Sabtu, 01 Oktober 2016

Sekelumit Rasa untuk Pengidap Kelainan Langka (Rare Disorders)


"Si kakak bertanya, mengapa jari adiknya ada 24. Dan kemudian keluarlah penjelasan tentang mutasi gen." #polydactyly 
 
Sebuah kalimat yang tidak saya bayangkan akan muncul tak lama setelah kawan saya mengunggah bayinya yang baru lahir. Saat itu, saya tidak terlalu menelaahnya, tidak pula membahasnya pada kawan saya hingga kemudian info itu terus berkembang dan hashtag #polydactyly sering muncul di hadapan mata saya.
Mungkinkah, dia ingin orang-orang mencaritahu?
Dan saya pun mulai mencari ....
"Polydactyly adalah kondisi kelebihan jari. Banyak kasus tampaknya terjadi tanpa sebab yang jelas. Ada karena cacat genetik (inherited) atau sindrom keturunan. Polydactyly adalah kelainan sejak lahir yang paling umum terjadi dan dialami sekitar 1 dari sekitar 1000 kelahiran." Sumber: www.detik.com/detikHealth
Ketidaktahuan mungkin membuat kita takut, tetapi jangan sampai itu menggerus kemanusiaan kita. 

Usai menambah pengetahuan, saya pun memahami bagaimana cara saya harus bersikap. Saya pernah bertemu beberapa orang dengan kasus serupa. Sependek bacaan saya, polydactil lebih banyak berkutat pada isu penampilan ketimbang kesehatan. No big deal. Lalu saya pun mulai mencoba merespons dengan keceriaan yang sama dengan kawan saya.
"Kalau tos sama K, bukan 'high five' dong namanya yaa ^^"
"Dan ga bisa kasih middle finger, hehehe ..."
Kami berbagi tawa. Lalu kemudian keceriaan itu berubah.
Baby K yang mulai belajar merangkak pun tergelincir. Dan patah tulang atau fraktur pertamanya terjadi.

McCune-Albright Syndrome merupakan kondisi genetis yang ditandai oleh kelainan pigmentasi kulit, penyakit tulang dan endokrin (hormon-sistem produksi). Penyakit tulang dapat menyebabkan kelemahan dan kelainan bentuk tulang pada kaki lengan dan tengkorak. Penyakit endokrin dapat menyebabkan pubertas dini dan meningkatkan laju pertumbuhan secara berlebihan (gigantis). Penderita dipengaruhi oleh berbagai karakteristik derajat penyakit yang berbeda. (Sumber: www.detik.com/detikHealth)


Intinya, penyebabnya sulit diketahui. Namun, yang pasti anaknya rentan patah tulang. Titik. Oleh karena penyebabnya sulit diketahui maka metode perawatannya pun samar. Yang bisa dilakukan sekarang ini adalah, bertahan.

1. Stay Positive

Seperti awal #polydactyly, saya lebih banyak diam mengamati. Lebih tepatnya menanti status kawan saya agak mellow sedikit, agar saya bisa mengucapkan kalimat menghibur. Saya hanya sungkan berbicara tentang yang dialami anaknya, jika saya tidak tahu banyak. Namun, hal itu tidak kunjung terjadi. qadarullah, kami bersua di suatu even di Balai Kartini. Dalam pendeknya waktu, kawan saya memaparkan banyak hal yang membuat saya menganga dalam hati. Dari sekian banyak rencana perawatan di depan mata, saya melihat binar matanya masih jenaka seperti awal saya mengenalnya.

Fraktur kedua, fraktur ketiga, pemasangan bracelet ... semua dia beritakan di akun Fbnya dengan mengakhirinya dengan emoticon lucu. Though it might be not that funny ... atau ketika dia melihat kondisi pasien lain dan keluarga, dia selalu menyematkan rasa syukur.

Lalu kemudian dia tergabung dengan kegiatan IRD atau Indonesia Rare Disorders. Pikir saya, dia tengah melakukan langkah yang besar. Sebagai sesama editor, saya paham bahwa memastikan orang-orang memahami sebuah situasi atau kondisi itu penting agar tidak terjadi salah paham. Makanya dia tak pernah mengekspresikan larutan perasaannya terlalu dalam, melainkan lebih banyak soal progress dan progress.

Hingga kemudian saya melihat akunnya ditaut oleh suaminya. Fraktur ke sekian kalinya kala mudik lebaran yang menyebabkan sang suami terpaksa harus kembali ke Jakarta lebih dulu meninggalkan kawan saya di kampung halaman mengurusi anak di RS. Dan kalimat mellow yang saya nanti ternyata keluar dari suaminya. Seketika, sedih yang lama terpendam pun menjalar dalam hati.
 
2. Gue Takut
Saya suka merasa ingin memutar bola mata jika melihat ada orang tua yang berlebihan melihat anaknya main di titian atau lompat-lompatan atau berlarian. "Nanti jatuh!!!!"
So be it. Pikir saya pada kebanyakan waktu.

