12 Menit
mengambil latar Bontang, sebuah kota kecil yang hanya bisa dicapai lebih cepat
menggunakan pesawat kecil dari Balikpapan, Kalimantan Barat. Dari seratus tiga
puluh anggota marching band Vincero ini kisah ini berputar pada empat tokoh.
Rene, sang pelatih asal Jakarta, yang memiliki berbagai prestasi gemilang baik
sebagai pemain dan pelatih, merasa di atas angin ketika diminta melatih ke
Kalimantan. Rupanya di Bontang, dia justru diragukan kehebatannya, baik oleh
pihak investor maupun oleh anggotanya, bahkan kemudian oleh dirinya sendiri.
Lalu ada Tara, juga asal Jakarta, penabuh drum berbakat tetapi kini harus
berjuang dari nol pascakecelakaan yang menewaskan ayahnya dan menurunkan
kemampuan mendengarnya hingga sepuluh persen. Elaine, lagi-lagi murid pindahan Jakarta,
sang pemain biola yang bermimpi menjadi seorang field commander. Walau memiliki
kepintaran luar biasa di bidang musik dan akademis, Elaine justru dihambat oleh
keinginan ayahnya untuk memiliki anak seorang ilmuwan. Dan akhirnya, rasa
pribumi dihadirkan oleh Lahang, laki-laki asal Dayak yang menjadi penari.
Namun, dia senantiasa ragu karena harus meninggalkan ayahnya yang sakit demi
latihan.
Dengan tiga tokoh utama
asal Jakarta, rupanya Oka Aurora tidak membuat cerita ini didominasi masalah
tipikal anak Jakarta. Karakter orang-orang Kalimantan yang cenderung tertutup
rupanya dilakoni juga oleh Tara yang terus menyalahkan dirinya sendiri atas
kematian ayahnya dan Elaine yang terpaksa latihan diam-diam demi menghindari
murka ayahnya yang seorang Direktur di salah satu perusahaan gas di Bontang. Maka
jadilah kisah yang bhineka tunggal ika seperti halnya Bontang sebagai tempat
kecil dengan ragam ras dan agama berkumpul di sana.
Marching Band merupakan
orkestra musik kolosal yang tidak hanya menampilkan harmonisasi musik tetapi
juga kostum, konfigurasi bentuk, dan tentu saja adu tenaga. Bagaimana tidak,
mereka tidak bermain musik sambil duduk tenang, melainkan berjalan mengitari
lapangan dan tidak boleh hilang napas sedetik pun karena akan membuat nada
miring di sana-sini. Semua itu dilakukan dalam 12 menit pertunjukan dan ratusan
jam latihan.
Saya sendiri baru
memahami marching band dari dekat ketika menjadi mahasiswi di Universitas
Indonesia, Depok. Dan saya terkejut begitu melihat teman saya mendaftar.
Bagaimana tidak, profilnya tidak seperti pencinta musik seperti saya yang sudah
menjadi anak sanggar dan berposisi sebagai gitaris sewaktu SMA. Gadis pemalu
itu kemudian kebagian menjadi peniup terompet kecil, alat musik yang mungkin
tidak pernah dia impikan selama 18 tahun hidupnya. Lalu ada teman saya yang
bertubuh pendek dan chubby dan ingin
menjadi penari. Hanya marching band itulah yang mampu mewujudkannya tanpa
dihina melainkan hanya dukungan besar antaranggotanya. Dan ketika saya dan teman-teman menyaksikan
pertunjukkan mereka di stadiun Soemantri Kuningan, yang saya rasakan adalah
betapa manisnya buah dari sebuah kerja keras. Bahwa mereka juga mencintai musik
seperti saya.
Itu pula yang hendak diceritakan
Oka Aurora dalam 12 Menit. Membuat sesuatu dari tidak ada menjadi ada, mereka
yang buta alat musik menjadi terpatri dengan alat musik itu. Tentu saja,
seperti kata salah seorang pelatih tari di sebuah ajang idola penyanyi
Korea, “Tidak semua orang berbakat
menari, tapi semua orang bisa menari. Kuncinya, latihan. Yang keras.”
Walau menggunakan formula umum dalam
naskah-naskah berlatar kelompok musik, saya terkesan bagaimana satu karakter dapat
saling melengkapi dialog karakter lain dalam adegan yang berbeda. Seperti
ketika Yoshuke, ayahanda Elaine habis kesabaran ketika mengetahui putri
satu-satunya lebih memilih mengikuti kompetisi marching band ketimbang
Olimpiade Fisika, dia berseru pada Rene, “Apa yang tidak penting bagi saya,
tidak penting bagi Elaine!”
Sedangkan di dipan
dalam sebuah rumah panggung sederhana, Lahang justru enggan mengikuti kompetisi
karena ingin mendampingi ayahnya yang sakit kanker otak. Dalam sakitnya, si
bapak berkata, “Nak, selama ini saya menyiapkanmu untuk menjalani hidupmu.
Hidupmu.”
Dan dua dialog itu
ditengahi apik di kepala saya dengan ucapan Rene pada Yoshuke, “Saya jadi
menyadari betapa bersyukurnya saya memiliki ayah yang menginginkan saya jadi
diri sendiri.”
Kemudian saya teringat Tara
yang walau mendapat dukungan penuh dia senantiasa merasa sendiri. Pasca ayahnya
meninggal dia justru dipindahkan ke kota kecil bersama oma opanya sedangnya
ibundanya melakoni studi S2 di Inggris. Dan pada malam sebelum keberangkatan ke
Jakarta si ibu hanya mampu memberi dukungan lewat text message. Mama datang atau tidak, Tara tetap harus
memberikan yang terbaik. Si anak menjawab tak kalah mengabdi, Mama datang atau tidak, Tara tetap akan
bermain untuk mama.
Harus saya akui, sosok
Titi Rajo Bintang yang saya ketahui sebelumnya berperan sebagai Rene dalam
filmnya, woro wiri dalam imajinasi saya. Memang itu seharusnya hal terlarang
bagi seorang pembaca sejati, tetapi saya tidak bisa mengelak bahwa Titi RB
justru adalah sosok paling tepat yang bisa ditemukan. Dia menunjukkan
kekerenannya dalam bermusik saat menggarap musik untuk film Garuda di Dadaku. Menunjukkan sisi lain
keseniannya kala beradu peran di film. Dan kini, di film 12 Menit, dia seolah
tengah melakoni otobiografinya sendiri.
Buku ini sukses membuat
saya banjir air mata hampir di setiap babnya. Mungkin karena saya sudah
menjalani ketiga fase yang terhampar di cerita ini. Remaja labil, wanita
mandiri, dan menjadi orang tua. Dan bahkan walau sudah begitu, tetap ada
kalimat yang bergaung-gaung di kepala saya. Kalimat lama yang diucapkan Rene
pada Elaine juga Lahang, Selesaikan apa
yang sudah kamu mulai. Dan selesaikan sampai berhasil. Ya, hidup memang
belum berakhir. Maka hiduplah seperti
orang hidup, jangan seperti orang mati.[]