Bermula dari keisengan saya bertanya pada satpam. Siapa tahu ada paket, pikir saya. Toh, saya sadar sedang tidak melakukan transaksi ke e-commerce dalam beberapa waktu belakangan.
"Ada, bu." Jawab satpam menunjukkan nama saya tertera di buku catatannya.
Saya jadi kaget sendiri.
Begitu satpam keluar, dari bentuknya saya yakin itu berbentuk buku. Apa itu bukti terbit untuk editan saya? Tapi sepertinya semua sudah terkirim ...
Begitu paket itu berpindah tangan, saya tengok pengirimnya. Laily Lanisy...
Who?
I have no idea.
Abang saya memang sering memesankan buku untuk adik-adiknya di Jakarta meski dia masih betah di UK, tapi melihat nama pengirimnya, saya yakin itu bukan dari salah satu kawan abang yang memang ga sedikit adalah komikus kenamaan. I'm sure it's not comic.
Sesampainya di unit, saya tutup pintu kamar. Tak ingin anak-anak ikut menyaksikan unboxing paket saya seperti biasa. Takut isinya buku nyeleneh. Saya buka hati-hati, tak ingin membuat sobek tulisan keterangan pengirim berikut nomor teleponnya. Dan saat saya keluarkan bukunya, saya makin bingung.
Ternyata Laily Lanisy adalah nama seorang penulis. Penulis romance sepertinya. But I still don't know her. Ini dapat dari mana nama dan alamat saya. Kalau nomor telepon ya biasalah, kan memang saya cantumkan. Apa mungkin salah kirim?
Namun, bagi seorang buku antusias kaya saya, pantang mengembalikan buku ^^
Lalu saya buka plastik dan mulai membuka lembaran pertamanya. Untuk Melati. OK fix, bukan salah kirim.
So, this mysterious writer has sent me a book. Dan apa lah lagi yang bisa saya lakukan selain membacanya.
It's a love story. About Tami.
Laily Lanisy menyebutkan bahwa novel Encore adalah kumpulan semua kisah tentang Tami yang selama 20 tahun ini telah muncul dalam berbagai bentuk di media-media cetak, salah satunya muncul di majalah Gadis. Selama 20 tahun setia pada karakter yang sama. Wow. Saya nulis 50 halaman saja rasanya mau ganti ke cerita yang lain.
Tami menderita leukimia. Tapi tidak ada yang tahu selain keluarganya. Kawan-kawannya melihat Tami sebagai mahasiswi yang aktif dan bandel karena sering terlambat atau bahkan mangkir. Mereka tidak tahu, aktifnya Tami karena sudah ada perkiraan tanggal kematiannya di depan mata. Mereka tidak tahu, mangkirnya Tami karena terkapar menjalani pengobatan.
Tami menerima penyakitnya tapi bukan berarti menolak untuk hidup. Kedua orangtua yang sama-sama dokter, menjadikan rumahnya sebagai rumah sakit untuk memudahkan pengobatan bagi putri bungsunya. Dia cukup 'beruntung' karena menjadi salah satu yang pertama yang mencecap hasil eksperimen terkini.
Tami tak menghentikan dirinya untuk jatuh cinta pada pria. Pada Bara. Lagipula, siapa yang bisa menolak datangnya cinta? Namun, dia tak yakin akan kuasa menerima cinta dari pria tersebut.
Penulis mengambil sudut pandang empat tokoh, yaitu: Tami, Bara, Tommy (kakak Tami), dan Oki (mantan pacar Tommy) sebagai caranya meramu kisah. Sebuah kelompok support system. Yang memang sejatinya diperlukan, terutama jika ada salah satu anggotanya menderita kanker. Bagaimana Tommy yang bolak balik Jogja-Bandung di saat adiknya dalam keadaan terendah, atau betapa sedihnya ketika dia dengan berat hati tidak bisa menemani karena ada ujian di kampusnya. Bagaimana Oki yang meski sudah mantan, akan tetapi setelah sekian tahun bergaul dengan keluarga Tommy, tapi bagi Tami, Oki adalah kakak perempuannya. Sesuatu yang hanya dimengerti para sisterhood.
Laily Lanisy menulis bagaimana Tami menerima cinta Bara, bagaimana Tommy menjadi semangat Tami, dan bagaimana Oki menjadi tempat Tami bersandar. Memangnya apa hubungannya dengan kanker? Banyak. Penyakit tersebut harus diakui tak hanya mampu menggerus tubuh tetapi juga jiwa. Toh tak melulu tentang Tami dan Bara, karena Tommy juga berulangkali muncul dengan tekadnya 'balikan' dengan Oki. Mantan kekasih sekaligus mantan tetangga di masa kecil. Yang sehat saja, punya masalah. Apalagi yang sakit.
Dengan latar belakang Jogjakarta, kisah ini jadi mirip dengan Dilan dengan latar belakang Bandung. Rasanya ingin turut menyusuri tempat-tempat yang disebutkan di novel tersebut.
Kisah Tami dan kanker darahnya ini sendiri mengingatkan saya pada sepupu saya (al Fatihah). Saya ingat dengan percakapan kami. Ada mimpi, ada cinta, tapi sulit sekali berharap.
Cara Laily Lanisy menempatkan detail yang mungkin tidak sedetail Grey Anatomy, membuat bacaan ini mudah dicerna. Meski, karena kelebatan kenangan, seringkali saya harus jeda sedikit saat membacanya. Yah nuansanya agak serupa dengan The Fault in Our Star (yang kebetulan disebut juga di buku itu), dan syukurnya ga sedepresi Me before You.
Usai membacanya, masih ada sedih yang menggantung. Dan sebelum saya tutup buku itu, saya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya cepat.
Hidup ... seringkali tak sesuai yang kita rancangkan. Seindah apa pun itu ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar