Minggu, 07 Juli 2024

Nilai 95 Tidak Cukup di PPDB

 


Oke, setelah membicarakan kisah PPDB dua tahun lalu ketika hendak memasukkan si anak sulung ke SMP, sekarang saatnya giliran anak kedua.

Berbeda dengan si sulung, anak kedua ini setelannya berbeda. Kami semua sepakat bahwa dia memang berbakat di matematika meski gayanya random cenderung absurd. Saya sudah pantau nilainya dari kelas 4. Persis seperti yang saya wanti-wanti pada si sulung, di atas 90 dan sepuluh besar di kelasnya. Ketika nilai semester pertama di kelas 6 keluar, saya sudah dapat nilai rata-rata rapornya. 95,2 dan 10 besar. Oh, aman. Pikir saya waktu itu.

Saya sudah buat beberapa nominasi. Mau yang sifatnya ambisius atau yang aman. Beberapa skenario juga dirancang. Untuk anak yang satu ini memang sengaja tidak diarahkan ke MTS, karena dia termasuk yang fokusnya ga sebanyak kakaknya. Dan melihat kakaknya cukup struggle di bahasa Arab, saya pikir lebih baik si anak laki satu-satunya ini mending fokus di SMPN saja. Kalaupun dia mau belajar yang lain-lain bisa baca buku pelajaran kakaknya. No pressure pressure lah intinya.

Tapi begitu peringkat sidaniranya keluar … jeeeng … 21. Wah ini sih kena potong dua kali. Rupanya di SD nya nilai tertingginya 98 dan kemudian yang berderet di bawahnya ya bisa jadi hanya bersaing di belakang koma. Makanya untuk nilai 95 kenanya di peringkat 21.

Kalau di sekolah kalian nilai 95 masuk rangking berapa?

Dan buyarlah semua nominasi SMP yang sudah saya kumpulkan. Belum lagi, wali kelasnya mengkonfirmasi kalau predikat dia juara 1 di wilayah Jakarta Selatan di ajang Literasi dan Numerasi itu tidak bisa masuk ke kurasi prestasi. Benar-benar mengandalkan nilai saja kalau begini.

Saya mengira-ngira Nilai AKhirnya akan berada di nilai 60an. Oke, baik. Searching lagi, kumpulkan 3 nominasi dan nominasi lain sebagai plan B. Saya cari berdasarkan jalur angkutan sampai ke arah Blok M dan ke Jakarta Timur lagi alias ke Condet. Pas buat list baru ini, saya mulai nervous karena si nilai akhir ini meski saya diberi link untuk menghitung tetapi entah kenapa tidak bisa saya gunakan. Jadi semuanya serba gamang.

Saatnya membuat akun PPDB dan di situlah saya mengetahui nilai akhirnya jadi … 55,5.

Ini ribetnya PPDB, formula penilaiannya sungguh punya terlalu banyak aspek sehingga ketika merujuk data sebelumnya jadi tidak bisa dijadikan pegangan karena suka masih ada error-error. Dan kalau meleset, efeknya itu 4 dimensi. Ada kawan yang bilang, jangan pasang target tinggi-tinggi makanya. Man, kalaupun memang ketinggian harusnya di bagian yang aman itu bisa diterima. Kan saya bikin beberapa lapis rencana tapi semuanya buyar. Berarti kan ibaratnya nilainya bukan sekadar dikurangi tetapi diakarkuadratkan. Jadi keciiil banget.

Panik mode on. Karena dari hasil mendata itu, nilai terendahnya rata-rata di 60. Gawat, terancam tidak ada yang masuk ini. Ketika sedang panik begini, jadi ingat si MTSN. Eh sudah tidak bisa daftar akun lagi. Ingat ya gaes, daftar akun PPDB di MTSN itu ada jangka waktunya, beda dengan PPDB SMPN. Seketika saya langsung merasa, did I do something wrong. Did I just push my son to wrong path. Macam-macam lah. Sampai saya kesal sendiri karena merasa sistem PPDB ini benar-benar bikin stress orangtua, apalagi kalau orangtuanya milenial. We were struggle when we were kids, learned my a** off just to get the best point, now we have to endure the same stress when we become parents?

