Masa-masa masuknya anak TK menjadi anak SD, sedikit banyak membuat para orangtua deg-degan setiap kali anaknya diberi PR. Terutama PR yang berbau prakarya. Ketika anak duduk di kelas 1, saya masih merasa mafhum jika prakarya anak dibuatkan oleh orangtuanya. Namun, ketika ternyata bantuan itu berlanjut hingga ke jenjang selanjutnya, saya jadi bertanya-tanya sendiri. Mau sampai kapan, ya?
Sementara itu, saya pun kenal dengan orangtua yang sama sekali tidak mau terlibat dengan tugas anaknya. Alasannya, dia tidak mau menjadi orangtua yang ketika anaknya sudah duduk di kelas besar, masih sibuk dengan tugas anak yang seharusnya dilakukan oleh anaknya, bukan orangtuanya.
Tanpa bermaksud munafik toh saya sebagai bungsu, masa kecil saya dan juga tugas-tugas saya banyak dibantu oleh kakak-kakak saya. Kebiasaan saya menunda-nunda tugas membuat tiga kakak saya (dengan berbagai alasan, mulai dari kasihan sampai terpaksa) turun tangan membantu. Maklum, kedua orangtua saya bekerja, dan karena mereka cukup galak, kami meminimalisir hal-hal yang akan membuat keributan di rumah, salah satunya jika kemudian ketahuan saya tidak mengerjakan tugas, pasti kakak-kakak saya yang kemudian kena semprot karena dianggap tidak menjaga adiknya.
Mulai dari membantu sedikit, hingga pernah juga saya menyerahkan sepenuhnya tugas itu ke kakak saya dengan semena-mena lewat surat pulak. Ya, memang, tugas saya yang dibantu kakak-kakak itu biasanya mendapat nilai lebih ketimbang jika saya membuatnya sendirian. Tapi jangan salah, sepanjang dibantu itu, omelan ga pernah surut. Meski begitu, saya merasa romantis karena saya jadi lebih suka bekerja sama dengan kakak-kakak saya ketimbang dengan teman sebaya saya ketika tugas kelompok. Bahkan tugas peta dunia pernah saya pajang dengan bangganya di kamar karena alasan romantisme. Atau lebih tepatnya ketergantungan? Karena saya jadi terbiasa mencari tahu lewat kakak-kakak saya ketimbang mencari tahu sendiri. Kalau dilepas sendiri, kemungkinan saya blank itu sangat besar. Itulah sebabnya saya merasa dibantu saat mengerjakan prakarya itu perlu dengan beberapa catatan.
Ketika punya anak, saya mencoba membiarkan anak mengerjakan tugasnya sendiri walau kadang gatal karena lihat karya anak-anak lain yang lebih heboh karena campur tangan orangtuanya. Setelah beberapa kali dibiarkan kok saya kesel ya? Hasilnya tuh ga banget. Rupanya, kreativitas itu ga senantiasa come out of nowhere. Harus ada inspirasi, harus ada pengetahuan tambahan, harus ada feedback, supaya lebih baik. Apalagi ini anak sulung yang memang tingkat ketelatenannya masih belum baik, secara anak outdoor gitu.
Nah berhubung si sulung ini pun punya kemauan keras, dia juga sulit menerima usulan karena dianggap saya mencoba mengatur-atur. Akhirnya saya pelan-pelan ikut nimbrung, coba mendengar visi misinya dan ternyata emang benar, ini anak blank. Jika ada contoh di buku pelajarannya, biasanya saya biarkan dia mencontoh. Walau tatanannya mungkin tidak seapik yang saya inginkan. Biarin aja deh. Biar dia lihat sendiri hasil teman-temannya (tanpa bilang kalau si A atau si B itu dibuatkan oleh orangtuanya). Cuma untuk memperlihatkan bahwa sedikit usaha dapat menghasilkan sesuatu yang sangat berbeda. Hanya saja, saya tetap memberikan info-info yang saya tanyakan di grup sekolah karena terkadang saya juga bingung sama penjelasan si anak dan untuk memastikan bahwa karya anak saya tidak melenceng dari yang dimaksud.
Sejak saat itu, saya mulai punya Pinterest. Untuk memberikan referensi terkait prakarya apa yang dapat dia ciptakan dengan materi yang diminta, dan kemudian memilih atau menciptakan sendiri bentuk yang dia inginkan. Youtube juga menjadi alat bantu agar dia bisa melihat cara sesuatu dibuat. Semata-mata agar dia mendapat wawasan tambahan, tanpa saya harus menunjukkan sendiri karena biasanya dia suka merasa terintimidasi.
Yang menarik adalah ketika saya membantu, justru jadi menarik perhatian adik-adik yang lain. Saya rasa mereka hanya ingin terlibat dalam family project yang belakangan sudah jarang kami lakukan. Jadilah mereka ngiri, karena merasa saya hanya meluangkan waktu untuk si kakak. I guess we should make another family project.
Family project dapat menciptakan hubungan. Komunikasi yang terjalin dapat membantu menyamakan visi misi, frekuensi, dan bahkan mengeluarkan cerita-cerita atau rasa-rasa yang tidak pernah dikemukakan sebelumnya. Tentunya jika situasinya semua setara ya, kalau ada pihak-pihak yang hendak mengatur, pasti hasilnya hanya menjadi mengerjakan tugas dalam keadaan tertekan. Itu baru saya simak kata-katanya pas mengetikkannya. I guess writing it in the middle of the night might works for this kind of reason.
OK, kembali ke topik. Kesimpulannya, saya menggunakan momen prakarya anak itu untuk memperbaiki hubungan. Yah anggap saja itu family project, bukankah itu keuntungan legal dari sebuah PR? Lagipula, saya jadi bisa melihat sebaik apa si anak dalam ketelitian, ketelatenan, cara dia melihat keindahan, kerapihan. Cuma lihat dan nilai dalam diri sendiri sih. Soalnya anaknya baperan. Jadi saya bisa ada ide, apa lagi yang bisa saya tunjukkan ke anak-anak guna meningkatkan berbagai aspek yang saya sebut di atas.
Jadi membantu itu tidak sama dengan mengerjakan sepenuhnya. Namanya juga membantu, ya porsi keterlibatan bintang tamu tidak sebanyak porsinya bintang utama. Soal nilai? Nilai si sulung untuk keterampilan termasuk yang nilainya lebih kecil dibandingkan nilai-nilai dia yang lain. Tapi saya biasa-biasa saja. Orang yang kreatif sekaligus pintar juga sangat atletis itu jumlahnya cuma sedikit, jadi tidak bisa dijadikan acuan hidup, bisa gila nanti. Nah, itu kembali ke masing-masing sih. Melihat nilai sebagai acuan diri, atau sebagai acuan peringkat semata di rapor?