Ini kisah PPDB dua tahun lalu. Kisah yang cukup membagongkan bagi saya hingga sulit saya tuliskan di media sosial saat itu. Sekarang, rasanya saya sudah siap karena tengah menjalani PPDB juga untuk si anak tengah. Waktu itu awal tahun 2022, saya baru saja mendapatkan nilai sidanira dan juga bocoran peringkat si sulung untuk masuk SMP. Dengan nilai rata-rata 89, dia berada di peringkat 30-an untuk satu Angkatan berjumlah 60 orang. Waktu itu, saya hanya mengira-ngira nilai akhirnya, lalu mencocokkan dengan data PPDB tahun lalu.
Sejak awal saya tahu, si sulung tidak akan bisa lewat jalur
zonasi. Waktu PPDB SD saja, dia berada di posisi dua dari bawah karena usianya
masih 6 tahun 3 bulan. Enam tahun kemudian, peluang masuk SMP lewat jalur
zonasi tentu semakin kecil saja. Oleh sebab itu, target saya, bangku terakhir.
Hal itu karena ya saya memang punya semangat tidak kasih pressure ke anak untuk
ikut lomba saat masih duduk di bangku SD. Makanya, dia tidak punya catatan
prestasi sama sekali.
Namun, saya tidak benar-benar sreg jika hanya mengharapkan
bangku terakhir. Tentu tahu, bangku terakhir itu jumlahnya sangat sedikit dan
tidak pasti sama dengan tahun lalu. Di tengah kebingungan itu, kawan saya
berkomentar di WAG, “Kenapa ga coba MTS?”
Jujur hingga saat itu, saya masih merasa MTS itu seperti
sekolah buangan. Itu hingga saya coba buka situsnya https://ppdb-madrasahdki.com/#/02
MTS itu sama gratisnya dengan SMP, begitu juga dengan jenjang di bawah dan di
atasnya. Pembedanya adalah MTSN berada di bawah naungan Kementrian Agama.
Dan saya cek lah arsip tahun lalu lalu terpukau dengan
nilai-nilainya. PPDB MTSN tidak menggunakan sistem presentil sehingga nilai
yang diambil murni sidanira. Saya pikir, Wah, boleh juga nih.
Saya lalu membuat daftar incaran MTSN yang sesuai dengan
jangkauan. MTSN 4 berada di posisi puncak, berlokasi di Jagakarsa. Lalu ada
MTSN 6 yang berlokasi di Condet. Salah satu kekurangan dari MTSN adalah
lokasinya yang minggiiiiir banget. Sebenarnya ada MTSN yang lebih dekat
posisinya dari tempat tinggal saya di Kalibata City, masalahnya tidak
accessible. Sebagai pengguna transportasi umum sejati, jarak sedekat itu tapi
pulang pergi harus mengandalkan ojek yah sayang saja.
PPDB SMPN
Dan tibalah saatnya PPDB SMPN. PPDB MTSN sudah dimulai lebih
dulu karena ada lebih banyak jalur yang digunakan, seperti jalur madrasah,
boarding, zonasi, dan tahfidz. Saya sempat mempertimbangkan jalur tahfidz tapi minimal
3 juz dan si sulung ‘baru’ 2 juz dan tidak pernah sempat mengikuti sertifikasi
karena terhadang pandemi sehingga berulangkali dibatalkan. So, I guess, bukan
di situ jalannya. Kesempatannya hanya di jalur regular dan jalur akhir. Sementara
untuk jalur akhir MTSN dilaksanakan bersamaan dengan PPDB tahap akhir SMPN.
Jadi memang gongnya di jalur akhir banget semuanya.
Saat jalur prestasi, saya masih tenang karena memang tidak
mengikutsertakan anak di jalur itu. Memantau penyisihan, berapa banyak siswa
dari sekolah yang sama diterima di jalur prestasi. Saat jalur zonasi, juga seharusnya
saya tenang karena tahu persis umur anak saya tidak akan masuk. Akan tetapi,
saya stress juga melihat bahwa betapa sedikitnya kuota yang tersisa untuk zona 3
di sekolah mana pun. Hanya 3 atau 4 orang dan itu pun pasti sudah berusia lebih
dari 13 tahun. Saya jadi memastikan, wah kalau begini sih anak kedua nanti juga
tidak bisa ikut jalur zonasi.
Sementara itu, si bontot yang juga masuk PPDB untuk tingkat
SD, nyaris terlupakan. Syukurnya umur dia lebih dari cukup atau 7 tahun lebih 2
bulan. Jadi, saya hanya perlu memasukkan satu nama sekolah dan membiarkannya
begitu saja. Aman tentram tak tergeser banyak.
Tidak seperti sang kakak yang pada jalur reguler MTSN
nilainya terus tergeser dan akhirnya tidak diterima di dua sekolah yang
diincar. Tenang … masih ada jalur akhir. Saya melihat dari perolehan nilainya,
seharusnya nilai anak saya ini masih bisa bersaing di bangku kosng.
Tibalah waktu penentuan. Jalur tahap akhir atau biasa
disebut bangku kosong, karena memang merupakan akumulasi kuota-kuota yang tidak
terpenuhi misalnya dari jalur nakes atau kjp atau bahkan karena ada yang tidak
lapor diri setelah diterima dari salah satu jalur tersebut. Rata-rata jumlahnya
sama dengan data tahun lalu. Saya memutuskan untuk fokus dulu di PPDB SMPN
karena saya tidak mau nanti malah diterima dua-duanya, kasihan nanti ada jatah orang
yang saya kemudian sia-siakan karena tidak lapor diri.
Walau punya rencana cadangan, tidak menyurutkan kegigihan
saya mencari SMP yang bisa menerima nilai akhir anak saya. Kenapa harus gigih?
Karena memang sesusah itu … Beberapa kali geregetan karena nilai-nilai terbawah
di SMP-SMP hanya terpaut dua poin dari nilai akhir anak saya. Momen ini yang
kemudian memicu komentar di dalam hati, ah coba nilai dia di atas 90.
Komentar dalam hati ini memicu kilas balik ketika si sulung ini selalu bilang, “Cuma
salah satu, kok.” “Masih 90 an kok.” Setiap kali saya tanya nilai ulangannya.
Setelah itu, muncul kesal ke anaknya.
Melihat data bahwa nilai anak itu tidak diterima di berbagai
SMP itu rasanya kaya ditolak. Sudah pula saya pengalaman pribadinya ditolak
cowok terus, menghadapi ini tuh kena juga mentalnya. Tapi kan anakku ga
bodoooh. 89 itu di sekolah lain masih sepuluh besaar. Teriak pikiran saya.
Setelah memastikan memang tidak ada SMP yang bisa
didaftarkan, akhirnya langsung pindah haluan. Ke MTSN. Pagi-pagi sekali saya
sudah cek di web PPDB MTSN, melihat sisa kuota. Saya buka MTSN 4. Hanya ada 4
kuota. Saya kaget sekali. Padahal data tahun lalu itu ada 20 kuota, kok ini
jauh sekali perbedaannya. Meski angka ini sebenarnya lazim di SMPN. Kalau hanya
4 kursi, ya wassalam tidak bersaing lah nilainya. Jadi saya mencoret MTSN 4
dari list dan langsung mendaftar ke MTSN 6. Posisinya aman hingga hari akhir
meski agak-agak tergeser di bagian tengah. Alhamdulillah …
Saya kemudian memberi catatan pada si sulung, “Kak, inilah
makanya jangan menganggap remeh nilai-nilai kurang satu. Kamu bukannya ga
pintar, tapi banyak orang yang lebih ngotot sama nilai. Nanti jangan sampai
rata-rata di bawah 90 dan harus ikut eskul, aktif ikut lomba.” Si sulung
mengangguk dalam diam.
PLOT TWIST
Yes, ada plot twist. Beberapa hari setelah fiks diterima dan
sudah lapor diri, saya menerima telepon dari salah satu wali murid dari kelas
sebelah. Saya sudah tahu itu siapa karena sebelumnya sudah ada yang memberitahu
karena si wali murid itu juga mendaftar di MTSN 6. Ah, mau nanya soal daftar
ulang mungkin, begitu pikir saya.
Saya sudah menyambut dengan riang karena akan punya anak
sama-sama di MTSN 6, lalu dia bilang, “Oh ga jadi, dia masuk MTSN 4.”
Hah kok bisa. Saya ingat betul anaknya ini diterima
di MTSN 6 sebagai pilihan kedua, sementara MTSN 4 pilihan pertama.
“Iya, jadi ternyata ada error di MTSN 4. Sebenarnya kuotanya
bukan 4 tapi 20. Nah biar tidak ada penumpukan massa di sekolah, jadi hanya
diberitahukan ke yang menghubungi langsung saja. Jadi semua yang terdata di
PPDB mendaftar ke MTSN 4 akan diseleksi secara manual oleh pihak sekolah.”
I was like …. What … What on earth …
Saya punya nomor admin MTSN 4 tapi saya memutuskan tidak
bertanya ketika melihat kejanggalan itu. Oh tidaaaaaak, apakah ini salahku?
Setelah beberapa sesi menyalahkan diri, saya menenangkan
diri dengan bilang, “OK, ini qadarullah namanya, Ti.”
Iya, saya tidak menafikan takdir, cuma kenapa harus dikasih
tahuuuu aaaaargh …
Saking plot twist-nya makanya saya baru bisa cerita
sekarang. Karena rasanya masih aaaaargh aja hehehe …
Anyway, anaknya kemudian jadi anak MTS, doing great (at least for me) dan tahun depan sudah
akan di arena PPDB lagi. Fiuuh …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar