudah mellow. Jangan sampai dia lama mellow di hadapan lemari baju. Menatapi baju-baju kita. Nanti dia akan simpan semua lagi. Mari sedikit mengurangi momen sedihnya dengan mengosongkan lemari baju. Sisakan tiga baju saja, sepertinya cukup. Biarkan kerudung disimpan, bisa dipakai anak-anak nanti.

6. Membagi Harta
Hehehe kita kan tidak punya harta. Oh, harta pusaka maksudnya. Yah namanya juga orang minang. Harus segera dibagi ke kedua anak perempuan kita, jadi hibah. Sedangkan mas kawin bolehlah dibagi sesuai hak waris nantinya. Kita percaya dua lelaki itu akan menggunakannya untuk kebaikan gadis-gadis yang menjadi tanggungjawab mereka dunia akhirat.

7.  Puasa
Eh. Puasa? Puasa bayar?
 
No. To clean ourself.

Oooh, sepertinya ada segelintir ingatan tentang ini. Tentang orang yang berpuasa menjelang meninggal, agar tidak banyak kotoran yang harus dibersihkan saat dimandikan terakhir kali. Ya, baiklah. Puasa sepertinya cara terbaik untuk tidak menambah-nambah dosa di saat-saat terakhir.

8. Menghabiskan Hari di Rumah Orangtua
Bukannya tidak cinta dengan rumah sendiri, kan? Awalnya lebih karena alasan teknis. Unit Kalibata city yang tini mini biti ini terlalu sempit untuk menampung orangtua dan kakak-kakak saya beserta anak-anaknya. Which is itulah cara kita menghabiskan hari. Dikelilingi keluarga tercinta. Makan masakan mama. Mendengar wejangan agama dari papa. Menyimak informasi terkini dari kakak-kakak. Dan menikmati keriuhan anak-anak dan keponakan yang bermain.
Nah, sudah delapan. Selesai.
Hei, tapi kenapa jadi sedih?

Do we really have to wait untill the last 8 days to do this? We could do this now. Everyday. Because we never know. Never ever know. When the angel of death will come for us.

But the question is, how bad do we want to do it? People say if we don't try the hardest then our dream might be not the biggest one.

Our first name is Hasanah. It means "good thing". Then let's make it good, shall we? For us, for them, for the loved ones. And may God give us His bless . And give us a peaceful death. Someday.

Amin.

Tulisan Ini Diikutkan dalam Giveaway Dnamora



























6 komentar:

  1. Ehmm..iya, inget yang kuch-kuch hotai Anjeli cilik dikasih surat tiap tahunnya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lumayan pegel itu nulisnya hehehe ... Jd menanti2 surat dr ibu setiap ultah

      Hapus
  2. iya ya mba Aireni, aku dulu nonton film itu di komputer kantor sampai mewek ekekekkkekekke

    BalasHapus
  3. Terimakasih tulisannya Mba, Melimpah berkah segala urusannya,, aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, semoga tulisanku ga banyak diedit ya #editorYangTakutDiedit

      Hapus