Beberapa bulan setelah saya menikah, abang saya dan keluarga
pindah ke Inggris. Itu artinya sudah hampir 16 tahun yang lalu. Dari 16 tahun
itu, rasanya satu tangan pun belum tuntas untuk menghitung momen mudiknya.
Kami empat bersaudara. Saya si bungsu dan si abang si
tertua. Kemiripan karakter antara anak ujung ini memang membuat kami lebih
banyak berinteraksi. Sebelum menikah, saya biasa duduk di lantai di samping
kursinya, memandangi si abang tengah mengutak-utik gambar di komputer. Atau,
dia akan selalu melongok ke kamar saya sepulang dia kerja-karena saya bertugas
membereskan meja setelah makan malam dan dialah yang terakhir makan di
pengujung hari.
Kami empat bersaudara. Dibesarkan dengan buku sebagai
satu-satunya hiburan setelah TV yang juga dibatasi jamnya. Buku saat sakit,
saat liburan, saat ke rumah teman atau ke rumah saudara, saat tidak ke
mana-mana. Buku dibeli, buku dipinjam, atau majalah berlangganan. Bisa
dikatakan love language kami adalah, buku.
Abang sulung saya itu termasuk yang pertama membeli buku
sendiri dari uang jajannya. Buku komik beraliran mecha biasanya karena
dia memang suka menggambar robot. Lalu kemudian dia mendapatkan majalah Annida
gratis karena menjadi kontributor komik. Saya sebagai bungsu, setiap pulang
sekolah cukup menunggu tiap minggu atau bulannya, komik-komik atau buku baru
dari ketiga kakak saya. Seperti menanti kabar gembira, menunggu salah satu dari
mereka berkata “Ada komik baru tuh.” Dan saya langsung menghambur ke kamarnya.
Dan ketika kami mulai hidup berpencar-pencar, adalah untaian
kata yang mengobati kerinduan. Berbagi kabar dari milis, kemudian berlanjut ke
media sosial. Si abang tidak banyak merangkai kata, tetapi dia tetap gasss
semangat kreativitasnya dengan mengisi media sosialnya dengan karya-karya
ilustrasinya yang dibuat versi video ketika dia menggambarnya. Like old times,
tapi versi online.
Kemudian sejak e-commerce mulai ramai, dia pun mulai menitip
dibelikan buku. Biasanya komik-komik karya kawan-kawannya. Dialamatkan ke rumah
orangtua dengan harapan ketika mudik akan dibawa ikut ke Inggris. Dan ketika
keponakannya semakin besar, dia pun mulai membeli komik tidak hanya untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk para keponakannya. Sehingga meski kemudian
mudik itu menjadi semakin jarang terjadi, silaturahmi tak kemudian pudar meski
di level keponakan yang memang tidak punya rekam jejak banyak akannya.
Saya yang biasanya akan memesankan buku sesuai permintaannya
dan ketika paket diantar kurir JNE tiba di satpam saya bahkan masih menyambutnya
dengan gembira dan berdebar. Betapa tidak, kecepatan kemunculan paket itu
sering kali lebih cepat dari yang diharapkan. Ketika kembali ke rumah setelah
menjemput anak-anak pulang sekolah, satpam akan berkata, “Bu, ada paket
buku.” Dan saya langsung menghampirinya.
Lalu aksi kirim-kirim buku itu mengalami peningkatan. Rupanya abang saya ini gasss terus semangat kreativitasnya meski tengah di negara orang. Dia berkolaborasi dengan komikus Indonesia lain dan membuat komik. Dan bukunya terbit di sini, sementara dia tetap tinggal di sana. Saya lalu menawarkan diri menjadi manajer penjualannya di sini. Jadi dia tetap bisa mempromosikan karyanya dan saya yang mengurus pengirimannya. Awalnya, dia ragu menerima permintaan saya karena tidak mau merepotkan saya yang punya 3 bocah di usia di bawah 10 tahun. Namun, saya bilang bahwa kantor JNE tersedia di Kalibata City. Selama masih di Kalibata City, tidak ada yang jauh dan merepotkan bagi saya. Lalu dibuatlah akun lapak bukunya di Instagram di mana saya sebagai adminnya juga.
Kantor JNE termasuk pelayanan kurir pertama yang tersedia di
Kalibata City. Mulai dari masih serba manual pengisian datanya yang
mengakibatkan antrian panjang hingga kini sudah menggunakan komputer dan kalau
dari e-commerce bahkan langsung tercetak alamat pengirim dan penerima. Jadi
sebenarnya tidak terlalu perlu saya mencetak stiker khusus untuk Alamat. But I
still do it anyway karena itu ongkos branding yang murah ketimbang mencetak
kemasan khusus.
Lalu terbitlah karya-karya kolaborasinya, serial Liqomik,
Papomics, Palestina, dan Nusantara Warriors. Tak hanya karyanya, tetapi
juga karya temannya yang lain. Dengan memiliki lapak buku, dia jadi bisa ikut
membantu penjualan komik kawannya yang berpulang ke rahmatullah sebelum
komiknya terbit. Komik Pahala Mengalir terbit secara gotong royong dan
seluruh royaltinya untuk para ahli warisnya.
Tidak berhenti di situ. Anak semata wayangnya pun mengikuti
jejak sang ayah, ikut berkolaborasi dari jarak jauh dan terbitlah Comic Junior
#1 Berbuat Baik. Saya yang sekadar menjadi admin pun merasa tengah connecting
happiness melihat tanggapan pelanggan baik atas karya abang atau keponakan
saya. Meski jauh dari komunitasnya, abang masih mendapat apresiasi di tanah
air. Apalagi tidak pernah ada masalah dengan pengirimannya, semua tiba dengan
selamat dan dapat dipantau kapan pun. Sehingga citra baik abang dan karyanya
juga ikut terjaga.
Belakangan saya sedang rindu karya abang saya yang baru,
sekadar agar bisa sering-sering silaturahmi ke JNE dan connecting happiness,
my happiness karena bangga pada abang saya yang tak surut semangatnya dalam
berkarya. Ayo, Bang, gasss terus semangat kreativitasnya.
#JNE #ConnectingHappiness #JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024 #GasssTerusSemangatKreativitasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar