Minggu, 07 Juli 2024

Nilai 95 Tidak Cukup di PPDB

 


Oke, setelah membicarakan kisah PPDB dua tahun lalu ketika hendak memasukkan si anak sulung ke SMP, sekarang saatnya giliran anak kedua.

Berbeda dengan si sulung, anak kedua ini setelannya berbeda. Kami semua sepakat bahwa dia memang berbakat di matematika meski gayanya random cenderung absurd. Saya sudah pantau nilainya dari kelas 4. Persis seperti yang saya wanti-wanti pada si sulung, di atas 90 dan sepuluh besar di kelasnya. Ketika nilai semester pertama di kelas 6 keluar, saya sudah dapat nilai rata-rata rapornya. 95,2 dan 10 besar. Oh, aman. Pikir saya waktu itu.

Saya sudah buat beberapa nominasi. Mau yang sifatnya ambisius atau yang aman. Beberapa skenario juga dirancang. Untuk anak yang satu ini memang sengaja tidak diarahkan ke MTS, karena dia termasuk yang fokusnya ga sebanyak kakaknya. Dan melihat kakaknya cukup struggle di bahasa Arab, saya pikir lebih baik si anak laki satu-satunya ini mending fokus di SMPN saja. Kalaupun dia mau belajar yang lain-lain bisa baca buku pelajaran kakaknya. No pressure pressure lah intinya.

Tapi begitu peringkat sidaniranya keluar … jeeeng … 21. Wah ini sih kena potong dua kali. Rupanya di SD nya nilai tertingginya 98 dan kemudian yang berderet di bawahnya ya bisa jadi hanya bersaing di belakang koma. Makanya untuk nilai 95 kenanya di peringkat 21.

Kalau di sekolah kalian nilai 95 masuk rangking berapa?

Dan buyarlah semua nominasi SMP yang sudah saya kumpulkan. Belum lagi, wali kelasnya mengkonfirmasi kalau predikat dia juara 1 di wilayah Jakarta Selatan di ajang Literasi dan Numerasi itu tidak bisa masuk ke kurasi prestasi. Benar-benar mengandalkan nilai saja kalau begini.

Saya mengira-ngira Nilai AKhirnya akan berada di nilai 60an. Oke, baik. Searching lagi, kumpulkan 3 nominasi dan nominasi lain sebagai plan B. Saya cari berdasarkan jalur angkutan sampai ke arah Blok M dan ke Jakarta Timur lagi alias ke Condet. Pas buat list baru ini, saya mulai nervous karena si nilai akhir ini meski saya diberi link untuk menghitung tetapi entah kenapa tidak bisa saya gunakan. Jadi semuanya serba gamang.

Saatnya membuat akun PPDB dan di situlah saya mengetahui nilai akhirnya jadi … 55,5.

Ini ribetnya PPDB, formula penilaiannya sungguh punya terlalu banyak aspek sehingga ketika merujuk data sebelumnya jadi tidak bisa dijadikan pegangan karena suka masih ada error-error. Dan kalau meleset, efeknya itu 4 dimensi. Ada kawan yang bilang, jangan pasang target tinggi-tinggi makanya. Man, kalaupun memang ketinggian harusnya di bagian yang aman itu bisa diterima. Kan saya bikin beberapa lapis rencana tapi semuanya buyar. Berarti kan ibaratnya nilainya bukan sekadar dikurangi tetapi diakarkuadratkan. Jadi keciiil banget.

Panik mode on. Karena dari hasil mendata itu, nilai terendahnya rata-rata di 60. Gawat, terancam tidak ada yang masuk ini. Ketika sedang panik begini, jadi ingat si MTSN. Eh sudah tidak bisa daftar akun lagi. Ingat ya gaes, daftar akun PPDB di MTSN itu ada jangka waktunya, beda dengan PPDB SMPN. Seketika saya langsung merasa, did I do something wrong. Did I just push my son to wrong path. Macam-macam lah. Sampai saya kesal sendiri karena merasa sistem PPDB ini benar-benar bikin stress orangtua, apalagi kalau orangtuanya milenial. We were struggle when we were kids, learned my a** off just to get the best point, now we have to endure the same stress when we become parents?

Daftar SMP belum saya ubah, karena yah seperti masih berharap gitu lah. Saya lihat dari jalur prestasi non akademis harusnya masih ada kemungkinan. Dari datanya cukup banyak SMP di sekitar yang mayoritas nilai akhirnya di 30an. Memangnya bisa kalau tidak ada prestasi non akademis tapi mendaftar ke situ? Bisa. Intinya di nilai akhirnya cukup atau tidak.

Tibalah harinya. Hari pertama PPDB itu adalah momen pengembalian murid dari guru ke orangtua murid. Sudah pasti tidak bisa memantau dari pagi dan seperti biasa servernya sempat ngadat. Begitu acara selesai dan menjelang sore, saya cek lah kondisi medan pertempuran. Saya mau sumpah serapah pun jadi tak bisa. Semua SMP yang tadinya masih ada peluang di non akademis tiba-tiba nilainya di atas 60. I was like … gimana sih, rasanya kaya pupus harapan gitu loh.

Melihat saya panik mencari sekolah, si sulung berkomentar, “Lah, sama aja dong dia sama aku. Susah-susah juga cari sekolahnya.”

Mendengar dia berkomentar begitu, saya jadi curiga apa dia merasa bagaimana gitu dengan komentar saya tahun lalu (lihat postingan PPDB sebelum ini: Kenapa MTS?). Mental suka menyalahkan diri saya kumat lagi dan itu benar-benar bikin level stress menanjak tajam.

Ya sudah, setelah pura-pura menenangkan diri akhirnya bikin list SMP baru. Kali ini sudah dalam titik ya sudah pokoke harus negeri. Kenapa ngoyo banget? Melihat bapake yang senewen berhari-hari dengan situasi anaknya kemungkinan masuk swasta, lalu sibuk menyalahkan kegiatan leyeh-leyeh anaknya di hari libur, saya tahu itu artinya doi tidak punya dana untuk menyekolahkan ke swasta. So, harus dapatlah! Itu misi saya.

The show must go on, mau gue stress atau ga.

Saya buka google dan mulai menulis “SMP Negeri di Jakarta Selatan“ atau “SMP Negeri di Jakarta Timur” Karena itu yang paling bisa dijangkau dengan kendaraan umum. Saya catat semua SMP yang muncul lalu lihat rute jalannya, pantau durasi dan berapa banyak harus transit dan jalan kakinya. Setelah itu, saya lihat perolehan nilai di web PPDB.

Kuota jalur prestasi itu apalagi yang non akademis sangat sedikit. Jadi sering sekali dari semua list yang tersedia, posisinya selalu 3-5 dari posisi buncit. Setelah semalaman mencari, keesokan harinya saya mulailah memasukkan pilihan: SMP 15, SMP 46, dan SMP 209.

Posisi di SMP 15 pada pukul 8 adalah 10/12. Di sini saya baru ngeh kalau nilai akhir non akademis dan akademis itu berbeda. Jadi nilai si anak laki ini jadi tinggal 37,5 kalau di non akademis. Makin stress ga tuh …

Lalu pada pukul 10 peringkat turun jadi 12/12.

Pukul 12 terdepak.

Langsung lanjut ke SMP 46, posisi 5/7. Posisi ini lumayan awet sampai malam. Hari ketiga, beda lagi ceritanya.

Pukul 9 pagi, sudah terdepak dari SMP 46. Lanjut ke SMP 209 posisi 12/14. Saya sempat cek lagi pukul 11.30 karena kebetulan ada teman yang juga lagi PPDB SMA dan sepagian tadi dia update perihal orang-orang yang baru masukin nama anaknya sehingga mulai terjadi pergerakan yang signifikan meski proses seleksi akan berakhir beberapa jam lagi. Saya lihat, posisinya belum berubah. Oke, mari ishoma dulu.

Selesai ishoma, pukul 12.45. Resmi terdepak di tiga sekolah.

Waktu tinggal 75 menit lagi, entah bagaimana saya merasa harus cari lebih detail lagi. Lagi-lagi saya buka google dan saya ketik “SMP Negeri di … “ Saya runut per wilayah yang masih masuk akal jangkauannya. Pancoran, Pasar Minggu, Jagakarsa, Lenteng Agung, Condet, Kramat, Blok M, Setiabudi … Meski masih menemukan beberapa nama sekolah yang tidak saya temukan sebelumnya, tetap saja ada banyak sekali sekolah yang harus saya coret karena sudah tidak tersedia kuotanya. Tersisa satu, SMPN 247. Posisinya masih bisa 4 kursi lagi untuk nilai di bawah anak saya. Pukul 13.00 saya mendaftar lagi dengan pilihan satu sekolah itu. Eh kaget dong, karena ternyata posisinya jadi 9/10. Rupanya pada saat yang bersamaan, ada tiga anak yang mendaftar ke sana-mungkin nasibnya sama dengan saya-dan nilainya lebih tinggi.

Pukul 13.45 atau 15 menit menjelang pendaftaran jalur prestasi ditutup, saya memutuskan tutup laptop. Yah kalau terdepak juga pun sudah tidak ada opsi yang lain lagi.

Setengah jam kemudian, wali kelasnya chat wa saya berisi: Selamat ya sudah aman posisinya di SMPN 247.

Saya bahkan sudah tidak ada energi untuk lega. The power of didepak-depak itu ngefek banget ke saya. Saya lalu membuka screenshot daftar murid yang dikirim oleh walas. Tahu anak saya di posisi berapa? 10/10. Di 15 menit terakhir bisa-bisanya ada satu orang yang menggeser. Duh semoga yang terdepak sudah mendapatkan tempat yang lebih baik. Dan yang lebih menyebalkannya adalah, ketika seminggu kemudian saya lihat lagi daftar murid yang telah diterima, rupanya ada satu orang yang tidak melakukan lapor diri. Lah lo buat apa daftaaaaaaar!!! Bikin kesel aja. But anyway, semoga mereka memang punya alasan yang kuatlah. Soalnya suka sebel sama orang yang sudah ambil kuota eh tidak diambil karena mau coba yang lain-kan sayang itu bisa jadi jatah orang lain. Yah walau kalau di PPDB, yang tidak lapor diri kuotanya jadi digunakan untuk jalur tahap akhir. Cuma tetap saja kesal lihatnya. Jangan dibiasain lah kaya begitu. Ada orang yang jumpalitan buat dapat sekolah negeri oooy …

Kenapa kemudian tidak bisa lega-lega banget? Karena yang menjadi tugas selanjutnya adalah bagaimana caranya supaya tidak terjadi hal serupa di PPDB SMA. Les, eskul, lomba … oh my God apakah aku kini menjadi ibu-ibu ambis? Awalnya saya lihat orang lain ya kelihatannya begitu, tapi begitu kena dua kali PPDB SMP, jangan-jangan kalau ortu ga ambis, ya lo kelibas … ah damn.

Yang menarik adalah, ada orang-orang yang meng-aknowledge pergerakan saya di dunia PPDB dan memuji, kata mereka saya niat banget cari sekolah. Ya gimana, kantong kering mencekik dan jelas tidak ada peluang di zonasi pun di tahap akhir. Sungguh disayangkan memang banyak orangtua yang memilih tidak segitu berjibakunya karena tidak mengerti atau merasa terlalu rumit, sehingga ada yang menyerah atau menyuruh orang. Bahkan untuk metode bisa daftar lagi setelah terdepak di 3 pilihan saja, juga masih banyak yang tidak tahu- termasuk bapake kawanan dino. Ya karena se-tricky itu.

Ini tuh Jakarta, kebayang kan kalau di daerah?

Tahun depan saya akan kembali ke PPDB dan rasanya kepala makin cenat-cenut. Saya memberikan catatan tambahan untuk si sulung. Ini semester terakhir kamu, pe er masih banyak. Yang sabar ya … yuk kerja keras.

 

Minggu, 30 Juni 2024

Love Language – Paket Komik dari Abang lewat JNE

 



Beberapa bulan setelah saya menikah, abang saya dan keluarga pindah ke Inggris. Itu artinya sudah hampir 16 tahun yang lalu. Dari 16 tahun itu, rasanya satu tangan pun belum tuntas untuk menghitung momen mudiknya.

Kami empat bersaudara. Saya si bungsu dan si abang si tertua. Kemiripan karakter antara anak ujung ini memang membuat kami lebih banyak berinteraksi. Sebelum menikah, saya biasa duduk di lantai di samping kursinya, memandangi si abang tengah mengutak-utik gambar di komputer. Atau, dia akan selalu melongok ke kamar saya sepulang dia kerja-karena saya bertugas membereskan meja setelah makan malam dan dialah yang terakhir makan di pengujung hari.

Kami empat bersaudara. Dibesarkan dengan buku sebagai satu-satunya hiburan setelah TV yang juga dibatasi jamnya. Buku saat sakit, saat liburan, saat ke rumah teman atau ke rumah saudara, saat tidak ke mana-mana. Buku dibeli, buku dipinjam, atau majalah berlangganan. Bisa dikatakan love language kami adalah, buku.

Abang sulung saya itu termasuk yang pertama membeli buku sendiri dari uang jajannya. Buku komik beraliran mecha biasanya karena dia memang suka menggambar robot. Lalu kemudian dia mendapatkan majalah Annida gratis karena menjadi kontributor komik. Saya sebagai bungsu, setiap pulang sekolah cukup menunggu tiap minggu atau bulannya, komik-komik atau buku baru dari ketiga kakak saya. Seperti menanti kabar gembira, menunggu salah satu dari mereka berkata “Ada komik baru tuh.” Dan saya langsung menghambur ke kamarnya.

Dan ketika kami mulai hidup berpencar-pencar, adalah untaian kata yang mengobati kerinduan. Berbagi kabar dari milis, kemudian berlanjut ke media sosial. Si abang tidak banyak merangkai kata, tetapi dia tetap gasss semangat kreativitasnya dengan mengisi media sosialnya dengan karya-karya ilustrasinya yang dibuat versi video ketika dia menggambarnya. Like old times, tapi versi online.

Kemudian sejak e-commerce mulai ramai, dia pun mulai menitip dibelikan buku. Biasanya komik-komik karya kawan-kawannya. Dialamatkan ke rumah orangtua dengan harapan ketika mudik akan dibawa ikut ke Inggris. Dan ketika keponakannya semakin besar, dia pun mulai membeli komik tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk para keponakannya. Sehingga meski kemudian mudik itu menjadi semakin jarang terjadi, silaturahmi tak kemudian pudar meski di level keponakan yang memang tidak punya rekam jejak banyak akannya.

Saya yang biasanya akan memesankan buku sesuai permintaannya dan ketika paket diantar kurir JNE tiba di satpam saya bahkan masih menyambutnya dengan gembira dan berdebar. Betapa tidak, kecepatan kemunculan paket itu sering kali lebih cepat dari yang diharapkan. Ketika kembali ke rumah setelah menjemput anak-anak pulang sekolah, satpam akan berkata, “Bu, ada paket buku.” Dan saya langsung menghampirinya.

(Sumber: www.instagram.com/rumah_melati)


Lalu aksi kirim-kirim buku itu mengalami peningkatan. Rupanya abang saya ini gasss terus semangat kreativitasnya meski tengah di negara orang. Dia berkolaborasi dengan komikus Indonesia lain dan  membuat komik. Dan bukunya terbit di sini, sementara dia tetap tinggal di sana. Saya lalu menawarkan diri menjadi manajer penjualannya di sini. Jadi dia tetap bisa mempromosikan karyanya dan saya yang mengurus pengirimannya. Awalnya, dia ragu menerima permintaan saya karena tidak mau merepotkan saya yang punya 3 bocah di usia di bawah 10 tahun. Namun, saya bilang bahwa kantor JNE tersedia di Kalibata City. Selama masih di Kalibata City, tidak ada yang jauh dan merepotkan bagi saya. Lalu dibuatlah akun lapak bukunya di Instagram di mana saya sebagai adminnya juga.

