“Bismillahirramanirrahiim.” BYUUUUR!!
And there she goes. To the water.
Mungkin inilah rasanya liburan ‘syariah’. Pikir saya saat melihat satu per satu pengajar mengaji anak-anak saya lompat ke laut dari perahu dengan pelampung dan ... Gamis plus kaos kakinya.
“Subhanallah” dan “Masya Allah” berganti-gantian terucap ringan seperti air dari sekitar 15 pengajar Kalibata City Tahfidz Club yang ikut rihlah ke Pulau Pari dalam rangka ‘rebounding’. Gayanya sih sama saja dengan remaja zaman now, sibuk foto-foto juga, cekikikan juga, tapi ya masing-masing kelompoknya. Saya jadi teringat masa-masa saya masih langsing, saya ga begitu hahahaha ....
Awalnya saya agak ragu ketika mengajukan lokasi rihlah yang berbau laut. Yah, maksudnya nanti kasihan yang perempuan ga bisa ikutan snorkling karena kan baju nya nanti lepek. Tapi merekanya malah lebih prefer dapat vitamin sea, jadi ya sudahlah. Kebetulan dapat harga yang sesuai bujet, di bawah 6 juta utk 25 orang untuk 2 hari 1 malam.
Hari Jumat menjadi hari yang disarankan agen dari Kepulauan Seribunya, karena katanya Sabtu itu terlalu ramai. Dan memang, bertolak dari Kalibata jam 5.30, bisa sampai dengan lancar di pelabuhan Angke jam 6.00. Konon, di hari Sabtu, jalan menuju Angke itu macet parah loh. Terbayang, melihat kondisi jalanannya juga begitu, sempit.
Dari Angke menuju Pulau Pari membutuhkan waktu sekitar hampir 2 jam. Kami tidak pakai speedboat, perahu mesin biasa yang besar, tapi tetap dapat pelampung. Speedboat baru ada ketika akhir pekan, walau ketika di sana saya mendapat flyer terkait speedboat baru yang sudah standby sejak Jumat. Tentu harganya beda ya ...
Sesampainya di sana, sudah ada tur guide dengan gerobak dorong untuk membawakan tas-tas kita semua. Lalu kita pun dipandu menuju sebuah homestay. Penginapan di sana semuanya berbentuk homestay, mirip kaya waktu ke Dieng. Tapiiii ... standar kamar mandinya sederhana banget. Bersih sih, tapi keciiiil ^^
Sepeda menjadi transportasi utama di sana. Biasanya setiap rumah, sudah ada tempat parkir sepeda-sepeda yang bisa kita gunakan gratis sepanjang hari. Saya yang sudah lamaaa sekali ga naik sepeda harus mengalami serangkaian drama: setiap kali baru menggenjot pasti jatuh, ada yang menyapa langsung nabrak, ada yang menyalip langsung oleng dan nabrak. Tapi yah masa mau ditinggal di jalan sepedanya?
Pantai Perawan alias Virgin Beach menjadi destinasi pertama kami. Dan kemudian saya tahu kenapa Pulau Pari adalah tempat yang cocok untuk keluarga terutama dengan anak-anak yang masih kecil. Pantai yang landai menjadi andalan Pulau Pari. Pemandangannya buat saya pecinta laut tapi ga bisa berenang tentu menyenangkan, karena airnya tenang tapi tetap luas dan bisa berjalan di air hingga jauh karena dangkal. Di sana sini disediakan spot foto seperti ayunan dan gazebo di atas air. Pasir putih dan tebaran rumah-rumah keong menjadi objek kesibukan anak-anak. Selebihnya mereka menikmati bermain air mumpung ga ada yang larang.
Pada kesempatan ini, saya hanya bawa si bungsu. Yang lain sama bapaknya hehehe ... Saya sih sudah kebayang, kakak-kakaknya pasti akan langsung menghambur ke air dan betah berlama-lama di sini. Di bagian pantainya juga banyak gazebo atau sekadar kayu untuk duduk-duduk di bawah pohon.
Usai shalat jumat di masjid yang persis di depan homestay kami dan menyantap makan siang yang sudah disiapkan katering di sana, kami melanjutkan kegiatan yaitu snorkling. Saya sih sudah niat mau nyemplung aja, ga mau snorkeling. Pengalaman diajarin snorkling di Pulau Umang ga berhasil karena kata instrukturnya saya berhalusinasi ^^ ya saya percaya aja sih, secara saya suka ngayal memang.
Perahu mesin membawa kami hampir setengah jam mencari titik yang tepat. Para peserta lain diberi briefing singkat terkait penggunaan perlengkapan snorkeling. Pengajar laki-laki langsung menyentuh air, sedangkan yang perempuan butuh waktu sejenak sebelum ikut nyemplung. Baju yang mereka pakai sepertinya sudah di-setting agar tidak berat saat terkena air walau mereka pakai celana panjang juga di dalamnya. Jarang-jarang kan lihat orang nyelam sambil pakai gamis lengkap dengan kaos kaki, ada yang puasa pulak.
Dengan dipancing potongan roti maka datanglah berbondong-bondong ikan-ikan cantik. Kegiatan lihat-lihat ikan ini mungkin terdengan sederhana tapi ga tahu kenapa, bisa lama loh mereka di air. Terkadang mereka naik ke perahu hanya untuk berjemur lalu masuk lagi demi dapat foto di bawah air oleh pemandunya. Saya? Nyemplung juga, tapi pegangan terus ke tangga hahaha .... demi konten.
Ada beberapa hal yang diingatkan pemandunya, seperti: Ga perlu lompat kalau mau masuk ke air, karena dangkal. Lalu ikan-ikan cantiknya ga boleh dibawa pulang yaaa ... waduh anak laki saya pasti kebelet mau ditangkap ikan-ikan cantik itu.
Rasanya ingin terperangkap di dalam laut lebih lama. Merasakan ekor-ekor ikan menggelitik tangan, tapi yah memang sudah waktunya kembali karena ada perahu lain yang datang. Terlalu ramai pun tidak akan menyenangkan bagi ikan-ikan itu.
Sekembalinya kami ke pulau pari, kami menolak beristirahat. Lanjuuut ke Star Island. Rupanya pantai ini banyak bintang lautnya. Bikin gemes ingin foto bareng. Namun perlu diingat, bintang laut itu ga bisa lama-lama diangkat dari air ya ... Ia makhluk hidup loh, bukan properti foto. Sayangnya di pantai ini kok ga terasa terlalu playful kaya di Virgin Beach ya... walau ada lebih banyak properti foto di sini. Tapi view menuju ke sananya lebih banyak hijau-hijau, bukan rumah penduduk. Kami pun tak lama di sana dan kembali ke Virgin Beach.
Di Virgin Beach kami mencoba naik perahu melintasi hutan bakau sambil menanti matahari terbenam. Amboooi .... Saya banyak berharap, baterai ponsel saya tidak habis di saat-saat indah itu... Sungguh menyesal tidak membawa power bank. Sesekali kami turun dari perahu dan nyemplung ke air karena mau foto-foto.
Malamnya kami kembali lagi ke Virgin Beach, hanya saja kali ini saya tidak mau lagi naik sepeda. Lecet sana-sini. Rupanya walau di kiri kanan jalan menuju Virgin Beach sudah bersiap tidur, tetapi di area pantai juga tidak sepi saat malam. Beberapa orang ada yang berkemah, sibuk bermain voli atau barbecue di sana. Suguhan ikan-ikan bakar juga berlimpah, bahkan kami dapat limpahan dari rombongan lain. Lumayan lah, buat menu sahur kawan-kawan yang masih lanjut puasa asyura nya.
Pagi pun menjelang dan saya mencoba menjelajahi sisi lain pulau Pari. Lebih ke arah matahari terbit. Adalah Bukit Matahari yang menjadi spot andalannya. Pantainya penuh sampah rumah kerang, sampah alami sih tapi kan sakit kalau terinjak. Namun, viewnya, luar biasa. Kamera ponsel jadi bisa menghasilkan foto bagus (menurut saya). Sambil menikmati matahari, saya melihat satu per satu pendatang baru bersandar di dermaga. Dan ternyata memang benar kata si agen, Sabtu menjadi hari yang ramai di Pulau Pari. Terlebih ketika kami melihat tidak hanya 2 tapi 6 kapal sekaligus datang, belum termasuk speedboat. Wow, sungguh kami lega bisa berkesempatan menikmati Pulau Pari tanpa harus berebutan spot.
Sengaja aku tinggalkan asa di pulau itu. Berharap bisa kembali sambil membawa anak-anak pecicilan yang tak ikut hari itu. They will love it. For sure.