Daftar SMP belum saya ubah, karena yah seperti masih berharap gitu lah. Saya lihat dari jalur prestasi non akademis harusnya masih ada kemungkinan. Dari datanya cukup banyak SMP di sekitar yang mayoritas nilai akhirnya di 30an. Memangnya bisa kalau tidak ada prestasi non akademis tapi mendaftar ke situ? Bisa. Intinya di nilai akhirnya cukup atau tidak.

Tibalah harinya. Hari pertama PPDB itu adalah momen pengembalian murid dari guru ke orangtua murid. Sudah pasti tidak bisa memantau dari pagi dan seperti biasa servernya sempat ngadat. Begitu acara selesai dan menjelang sore, saya cek lah kondisi medan pertempuran. Saya mau sumpah serapah pun jadi tak bisa. Semua SMP yang tadinya masih ada peluang di non akademis tiba-tiba nilainya di atas 60. I was like … gimana sih, rasanya kaya pupus harapan gitu loh.

Melihat saya panik mencari sekolah, si sulung berkomentar, “Lah, sama aja dong dia sama aku. Susah-susah juga cari sekolahnya.”

Mendengar dia berkomentar begitu, saya jadi curiga apa dia merasa bagaimana gitu dengan komentar saya tahun lalu (lihat postingan PPDB sebelum ini: Kenapa MTS?). Mental suka menyalahkan diri saya kumat lagi dan itu benar-benar bikin level stress menanjak tajam.

Ya sudah, setelah pura-pura menenangkan diri akhirnya bikin list SMP baru. Kali ini sudah dalam titik ya sudah pokoke harus negeri. Kenapa ngoyo banget? Melihat bapake yang senewen berhari-hari dengan situasi anaknya kemungkinan masuk swasta, lalu sibuk menyalahkan kegiatan leyeh-leyeh anaknya di hari libur, saya tahu itu artinya doi tidak punya dana untuk menyekolahkan ke swasta. So, harus dapatlah! Itu misi saya.

The show must go on, mau gue stress atau ga.

Saya buka google dan mulai menulis “SMP Negeri di Jakarta Selatan“ atau “SMP Negeri di Jakarta Timur” Karena itu yang paling bisa dijangkau dengan kendaraan umum. Saya catat semua SMP yang muncul lalu lihat rute jalannya, pantau durasi dan berapa banyak harus transit dan jalan kakinya. Setelah itu, saya lihat perolehan nilai di web PPDB.

Kuota jalur prestasi itu apalagi yang non akademis sangat sedikit. Jadi sering sekali dari semua list yang tersedia, posisinya selalu 3-5 dari posisi buncit. Setelah semalaman mencari, keesokan harinya saya mulailah memasukkan pilihan: SMP 15, SMP 46, dan SMP 209.

Posisi di SMP 15 pada pukul 8 adalah 10/12. Di sini saya baru ngeh kalau nilai akhir non akademis dan akademis itu berbeda. Jadi nilai si anak laki ini jadi tinggal 37,5 kalau di non akademis. Makin stress ga tuh …

Lalu pada pukul 10 peringkat turun jadi 12/12.

Pukul 12 terdepak.

Langsung lanjut ke SMP 46, posisi 5/7. Posisi ini lumayan awet sampai malam. Hari ketiga, beda lagi ceritanya.

Pukul 9 pagi, sudah terdepak dari SMP 46. Lanjut ke SMP 209 posisi 12/14. Saya sempat cek lagi pukul 11.30 karena kebetulan ada teman yang juga lagi PPDB SMA dan sepagian tadi dia update perihal orang-orang yang baru masukin nama anaknya sehingga mulai terjadi pergerakan yang signifikan meski proses seleksi akan berakhir beberapa jam lagi. Saya lihat, posisinya belum berubah. Oke, mari ishoma dulu.

Selesai ishoma, pukul 12.45. Resmi terdepak di tiga sekolah.