Tapi ketika kawan saya berkata, "Gue takut kalau gue meleng sedikit, dia jatuh. Dan sudah pernah kejadian."
"Gue takut membayangkan di tahun mendatang, bagaimana dia akan sekolah?"
"Sedangkan K anaknya cheerful ... gue ga mau bikin dia sedih dengan keadaannya."
Meleleh air mata saya. Saya banyak membaca tentang dukungan sangat penting dalam perkembangan anak terutama di usia di bawah enam tahun. Jadi, membayangkan menahan laju alami seorang anak untuk bergerak itu membuat saya sedih. Teringat ketika si sulung harus diberi perawatan DBD di usia 10 bulan. Masa dia sedang senang berdiri tapi terpaksa saya tahan karena infusnya dipasang di kaki. Lalu bagaimana dengan perasaan kawan saya?

How could fear shaped your face, after all this time ...
Kawan saya yang cuek itu ... 

This is not your fault .. it is nobody's fault. 


Namun, ternyata ada yang lebih dia takutkan. Yaitu ketika dia menjadi lebih fokus pada kekurangannya, sehingga tidak menyadari bahwa putranya itu diam-diam mempelajari sesuatu.
"Tahu-tahu dia dah bisa naik tangga. Gue histeris."


3. Gue Cemas
Kali ini kecemasannya ditujukan pada putri sulungnya yang harus menghabiskan hari-harinya bolak-balik RS, terlebih ketika adiknya mengalami fraktur. Masa-masa penting sang kakak sering dilewatkan tanpa didampingi orangtuanya karena entah bagaimana selalu bertepatan dengan kasus pada adiknya. Sebagai keluarga perantauan generasi pertama, maka tak semudah itu menitipkan anak. Pun, anaknya tak mau dititipkan.
"Aku suka kalau bisa sama abi dan umi." Tapi jangan di rumah sakit.
Bahkan orang dewasa pun gamang dalam menghadapi situasi ini, apalagi dirinya. Terasa wajar, jika dia sedikit mengharapkan sebuah alur cerita yang berbeda.

Namun Tuhan tidak akan memberikan sesuatu pada umatnya melebihi kemampuannya. 

Saya menyaksikan sendiri ketika salah satu kerabat tervonis kanker dan keberadaan supporting group sangat membantu pasien untuk merasa bahwa ada yang memahami sakitnya secara nyata. Dan bahwa mereka tidak sendirian.

Bergabung dengan Indonesia Rare Disorders, banyak membantu kawan saya dalam hal penambahan informasi dan tali dukungan antarorangtua. Namun, bagaimana dengan para kakak atau adik penderita rare disorder?


4. Gue Menghindar
Setelah fraktur ke sekian kalinya, kawan saya menghindar memberitakan di media sosial. "Biar orangtua dan mertua ga perlu tahu," katanya. "Bukannya apa-apa, terakhir kali mereka tahu, langsung panik massal. Dan kalau sudah begitu gue jadi ikut panik."
Hal ini menyadarkan saya bahwa menjadi supporting group  itu pun tidak mudah. Walau niatnya baik. Membekali diri dengan banyak pengetahuan tentang kelainan itu adalah satu cara, tapi juga menyediakan hati yang lapang untuk mereka. Dan biarkan mereka yang menentukan mau apa mereka di sana.

So, what can I do for you, friend? 


5. Gue Sedih
"Anggapan orang lain tentang kondisi K itu benar-benar menjatuhkan mood."
"Gue pernah dituduh penyiksaan pada anak, pernah melakukan aborsi gagal ...."
Dan pernah juga dituding oleh tenaga kesehatan.
I was like, whaaaaat??
Saya memang tidak bisa mengontrol terlebih menghakim lidah orang lain. Banyak orang di luar sana yang "tong kosong nyaring bunyinya". Jadi yah sudahlah, semoga mereka-mereka diberi petunjuk. Namun, lain halnya dengan tenaga kesehatan. Sebagai penggemar serial televisi berlatar belakang medis, saya menyadari bahwa seorang tenaga kesehatan juga punya semacam SOP untuk waspada terkait dugaan kekerasan pada anak dan semacamnya. Namun, dari sekian banyak episode yang saya tonton, ada yang namanya etika bertanya atau etika mencari tahu, instead of menuding yang akhirnya lebih sibuk menghakimi ketimbang mencari solusi.

Hati-hati dalam mengulik masa lalu, tidak ada orang yang mau dihakimi. 



Indonesia Rare Disorder dalam perjalanannya selama satu tahun ini, berhasil mengumpulkan para orangtua pilihan ini. Menjadi wadah untuk meraih energi positif kembali usai didera banyak sekali tanggapan negatif. Bagi yang tidak mengalami, tidak semudah itu dapat melihat seluruh paket perasaan yang dialami keluarga pengidap rare disorders. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dalam bersikap.


Jadi, mari mengenal rare disorders agar ke depannya semoga lebih banyak masyarakat teredukasi tentang kelainan LANGKA ini. Mereka 'hanya' LANGKA bukan sebuah kesalahan ataupun kegagalan. Bahwa mereka NYATA. Mereka dekat. Mereka di sekitar kita. Dan dengan dukungan masyarakat yang teredukasi, para pengidap rare disorders ini sejatinya akan mampu menjadi BERDAYA.



1 komentar:

  1. sedih bacanyaaa :(.. dan aku jd tau ttg polydactyly ini mbak...ga tega ngebayangin baby harus mengalami patah tulang krn penyakit langka begini ... dewasa aja kalo patah di tulang bisa nangis saking sakitnya, apalagi bayi :(

    BalasHapus