Kantor JNE termasuk pelayanan kurir pertama yang tersedia di Kalibata City. Mulai dari masih serba manual pengisian datanya yang mengakibatkan antrian panjang hingga kini sudah menggunakan komputer dan kalau dari e-commerce bahkan langsung tercetak alamat pengirim dan penerima. Jadi sebenarnya tidak terlalu perlu saya mencetak stiker khusus untuk Alamat. But I still do it anyway karena itu ongkos branding yang murah ketimbang mencetak kemasan khusus.

Lalu terbitlah karya-karya kolaborasinya, serial Liqomik, Papomics, Palestina, dan Nusantara Warriors. Tak hanya karyanya, tetapi juga karya temannya yang lain. Dengan memiliki lapak buku, dia jadi bisa ikut membantu penjualan komik kawannya yang berpulang ke rahmatullah sebelum komiknya terbit. Komik Pahala Mengalir terbit secara gotong royong dan seluruh royaltinya untuk para ahli warisnya.


(Sumber: www.instagram.com/toko_new_rule)


Tidak berhenti di situ. Anak semata wayangnya pun mengikuti jejak sang ayah, ikut berkolaborasi dari jarak jauh dan terbitlah Comic Junior #1 Berbuat Baik. Saya yang sekadar menjadi admin pun merasa tengah connecting happiness melihat tanggapan pelanggan baik atas karya abang atau keponakan saya. Meski jauh dari komunitasnya, abang masih mendapat apresiasi di tanah air. Apalagi tidak pernah ada masalah dengan pengirimannya, semua tiba dengan selamat dan dapat dipantau kapan pun. Sehingga citra baik abang dan karyanya juga ikut terjaga.



Belakangan saya sedang rindu karya abang saya yang baru, sekadar agar bisa sering-sering silaturahmi ke JNE dan connecting happiness, my happiness karena bangga pada abang saya yang tak surut semangatnya dalam berkarya. Ayo, Bang, gasss terus semangat kreativitasnya.  


#JNE#ConnectingHappiness#JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024 #GasssTerusSemangatKreativitasnya  

Senin, 24 Juni 2024

Kenapa MTSN?

 

Ini kisah PPDB dua tahun lalu. Kisah yang cukup membagongkan bagi saya hingga sulit saya tuliskan di media sosial saat itu. Sekarang, rasanya saya sudah siap karena tengah menjalani PPDB juga untuk si anak tengah. Waktu itu awal tahun 2022, saya baru saja mendapatkan nilai sidanira dan juga bocoran peringkat si sulung untuk masuk SMP. Dengan nilai rata-rata 89, dia berada di peringkat 30-an untuk satu Angkatan berjumlah 60 orang. Waktu itu, saya hanya mengira-ngira nilai akhirnya, lalu mencocokkan dengan data PPDB tahun lalu.

Sejak awal saya tahu, si sulung tidak akan bisa lewat jalur zonasi. Waktu PPDB SD saja, dia berada di posisi dua dari bawah karena usianya masih 6 tahun 3 bulan. Enam tahun kemudian, peluang masuk SMP lewat jalur zonasi tentu semakin kecil saja. Oleh sebab itu, target saya, bangku terakhir. Hal itu karena ya saya memang punya semangat tidak kasih pressure ke anak untuk ikut lomba saat masih duduk di bangku SD. Makanya, dia tidak punya catatan prestasi sama sekali.

Namun, saya tidak benar-benar sreg jika hanya mengharapkan bangku terakhir. Tentu tahu, bangku terakhir itu jumlahnya sangat sedikit dan tidak pasti sama dengan tahun lalu. Di tengah kebingungan itu, kawan saya berkomentar di WAG, “Kenapa ga coba MTS?”

Jujur hingga saat itu, saya masih merasa MTS itu seperti sekolah buangan. Itu hingga saya coba buka situsnya https://ppdb-madrasahdki.com/#/02 MTS itu sama gratisnya dengan SMP, begitu juga dengan jenjang di bawah dan di atasnya. Pembedanya adalah MTSN berada di bawah naungan Kementrian Agama.

Dan saya cek lah arsip tahun lalu lalu terpukau dengan nilai-nilainya. PPDB MTSN tidak menggunakan sistem presentil sehingga nilai yang diambil murni sidanira. Saya pikir, Wah, boleh juga nih.

Saya lalu membuat daftar incaran MTSN yang sesuai dengan jangkauan. MTSN 4 berada di posisi puncak, berlokasi di Jagakarsa. Lalu ada MTSN 6 yang berlokasi di Condet. Salah satu kekurangan dari MTSN adalah lokasinya yang minggiiiiir banget. Sebenarnya ada MTSN yang lebih dekat posisinya dari tempat tinggal saya di Kalibata City, masalahnya tidak accessible. Sebagai pengguna transportasi umum sejati, jarak sedekat itu tapi pulang pergi harus mengandalkan ojek yah sayang saja.

 

PPDB SMPN

Dan tibalah saatnya PPDB SMPN. PPDB MTSN sudah dimulai lebih dulu karena ada lebih banyak jalur yang digunakan, seperti jalur madrasah, boarding, zonasi, dan tahfidz. Saya sempat mempertimbangkan jalur tahfidz tapi minimal 3 juz dan si sulung ‘baru’ 2 juz dan tidak pernah sempat mengikuti sertifikasi karena terhadang pandemi sehingga berulangkali dibatalkan. So, I guess, bukan di situ jalannya. Kesempatannya hanya di jalur regular dan jalur akhir. Sementara untuk jalur akhir MTSN dilaksanakan bersamaan dengan PPDB tahap akhir SMPN. Jadi memang gongnya di jalur akhir banget semuanya.

Saat jalur prestasi, saya masih tenang karena memang tidak mengikutsertakan anak di jalur itu. Memantau penyisihan, berapa banyak siswa dari sekolah yang sama diterima di jalur prestasi. Saat jalur zonasi, juga seharusnya saya tenang karena tahu persis umur anak saya tidak akan masuk. Akan tetapi, saya stress juga melihat bahwa betapa sedikitnya kuota yang tersisa untuk zona 3 di sekolah mana pun. Hanya 3 atau 4 orang dan itu pun pasti sudah berusia lebih dari 13 tahun. Saya jadi memastikan, wah kalau begini sih anak kedua nanti juga tidak bisa ikut jalur zonasi.

Sementara itu, si bontot yang juga masuk PPDB untuk tingkat SD, nyaris terlupakan. Syukurnya umur dia lebih dari cukup atau 7 tahun lebih 2 bulan. Jadi, saya hanya perlu memasukkan satu nama sekolah dan membiarkannya begitu saja. Aman tentram tak tergeser banyak.

Tidak seperti sang kakak yang pada jalur reguler MTSN nilainya terus tergeser dan akhirnya tidak diterima di dua sekolah yang diincar. Tenang … masih ada jalur akhir. Saya melihat dari perolehan nilainya, seharusnya nilai anak saya ini masih bisa bersaing di bangku kosng.

Tibalah waktu penentuan. Jalur tahap akhir atau biasa disebut bangku kosong, karena memang merupakan akumulasi kuota-kuota yang tidak terpenuhi misalnya dari jalur nakes atau kjp atau bahkan karena ada yang tidak lapor diri setelah diterima dari salah satu jalur tersebut. Rata-rata jumlahnya sama dengan data tahun lalu. Saya memutuskan untuk fokus dulu di PPDB SMPN karena saya tidak mau nanti malah diterima dua-duanya, kasihan nanti ada jatah orang yang saya kemudian sia-siakan karena tidak lapor diri.

Walau punya rencana cadangan, tidak menyurutkan kegigihan saya mencari SMP yang bisa menerima nilai akhir anak saya. Kenapa harus gigih? Karena memang sesusah itu … Beberapa kali geregetan karena nilai-nilai terbawah di SMP-SMP hanya terpaut dua poin dari nilai akhir anak saya. Momen ini yang kemudian memicu komentar di dalam hati, ah coba nilai dia di atas 90. Komentar dalam hati ini memicu kilas balik ketika si sulung ini selalu bilang, “Cuma salah satu, kok.” “Masih 90 an kok.” Setiap kali saya tanya nilai ulangannya. Setelah itu, muncul kesal ke anaknya.

Melihat data bahwa nilai anak itu tidak diterima di berbagai SMP itu rasanya kaya ditolak. Sudah pula saya pengalaman pribadinya ditolak cowok terus, menghadapi ini tuh kena juga mentalnya. Tapi kan anakku ga bodoooh. 89 itu di sekolah lain masih sepuluh besaar. Teriak pikiran saya.

Setelah memastikan memang tidak ada SMP yang bisa didaftarkan, akhirnya langsung pindah haluan. Ke MTSN. Pagi-pagi sekali saya sudah cek di web PPDB MTSN, melihat sisa kuota. Saya buka MTSN 4. Hanya ada 4 kuota. Saya kaget sekali. Padahal data tahun lalu itu ada 20 kuota, kok ini jauh sekali perbedaannya. Meski angka ini sebenarnya lazim di SMPN. Kalau hanya 4 kursi, ya wassalam tidak bersaing lah nilainya. Jadi saya mencoret MTSN 4 dari list dan langsung mendaftar ke MTSN 6. Posisinya aman hingga hari akhir meski agak-agak tergeser di bagian tengah. Alhamdulillah …

Saya kemudian memberi catatan pada si sulung, “Kak, inilah makanya jangan menganggap remeh nilai-nilai kurang satu. Kamu bukannya ga pintar, tapi banyak orang yang lebih ngotot sama nilai. Nanti jangan sampai rata-rata di bawah 90 dan harus ikut eskul, aktif ikut lomba.” Si sulung mengangguk dalam diam.

 

PLOT TWIST

Yes, ada plot twist. Beberapa hari setelah fiks diterima dan sudah lapor diri, saya menerima telepon dari salah satu wali murid dari kelas sebelah. Saya sudah tahu itu siapa karena sebelumnya sudah ada yang memberitahu karena si wali murid itu juga mendaftar di MTSN 6. Ah, mau nanya soal daftar ulang mungkin, begitu pikir saya.

Saya sudah menyambut dengan riang karena akan punya anak sama-sama di MTSN 6, lalu dia bilang, “Oh ga jadi, dia masuk MTSN 4.”

Hah kok bisa. Saya ingat betul anaknya ini diterima di MTSN 6 sebagai pilihan kedua, sementara MTSN 4 pilihan pertama.

“Iya, jadi ternyata ada error di MTSN 4. Sebenarnya kuotanya bukan 4 tapi 20. Nah biar tidak ada penumpukan massa di sekolah, jadi hanya diberitahukan ke yang menghubungi langsung saja. Jadi semua yang terdata di PPDB mendaftar ke MTSN 4 akan diseleksi secara manual oleh pihak sekolah.”

I was like …. What … What on earth …

Saya punya nomor admin MTSN 4 tapi saya memutuskan tidak bertanya ketika melihat kejanggalan itu. Oh tidaaaaaak, apakah ini salahku?

Setelah beberapa sesi menyalahkan diri, saya menenangkan diri dengan bilang, “OK, ini qadarullah namanya, Ti.”

Iya, saya tidak menafikan takdir, cuma kenapa harus dikasih tahuuuu aaaaargh …

Saking plot twist-nya makanya saya baru bisa cerita sekarang. Karena rasanya masih aaaaargh aja hehehe …

Anyway, anaknya kemudian jadi anak MTS, doing great (at least for me) dan tahun depan sudah akan di arena PPDB lagi. Fiuuh …