Waktu tinggal 75 menit lagi, entah bagaimana saya merasa harus cari lebih detail lagi. Lagi-lagi saya buka google dan saya ketik “SMP Negeri di … “ Saya runut per wilayah yang masih masuk akal jangkauannya. Pancoran, Pasar Minggu, Jagakarsa, Lenteng Agung, Condet, Kramat, Blok M, Setiabudi … Meski masih menemukan beberapa nama sekolah yang tidak saya temukan sebelumnya, tetap saja ada banyak sekali sekolah yang harus saya coret karena sudah tidak tersedia kuotanya. Tersisa satu, SMPN 247. Posisinya masih bisa 4 kursi lagi untuk nilai di bawah anak saya. Pukul 13.00 saya mendaftar lagi dengan pilihan satu sekolah itu. Eh kaget dong, karena ternyata posisinya jadi 9/10. Rupanya pada saat yang bersamaan, ada tiga anak yang mendaftar ke sana-mungkin nasibnya sama dengan saya-dan nilainya lebih tinggi.

Pukul 13.45 atau 15 menit menjelang pendaftaran jalur prestasi ditutup, saya memutuskan tutup laptop. Yah kalau terdepak juga pun sudah tidak ada opsi yang lain lagi.

Setengah jam kemudian, wali kelasnya chat wa saya berisi: Selamat ya sudah aman posisinya di SMPN 247.

Saya bahkan sudah tidak ada energi untuk lega. The power of didepak-depak itu ngefek banget ke saya. Saya lalu membuka screenshot daftar murid yang dikirim oleh walas. Tahu anak saya di posisi berapa? 10/10. Di 15 menit terakhir bisa-bisanya ada satu orang yang menggeser. Duh semoga yang terdepak sudah mendapatkan tempat yang lebih baik. Dan yang lebih menyebalkannya adalah, ketika seminggu kemudian saya lihat lagi daftar murid yang telah diterima, rupanya ada satu orang yang tidak melakukan lapor diri. Lah lo buat apa daftaaaaaaar!!! Bikin kesel aja. But anyway, semoga mereka memang punya alasan yang kuatlah. Soalnya suka sebel sama orang yang sudah ambil kuota eh tidak diambil karena mau coba yang lain-kan sayang itu bisa jadi jatah orang lain. Yah walau kalau di PPDB, yang tidak lapor diri kuotanya jadi digunakan untuk jalur tahap akhir. Cuma tetap saja kesal lihatnya. Jangan dibiasain lah kaya begitu. Ada orang yang jumpalitan buat dapat sekolah negeri oooy …

Kenapa kemudian tidak bisa lega-lega banget? Karena yang menjadi tugas selanjutnya adalah bagaimana caranya supaya tidak terjadi hal serupa di PPDB SMA. Les, eskul, lomba … oh my God apakah aku kini menjadi ibu-ibu ambis? Awalnya saya lihat orang lain ya kelihatannya begitu, tapi begitu kena dua kali PPDB SMP, jangan-jangan kalau ortu ga ambis, ya lo kelibas … ah damn.

Yang menarik adalah, ada orang-orang yang meng-aknowledge pergerakan saya di dunia PPDB dan memuji, kata mereka saya niat banget cari sekolah. Ya gimana, kantong kering mencekik dan jelas tidak ada peluang di zonasi pun di tahap akhir. Sungguh disayangkan memang banyak orangtua yang memilih tidak segitu berjibakunya karena tidak mengerti atau merasa terlalu rumit, sehingga ada yang menyerah atau menyuruh orang. Bahkan untuk metode bisa daftar lagi setelah terdepak di 3 pilihan saja, juga masih banyak yang tidak tahu- termasuk bapake kawanan dino. Ya karena se-tricky itu.

Ini tuh Jakarta, kebayang kan kalau di daerah?

Tahun depan saya akan kembali ke PPDB dan rasanya kepala makin cenat-cenut. Saya memberikan catatan tambahan untuk si sulung. Ini semester terakhir kamu, pe er masih banyak. Yang sabar ya … yuk kerja keras.