Kisah legenda tentang Rara Jonggrang yang memperdayai
Pangeran Prabu Bandung Bandawasa, memintanya mendirikan 1000 candi dalam
semalam sebagai syarat menikahinya padahal itu hanyalah cara menggugurkan
lamarannya. Betapa tidak, sang pangeran adalah orang yang membunuh ayahanda
putri Rara Jonggrang. Saat 999 candi dibuat atas bantuan makhluk halus, Rara
Jonggrang bertindak cepat dengan membangunkan perempuan-perempuan desa dan
disuruhnya menumbuk padi. Tak hanya itu, jerami dibakar sehingga si ayam jantan
terbangun dan mengira hari sudah pagi, lalu berkokoklah ia. Mendengar kokokan
ayam, para makhluk halus segera
meninggalkan tugasnya. Marah karena ditipu oleh sang putri, Pangeran Prabu
Bandung Bandawasa pun mengutuknya beserta dayang-dayangnya menjadi candi.
Percaya atau tidak inilah tujuan bulan madu saya, tujuh
tahun yang lalu. Kelihatannya bertolak belakang, tapi inilah pernyataan bahwa urusan
keluarga adalah yang utama. Nobody messed up with my family. Begitulah bahasa
mafianya. ^^
Dan dua tiket Sriwijaya Air kala itu, setibanya di bandara Adi Sutjipto, kami hanya perlu naik Trans Jogja hingga terminal, lalu jalan kaki
menuju penginapan.
Memandangi kompleks Candi Prambanan dari jendela kamar kami seistimewa
melihat taburan begitu banyak bintang di langit malam. Apalagi begitu
mengunjungi langsung keesokan paginya. Saya bersyukur juga ada mitos bahwa
pasangan kekasih yang datang ke Candi Prambanan maka akan putus. Seperti mitosnya
Kebun Raya Bogor. Hal ini artinya, area hijau yang luas ini nyaman dinikmati.
Ga ada pemandangan orang-orang pacaran. Rusa-rusa pun bertebaran di salah satu
sisi, serasa tinggal di istana.
Tema wanita dan keluarga juga semakin ditekankan dalam
pertunjukan sendratari Ramayana yang diselenggarakan di Teater Barat Candi
Prambanan, tak jauh dari penginapan. Tiketnya pun bisa dibeli di penginapan. Perjalanan
Rama menuju istana Rahwana terlihat epik. Shinta yang walau bikin gemes, tapi
nyatanya dia menjaga kehormatan dirinya walau menjadi tawanan.
Dengan berlatar
belakang Candi Prambanan yang terlihat menakjubkan dengan lampu sorot dan angin
semilir malam, suasana pun jadi romantis walau panggung ‘membara’.
Namun itu tujuh tahun lalu, ketika temanya masih
cinta-cintaan. Maklumlah, pengantin baru. Sekarang kalau ingin jalan-jalan,
tujuan utamanya adalah memberi pengalaman seoptimal mungkin pada anak-anak.
Namun, semangatnya masih sama tentang wanita. Maklumlah, ibu saya orang minang
dan dididik secara minang. Jadi isu pemberdayaan perempuan itu kenceng banget
masa saya kecil dulu. Sekarang saatnya meneruskan ke anak-anak saya yang dua di
antaranya adalah perempuan. Namun bukan ke Padang tujuan saya selanjutnya. Melainkan
ke Banda Aceh. Dan karena pasti bawa bocah-bocah, lebih enak naik maskapai yang ketahuan nyamannya, Garuda Indonesia.
Saya ingin ziarah ke makam nenek buyut saya, Cut Nyak
Meutia. Seorang wanita pejuang, yang harus melihat suaminya ditembak mati
Belanda dalam keadaan hamil anak kembar. Pun setelah itu kedua anak kembarnya
pun meninggal, Cut Nyak Meutia pun sempat sakit berbulan-bulan. Namun akhirnya
dia memutuskan kembali bergerilya di hutan, setelah sebelumnya menikahi sahabat
suaminya sesuai permintaan terakhir sang suami. Dan dalam perjuangannya itu,
putra semata wayangnya pun turut serta. Hingga kemudian beliau tewas ditembak
Belanda dalam sebuah pertempuran. Sebuah makam tua ditemukan beberapa tahun
belakangan, letaknya tidak jauh dari lokasi pertempuran Cut Nyak Meutia. Dan ke
sanalah saya hendak datang.
Sebenarnya lokasi makam ini lebih dekat jika saya naik
pesawat dari Jakarta menuju Medan Kualanamu. Tapiiii ... kalau ke Banda Aceh,
saya lebih dekat ke tempat saudara. Jadi lebih cepat dapat tebengan menuju
lokasi. Hehehe ... modus. Lagipula ada sepupu dan keponakan saya juga korban
tsunami, jadi baiknya memulakan diri berziarah di Banda Aceh. Entah itu di
pemakaman massal, entah itu di pinggir laut.