Pada suatu hari, Malika menemukan bando miliknya yang sudah lama tidak kelihatan. Melihat itu, Safir langsung mendekati kakaknya dan memaksa kemudian merengek ingin meminjam.
"Jangan dek, ini punya cewe." jawab si kakak.
"Nanti adek udah gede baru boleh pake itu?" sahut Safir.
"Ya ga lah de, kan adek tetap jadi cowok." balas saya.
"aaah, adek kan mau jadi cewek," jawab Safir bersikukuh dan kemudian merengek.
Mengalami adegan itu plus saat itu sedang ramai-ramainya berita transgender, saya jadi teringat episode-episode di Oprah Show. "Apakah Safir sedang berada di usia ketika dia memertanyakan kelaminnya?" ngeri-ngeri gimana gitu ketika membayangkan pertanyaannya. Maklum di banyak wawancara Oprah, kebanyakan LGBT merasa sudah berbeda di usia 4 tahun. Nah rada miriplah dengan Safir yang tiga tahun.
Belun lagi, Safir ini berparas perempuan dengam bulu mata lentiknya. Dan tak jarang dia ikut memegang mainan awal kakaknya yang serba pink dan hellokitty. Namun karena ayahnya parno, kami mulai membelikan mainan netral. Biar bisa dimainkan bersama. Dan melihat Safir yang mulai suka superhero, harusnya sih lebih kelihatan cowo. Kecuali tentu saja ketika dia memilih menjadi princess Anna karena ingin memainkan adegan "do you want to build a snowman". Kakak Malika jadi queen Elsa, adiknya ya jadi adeknya Elsa lah. Begitu kira-kira. Yah daripada kakaknya jadi Anna, Safir jadi Kristoff, jadi ciuman mereka. Hadoooh ...
Lalu adegan seperti ini berulang lagi. Kali ini objeknya bandana. Dan ada ayahnya turut menyaksikan.
"manusia itu kalau dilahirkan cowo ya cowo terus sampai tua," kata saya mencoba memberi pandangan.
"gak, adek mau jadi cewe kalau sudah gede!" kakinya dihentak-hentak.
"ya, ga boleh, de," jawab kami mulai putus asa.
"adek kan mau jadi kakak!"
Tiba-tiba seperti tanpa sengaja menemukan pasangan puzzle yang pas.
Sejak positif dinyatakan hamil lagi, saya memang sudah sejak awal memberi tahu Safir bahwa dia akan punya adik.
"wah safir sebentar lagi mau jadi kakak."
Safir menolak.
"ga mau. Safir mau jadi adek."
Lalu kami ganti.
"wah bentar lagi dipanggil abang Safir dong."
"ga mau, maunya dipanggil adek Safir aja!"
Saya rasa Safir agak bingung dengan konsep kakak-adik ini. Dia mungkin bertanya-tanya kok bisa ganti-ganti dari adik jadi kakak. Mungkin. Makanya dia menolak.
Nah pernyataan Safir itulah yang mengingatkan saya akan hal ini. Jangan-jangan dia pikir menjadi kakak itu berarti menjadi seperti kakak Malika termasuk gendernya.
"ya ampun de, jadi kakak itu bukannya jadi cewe. Itu loh jadi mamas. Kaya mamas Aldi, mamas Dipta..." saya menyebutkan nama para sepupunya. "mereka kan tetap cowo."
"adek ga mau dipanggil mamas!"
"ya udah deh, abang."
"ga mau!"
"kalau uda?"
"udah? Udahan? Udah ngapain?"
Jiaaah ....
Rabu, 26 November 2014
Selasa, 25 November 2014
Membaca Iklan di Singapura
Ini sedikit oleh-oleh dari kunjungan singkat saya ke Singapura beberapa bulan lalu. Cuma dikiiiit ... Soalnya memang ga pergi ke banyak tempat.
Sebenarnya kebiasaan membaca iklan atau himbauan ini suka saya lakukan kalau pergi ke mana pun. Hanya saja karena tujuannya domestik jadi saya sering terkendala bahasa, alias bahasa daerah. Nah kalau di Singapura kan pakai bahasa Inggris jadi masih bisa dimengerti lah. Himbauan-himbauan semacam ini bagi saya seperti memberi informasi lebih terkait situasi kondisi masyarakat di sana.
Kali ini saya hanya bicarakan soal iklan atau himbauan yang terletak di sekitar MRT atau Singapore Indoor Stadium, yah soalnya cuma di situ-situ aja siy saya hehehe ... Sayangnya, insting reporter saya masih kurang, jadi tidak satu pun yang sempat saya foto.
1. Help Them to Get There
Ini adalah sebagian kalimat dari iklan layanan masyarakat yang tertempel di atap MRT. Subjek utamanya adalah terkait para penderita cuci darah. Biasanya penderita cuci darah ini harus menyandang status ini hingga akhir hayat, sehingga bisa dibayangkan berapa kali dalam sebulan mereka harus ke klinik cuci darah. Nah, iklan layanan ini adalah himbauan memberikan bantuan materiil atau nonmateriil agar mereka tidak terbebani.
hmm ... Ga tahu ya, mungkin di sana juga semua sudah ditanggung asuransi, kecuali ya ongkos =) Sedangkan di Indonesia sendiri kayanya baru agak lega sejak BPJS, biaya cuci darah ditanggung. Belum sampai ke detail. Seperti yang pernah saya dengar dari saudara bahwa oleh karena proses cuci darah yang membutuhkan waktu berjam-jam, para pengantar dilanda kejenuhan sehingga kemudian menciptakan kesibukan bersama.
2. Put Down Your Bag, So There are More Room for Others
Saya lihat stiker ini ketika kebetulan masuk gerbong MRT yang khusus orang berdiri semua alias ga ada bangkunya. Saya jadi teringat julukan seorang petinggi perusahaan pada manusia beransel alias dinosaurus modern. Yang paling berasa kalau di lift, sedangkan di kereta kita orang cenderung menaruh ransel ke dada demi keamanan.
Nah kalau di Singapura malah disuruh taruh di bawah. Ya wajar, di sana orang berdiri sesuai jalur pegangannya. Ga bisa dibandingkan dengan CL kita yang bisa tiba-tiba berada di tengah-tengah gerbong tanpa tahu harus berpegangan ke mana.
3. Put Your Tray Back
Label ini tertempel di meja tempat saya makan di foodcourt mal di seberang SIS. Jadi, habis makan taruh lagi baki beserta isinya ke station khusus untuk itu.
Hmm entah karena foodcourtnya kecil atau apa, tapi himbauan ini cukup efektif sehingga para pelayan cukup berjaga di sudut yang cukup besar. Jarang deh lihat tumpukan sisa piring minta diambil dari meja. Jadi ga jorok juga kelihatannya.
Dan sudut khususnya pun sudah dipisah antara baki halal dan nonhalal. Coba tuh. Ah, kita kapan yak?
4. Stand Up Lucy
Sebenarnya pakai hastag tapi saya ragu benar atau tidak tulisannya. Saya tidak sempat baca dengan saksama karena baru terlihat saat hendak turun dari MRT. kayanya sih berkaitan dengan gender, alias ajakan bagi para wanita agar mau memberikan tempat duduk pada kaum prioritas.
Yang anak kereta or transjakarta pasti tahu dong, persaingan tempat duduk di bagian khusus wanita itu cukup sengit karena semua merasa paling berhak. Sering mereka lupa, bahwa menjadi wanita ga berarti jadi prioritas (itu hanya berlaku buat cowo) apalagi difabel. Di bagian ini memang diuji sangat siapa yang paling gentle(wo)man.
5. Watch Your Step
Ini ada lagi sambungannya, lupa. Ini himbauan bagi para pengguna gadget dan headphone agar lebih peka pada sekitar biar ga tabrakan. Oleh karena sistem MRT yang sudah demikian teratur sehingga bagi pengguna rutin tentu sudah hapal jalannya, makanya sering abai.
Kalau di Jakarta bisa dilihat di area perkantoran atau mal, kalau di jalan raya masih belum berani, ntar tahu-tahu disamber motor yang lawan arah lewat trotoar (duh).
Saya saja suka gemas sama mereka yang sudah sibuk sama gadget dari sebelum masuk lift sampai keluar. Main keluar aja, ga lihat ada ibu-ibu bawa stroller di barisan paling belakang dan kemudian harus buru-buru hold pintu lift dengan tangan gurita agar bisa keluar.
Yah semacam itulah. Dari sedikit yang saya lihat, setidaknya topik himbauan ini rada move on dari di Jakarta yang dari tahun ke tahun isinya 'jangan buang sampah sembarangan' ^^' Soal tingkat kepatuhan, hmm ga tahu ya. Kurang lama di sananya hehehe ...
Kalau ada salah-salah kata mohon dimaafkan, memang harusnya difoto, mianhae ^.^ Yang mau memberi info lebih terkait himbauan ini silahkan, saya juga cuma laporan pandangan mata, ga pakai investigasi hehehe ...
Permisiii ....
Sebenarnya kebiasaan membaca iklan atau himbauan ini suka saya lakukan kalau pergi ke mana pun. Hanya saja karena tujuannya domestik jadi saya sering terkendala bahasa, alias bahasa daerah. Nah kalau di Singapura kan pakai bahasa Inggris jadi masih bisa dimengerti lah. Himbauan-himbauan semacam ini bagi saya seperti memberi informasi lebih terkait situasi kondisi masyarakat di sana.
Kali ini saya hanya bicarakan soal iklan atau himbauan yang terletak di sekitar MRT atau Singapore Indoor Stadium, yah soalnya cuma di situ-situ aja siy saya hehehe ... Sayangnya, insting reporter saya masih kurang, jadi tidak satu pun yang sempat saya foto.
1. Help Them to Get There
Ini adalah sebagian kalimat dari iklan layanan masyarakat yang tertempel di atap MRT. Subjek utamanya adalah terkait para penderita cuci darah. Biasanya penderita cuci darah ini harus menyandang status ini hingga akhir hayat, sehingga bisa dibayangkan berapa kali dalam sebulan mereka harus ke klinik cuci darah. Nah, iklan layanan ini adalah himbauan memberikan bantuan materiil atau nonmateriil agar mereka tidak terbebani.
hmm ... Ga tahu ya, mungkin di sana juga semua sudah ditanggung asuransi, kecuali ya ongkos =) Sedangkan di Indonesia sendiri kayanya baru agak lega sejak BPJS, biaya cuci darah ditanggung. Belum sampai ke detail. Seperti yang pernah saya dengar dari saudara bahwa oleh karena proses cuci darah yang membutuhkan waktu berjam-jam, para pengantar dilanda kejenuhan sehingga kemudian menciptakan kesibukan bersama.
2. Put Down Your Bag, So There are More Room for Others
Saya lihat stiker ini ketika kebetulan masuk gerbong MRT yang khusus orang berdiri semua alias ga ada bangkunya. Saya jadi teringat julukan seorang petinggi perusahaan pada manusia beransel alias dinosaurus modern. Yang paling berasa kalau di lift, sedangkan di kereta kita orang cenderung menaruh ransel ke dada demi keamanan.
Nah kalau di Singapura malah disuruh taruh di bawah. Ya wajar, di sana orang berdiri sesuai jalur pegangannya. Ga bisa dibandingkan dengan CL kita yang bisa tiba-tiba berada di tengah-tengah gerbong tanpa tahu harus berpegangan ke mana.
3. Put Your Tray Back
Label ini tertempel di meja tempat saya makan di foodcourt mal di seberang SIS. Jadi, habis makan taruh lagi baki beserta isinya ke station khusus untuk itu.
Hmm entah karena foodcourtnya kecil atau apa, tapi himbauan ini cukup efektif sehingga para pelayan cukup berjaga di sudut yang cukup besar. Jarang deh lihat tumpukan sisa piring minta diambil dari meja. Jadi ga jorok juga kelihatannya.
Dan sudut khususnya pun sudah dipisah antara baki halal dan nonhalal. Coba tuh. Ah, kita kapan yak?
4. Stand Up Lucy
Sebenarnya pakai hastag tapi saya ragu benar atau tidak tulisannya. Saya tidak sempat baca dengan saksama karena baru terlihat saat hendak turun dari MRT. kayanya sih berkaitan dengan gender, alias ajakan bagi para wanita agar mau memberikan tempat duduk pada kaum prioritas.
Yang anak kereta or transjakarta pasti tahu dong, persaingan tempat duduk di bagian khusus wanita itu cukup sengit karena semua merasa paling berhak. Sering mereka lupa, bahwa menjadi wanita ga berarti jadi prioritas (itu hanya berlaku buat cowo) apalagi difabel. Di bagian ini memang diuji sangat siapa yang paling gentle(wo)man.
5. Watch Your Step
Ini ada lagi sambungannya, lupa. Ini himbauan bagi para pengguna gadget dan headphone agar lebih peka pada sekitar biar ga tabrakan. Oleh karena sistem MRT yang sudah demikian teratur sehingga bagi pengguna rutin tentu sudah hapal jalannya, makanya sering abai.
Kalau di Jakarta bisa dilihat di area perkantoran atau mal, kalau di jalan raya masih belum berani, ntar tahu-tahu disamber motor yang lawan arah lewat trotoar (duh).
Saya saja suka gemas sama mereka yang sudah sibuk sama gadget dari sebelum masuk lift sampai keluar. Main keluar aja, ga lihat ada ibu-ibu bawa stroller di barisan paling belakang dan kemudian harus buru-buru hold pintu lift dengan tangan gurita agar bisa keluar.
Yah semacam itulah. Dari sedikit yang saya lihat, setidaknya topik himbauan ini rada move on dari di Jakarta yang dari tahun ke tahun isinya 'jangan buang sampah sembarangan' ^^' Soal tingkat kepatuhan, hmm ga tahu ya. Kurang lama di sananya hehehe ...
Kalau ada salah-salah kata mohon dimaafkan, memang harusnya difoto, mianhae ^.^ Yang mau memberi info lebih terkait himbauan ini silahkan, saya juga cuma laporan pandangan mata, ga pakai investigasi hehehe ...
Permisiii ....
Senin, 24 November 2014
Ketika si Kidal Terkunci di Kamar Mandi
Suatu hari Safir tengah dimandikan Amy, tapi kemudian dia lebih banyak rewelnya sehingga menghambat mandinya. Akhirnya, Amy tinggalkan di kamar mandi agar dia bisa terserah melakukan apa saja yang dari tadi dia ributkan. Pintu ditutup supaya ga becek-becek keluar. Eh, si bocah malah tambah rewel, berusaha membuka pintu tapi gagal dan akhirnya terkunci.
Kenop kamar mandi kami yang bulat dan tidak pernah ada kuncinya sejak awal kami serah terima. Kalau terkunci dari dalam sebenarnya ga masalah kalau ada orang, tapi kalau Safir yang di dalam kayanya sama juga bohong. Biasanya saya gunakan obeng untuk membuka pintu yang terkunci dari dalam, tetapi kali ini taktik tersebut tidak berhasil. Kunciannya dol.
Sudah keringetan, Safir di dalam yang tadinya gedor-gedor dengan semangat pun kini hanya terdengar tangis pelan-pelan. Saya menyerah dan akhirnya memanggil teknisi ke customer service.
Butuh beberapa saat juga bagi teknisi itu untuk membuka pintunya. Dan ketika terbuka, Safir sudah duduk sedih di kloset.
Usai kejadian tersebut, saya bertanya-tanya sendiri kenapa Safir sulit sekali membuka pintu kamar mandi. Padahal kamar yang lain juga menggunakan kenop bulat dan ketinggiannya pun sama, apa yang membedakan?
Setelah beberapa kali ujicoba, saya akhirnya mengerti. Sesuatu yang sudah lama saya pindahkan dari otak sadar saya, kenop di kamar mandi memiliki perputaran berbeda untuk membuka dan menutup ketimbang kenop di kamar lain. Penting, ya? Buat para kidal ini penting. Tidak ada buku panduannya, tetapi kami mengalami banyak sekali penyesuaian untuk bisa hidup di dunia 'kadal' ini.
Safir memang punya kecenderungan kidal. Saat mewarnai, dia pernah sesekali menggunakan tangan kanan tetapi kemudian cepat lelah. Dan di usianya yang tiga tahun, konsep ruang masih menjadi pe-er baginya. Sehingga wajarlah untuk mampu membuka pintu kamar mandi sepertinya dia masih harus berusaha lebih keras lagi.
Para kidal memang memiliki konsep atau definisi soal ruang dan arah. Titik kemiringan kami berbeda, sudut pandang kami berbeda. Kami lebih suka keluar lift dari arah kanan dan masuk dari arah kiri. Kami lebih suka berputar berlawanan arah jarum jam, dsb. Ini jika kami membiarkan otak bawah sadar kami yang bekerja. Jangan tanya soal mouse komputer, kursi kuliah, atau sekadar memilih ujung bangku sekolah jika berbagi meja kala SD. Tapi seringkali, kami harus menyesuaikan. Yah mau bagaimana lagi =P.
Yah dan sepertinya Safir baru mengalami beberapa hal baru ini. Bertahanlah, nak, kita pasti bisa =D
Kenop kamar mandi kami yang bulat dan tidak pernah ada kuncinya sejak awal kami serah terima. Kalau terkunci dari dalam sebenarnya ga masalah kalau ada orang, tapi kalau Safir yang di dalam kayanya sama juga bohong. Biasanya saya gunakan obeng untuk membuka pintu yang terkunci dari dalam, tetapi kali ini taktik tersebut tidak berhasil. Kunciannya dol.
Sudah keringetan, Safir di dalam yang tadinya gedor-gedor dengan semangat pun kini hanya terdengar tangis pelan-pelan. Saya menyerah dan akhirnya memanggil teknisi ke customer service.
Butuh beberapa saat juga bagi teknisi itu untuk membuka pintunya. Dan ketika terbuka, Safir sudah duduk sedih di kloset.
Usai kejadian tersebut, saya bertanya-tanya sendiri kenapa Safir sulit sekali membuka pintu kamar mandi. Padahal kamar yang lain juga menggunakan kenop bulat dan ketinggiannya pun sama, apa yang membedakan?
Setelah beberapa kali ujicoba, saya akhirnya mengerti. Sesuatu yang sudah lama saya pindahkan dari otak sadar saya, kenop di kamar mandi memiliki perputaran berbeda untuk membuka dan menutup ketimbang kenop di kamar lain. Penting, ya? Buat para kidal ini penting. Tidak ada buku panduannya, tetapi kami mengalami banyak sekali penyesuaian untuk bisa hidup di dunia 'kadal' ini.
Safir memang punya kecenderungan kidal. Saat mewarnai, dia pernah sesekali menggunakan tangan kanan tetapi kemudian cepat lelah. Dan di usianya yang tiga tahun, konsep ruang masih menjadi pe-er baginya. Sehingga wajarlah untuk mampu membuka pintu kamar mandi sepertinya dia masih harus berusaha lebih keras lagi.
Para kidal memang memiliki konsep atau definisi soal ruang dan arah. Titik kemiringan kami berbeda, sudut pandang kami berbeda. Kami lebih suka keluar lift dari arah kanan dan masuk dari arah kiri. Kami lebih suka berputar berlawanan arah jarum jam, dsb. Ini jika kami membiarkan otak bawah sadar kami yang bekerja. Jangan tanya soal mouse komputer, kursi kuliah, atau sekadar memilih ujung bangku sekolah jika berbagi meja kala SD. Tapi seringkali, kami harus menyesuaikan. Yah mau bagaimana lagi =P.
Yah dan sepertinya Safir baru mengalami beberapa hal baru ini. Bertahanlah, nak, kita pasti bisa =D
My Story: Sendirian, Semalam, di Singapura #2
THE CONCERT, BABY ....
Ketika Ditta datang, VIP mode on. Baru deh kelakuan diatur
sesuai pengunjung konser hahaha ... Ngantri di stan samsung, rela dengerin tiga
info produk demi pin-pin member YG Family. Berfoto dengan latar poster konser
itu hingga akhirnya mengantri masuk.
Ketika mengantri, saya baru sadar. Saya sudah kadung beli
banyak snack untuk sekadar oleh-oleh buat anak-anak, karena tahu ga bakal bisa
ke mana-mana. Lha, di konser kan ga boleh bawa makanan. Akhirnya saya bongkar
tas saya, masukkan kantung besar snak di bagian dasar lalu sumpal dengan baju n
bantal travelingku. Begitu dibuka, keamanannya dah males lihat bantal pink itu
hehehe...
Sayang saya dan Ditta juga satu temannya berbeda lokasi
nonton. Saat terpisah, saya menyempatkan selfie di salah satu balkon yang
menghadap panggung. Saya agak malu-malu ketika ada yang menawarkan diri
membantu selfie padahal bukan panitia juga. Kasihan kali lihat betapa jadulnya
niy hp ga bisa mirror hehehe ....
Sebenarnya dari posisi, mungkin posisi saya paling sial.
Lantai tiga di baris terakhir. Itu ujung banget. Dibanding dua tahun lalu,
posisi sekarang itu berpuluh-puluh kali jauhnya. Tapi itulah yang terbaik,
terlebih waktu itu saya belum tahu sedang hamil, kan. Jadi ini aman juga
nyaman. Saat konser dimulai saya menggabungkan pandangan 4 meter dua tahun yang
lalu dengan euforia yang saya rasakan di balkon teratas itu.
Serius deh, dua tahun lalu itu saya kaya salah mau joged
karena semua orang berebut merekam. Di atas sana, puas-puasin deh joged,
istirahat pada grup-grup atau lagu tertentu-inget perut, tapi ga pernah diam
kalau Bigbang muncul. Kebetulan saya punya tetangga yang keren. Orang di sebelah
saya juga ga berhenti joged dan turut bernyanyi sekeras mungkin. Dia keren
banget.
Dan selagi konser itu saya sempat-sempatnya garuk-garuk
kepala saat beristirahat dan melihat penonton di depan saya merekam konser
tersebut. Itu mah biasa. Yang ga biasa adalah dia langsung share ke youtube. Oh
my God, secepat apaan siy internet di sini? Gue unggah video nyanyi di warnet
aja kudu tunggu 15 menit. Lha dia dari handphone! Pantaslah banyak yang sutris
pas balik ke Jakarta kalau habis tinggal di luar negeri.
Konser itu sendiri? What can i say? Bisa lihat Bigbang plus
2Ne1 plus Psy plus Epic High plus Winner itu dah menu banyak buat saya. Pokoknya
closure yang tepatlah. Sesuai judulnya, Family Concert, saya terharu dengan
cara setiap grup berkolaborasi atau menyanyikan single grup lain tanpa
kehilangan greget. 2Ne1 ga Cuma bikin yang cowo-cowo keringetan tapi juga
penonton cewe. Energik binti seksi. Angkat jempol buat Psy yang walau hanya dua
lagu yang kita kenal, dia tetap cool n confident, bahkan aksi para dancernya
yang paling keren. Inilah namanya entertainer.
Tentu saja saya paling ngakak ketika Bigbang nyaris memarodikan lagu
2Ne1. Serius tapi ga serius. Suara TOP ga ada sumbang-sumbangnya padahal I mean
itu TOP kok ya joged gemulai gitu tapi ga asal-asalan. Formasi Bigbang ini
sebenarnya ga lengkap karena di malam seharusnya pergi ke Singapura, Seungri
mengalami kecelakaan mobil usai menghadiri acara. Inilah risiko jadwal padat n
ga pakai sopir. Ada-ada aja dah, untung bukan bias gue. Karena mepet waktunya,
jadi bagian nyanyinya digantikan bergantian oleh Taeyang dan Daesung, atau
kadang dibiarkan saja. Saya pikir ga ada bedanya tanpa Seungri, tapi ternyata berasa juga. Aih jadi kasihan, mana jadi
tersangka lagi.
Walau Cuma dari bigscreen, I was happy. Tiga jam konser ga beranjak sama sekali saya
dari bangku. Dan yang lebih menyenangkan lagi adalah ketika ada teman untuk
berbagi cerita konser yang terjadi barusan. Konser pertama dan kedua saling
melengkapi menurutku. Dan saya bersyukur bisa mengalaminya. walau kalau ditengok dari usia rada telat hehehe.
Ada untungnya juga saya bareng Ditta, karena jadi punya
pengalaman nungguin para performer itu keluar dari gedung di pintu belakang. Maklum
dia stalker. Cuma karena bawa buntut jadi rada ga sukses stalkingnya hehehe
maaaaaf .... Awalnya grup Winner yang
lewat, trus 2Ne1, baru kemudian Bigbang. Kelihatan sih, yang senior diantarnya
pakai sedan mewah. Yang junior pakai van. Tapi vannya juga mewah sih. Ada sedih
tapi gimana gitu ketika melambaikan tangan pada mobil yang diisi TOP. Pengennya
sih lari-lari gebukin mobilnya sambil teriak, “this is your baby!!!” ah tapi ga
usahlah ya. Ntar yang di rumah gimana dong?
MALAM DI SINGAPURA
Saya memang akhirnya memutuskan mengikuti ke mana Ditta dan
temannya pergi karena saya batal bertemu teman SMU saya yang memang menetap di
Singapura. Awalnya ingin mampir ke Gardens by the Bay di dekat Marina Bay tapi
ketika mampir di Clarke Quay untuk mengambil tas teman-teman saya itu di sebuah
penginapan, kami menghabiskan waktu lebih lama karena mereka lupa jalannya,
hahahaha ...
Senangnya jadi blogger adalah ketika terjadi sesuatu yang
tidak sesuai rencana otaknya langsung berteriak, yes another story in my blog!
Jadi walau langkah saya lebih lambat karena lelah dan lapar dan kaki yang sakit
karena sepatu yang salah beli, saya menikmati saja berjalan-jalan di malam
Singapura. Kadang teringat daerah Thamrin-Sarinah, lalu teringat daerah Mangga
Dua-Kemayoran. Malah walau tertinggal jauh, saya sempatkan berhenti untuk
mengambil gambar, setelah itu segera berlari karena angka di lampu merah kian
menipis.
Akhirnya ketemuu ... dan kami ikhlaskan tidak ke taman.
Langsung ke bandara aja. MRT masih penuh orang saat itu. Makanya tidak
disangka-sangka ketika berhenti di Tanah Merah untuk kemudian transit, eh keretanya
sudah ga ada. Jiah, dua stasiun lagi. Ya suds, naik taksi. Lumayan dapat
pengalaman naik taksi. Taksinya bukan taksi fancy, kaya udah lama, kalau di
Jakarta mah dah kena blacklist. Dengan hiasan-hiasan patung di dashboard dan
supir dengan rambut putih berkuncir, kami aman tiba di Changi.
Tiba di Changi belum bisa melakukan imigrasi. Tutup. Jadi
kami segera mencari tempat makan. Sudah jam setengah satu dan saya belum makan
dari jam 3, kebayang laparnya. Ngejogrok lah kami di McD. Makan paket burger
seharga SGD5 dan belum sempat otak memberi sinyal kenyang, saya sudah ngantuk
luar biasa.
Setelah beberapa lama di sana, bosan melihat para wajib
militer berkeliaran bawa senapan gede-gede yang konon bertugas membangunkan
orang-orang yang bobok di bangku, kami agak masuk ke dalam, mendekat ke bagian
tiket. Rupanya di dalam sana banyak juga yang menginap dan sudah meringkuk di
balik bangku-bangku panjang dengan selimut tebal. Mereka lebih pengalaman
kayanya.
Saya ga pede kalau harus ke balik bangku, jadi yah di atas
bangku panjang itu saja saya sekadar mengistirahatkan mata hingga pukul 4. Saya
baru tahu loket tiket dibuka 4 jam sebelum penerbangan. Begitu dapat tiket baru
deh bisa merasakan fasilitas yang lebih manusiawi. Pijat gratis sama Lee Min
Ho, eh ga deng, Cuma mesin bergambar Lee Min Ho, sarapan di Kleeney dan
mengecharge handphone. Kami sudah selangkah lagi menuju pulang. Sedikit demi
sedikit menggeser folder memori konser ini ke suatu tempat istimewa yang
mungkin akan sangat jarang dibuka.
PULAAANG
Yak saya pulang naik tigerair. Perjalanan pulang terasa
singkat. Tak sesingkat kala menunggu Damri arah pasar minggu. Uang Singapura
saya tersisa SGD10. Hei I made it! Cuma keluarin SGD50! Wuhuuu ...
Dan pulang dengan menebak tepat bahwa akan menemukan dua
bocah yang lagi nonton di jam hampir makan siang tapi belum pada mandi plus
cucian piring yang tak berubah tingginya di bak cucian hehehe ... Yuk, marii
....
PS: thank you suami, thank you yaw-yaw, n thank you Ditta :D
My Story: Sendirian, Semalam di Singapura #1
Seperti yang sudah diceritakan di postingan sebelumnya, saya
sudah ada rencana menonton konser di Singapura pada 13 September lalu, lebih tepatnya YG Family in
Concert. Yoi, perusahaan agensinya Bigbang, 2Ne1, Winner, Akmo, dll. Saya sih
tentu saja ingin melihat TOP Bigbang (hohohoh....).
Ini sebenarnya rencana saya dalam rangka menuntaskan fantasi
saya terhadap si Choi Seung Hyun alias TOP Bigbang. Sejak tahun lalu sudah
berencana ingin menonton konsernya di luar Indonesia. KL adalah rencana
awalnya, karena saya ingin bawa anak-anak ke Legoland Johor Baru. Sudah
berhitung tetapi gagal menabung. Hingga kemudian terbitlah berita bahwa YG
entertainment akan melakukan konser gabungan di Singapura. Ini seperti menepuk
2-3 nyamuk dalam satu tepukan!
Hari itu bulan puasa, iseng saya menghubungi salah satu
rekan kerja junior saya di eks kantor. Saya tahu dia termasuk yang korean freak
di mata saya. Gayung bersambut. Dan ketika saya kesulitan membeli tiket secara
online, dialah yang membantu saya. Bukan tiket dengan harga paling mahal, dua
tahun yang lalu saya sudah pernah melihat TOP dari pinggir panggung, jadi
mundur sedikit ga apa-apalah, kudu realistis dengan bujet soalnya.
Lucunya, awalnya saya berniat tidak mau memberitahu suami
terkait mau nonton konser di Singapura ini. Toh, saya hanya izin semalam, ga
pake nginep di hotel. Bukannya ga mau bawa anak-anak, ga mampu bayarnya cuy.
Aih tapi rupanya, kartu kredit saya tidak bisa digunakan
karena kodenya dikirim ke nomor handphone saya yang lama. Dan dalam keadaan
terburu-buru juga kebelet, saya pun meminjam kartu kredit suami. Ketahuan
deeeeeh ....
Walau kabar kehamilan ini agak bikin garuk-garuk kepala
terutama karena hanya detik-detik menjelang keberangkatan, saya rasa keputusan
ini pun dirasa paling tepat, karena saya tidak akan bisa menengok konser apa
pun for the next 2 years! So i guess, saya harus benar-benar menikmatinya.
PERSIAPAN
Oke karena saya hanya sendiri berangkatnya, saya berencana
hanya pergi dengan satu tas ransel. Hei, kapan lagi bawa ransel yang isinya
bukan baju anak-anak? Saya tidak pergi bareng dengan teman saya yang disebutkan
sebelumnya, dia pergi lebih dulu. Saya karena status ibu-ibu beranak dua harus
menggunakan jadwal paling lambat pergi, paling awal kembali. Hehehe.
Dan jika terlihat dari paragraf sebelumnya, bisa dipastikan
keuangan saya sebenarnya lagi ga bagus. Alias pas-pasan. Toh, saya tutup mata
ketika memasukkan uang SGD60 ke dompet. Ya, saya hanya bawa segitu ke negara
yang termasuk sebagai negara paling mihil di dunia. SGD10 saya minta dalam bentuk
recehan alias SGD2, untuk biaya transportasi. Tapi tenang, suami secara sepihak
membekali saya uang sejuta pas. Untuk jaga-jaga. “Daripada kamu nanti tiba-tiba
telepon nangis-nangis karena ga punya uang.”
Rasanya ingin saya getok dia, tapi yah ada benarnya juga
hehehe....
BERANGKAAAT
Pesawat saya berangkat pukul 9 kurang, tapi saya putuskan
keluar dari rumah usai subuh. Menghindari anak-anak bangun yang kemungkinan
akan menimbulkan drama. Suami sudah memanggil keponakannya sebagai bala
bantuan. Kaos bergambar dua kartu King Queen dengan wajah saya dan TOP pun
sudah diprint dan dipakai. (thanks to my big bro yang bersedia melakukan
digitalisasinya walau sang istri lagi sakit).
Hari masih gelap begitu keluar Kalibata City. Saya
menghentikan mikrolet yang berjalan cepat menuju lampu merah dan di sanalah
saya menunggu damri. Saya baru tahu bahwa di jam segitu pun ada orang yang
menawarkan tumpangan, yah ga tahu deh ini tawaran baik atau tidak. Toh saya
hanya butuh damri. Sekitar 10 menit kemudian, damri itu pun datang dan membawa
saya tiba di Soetta terminal 3 dalam waktu 45 menit.
Bandara. Rasanya saya tidak bisa dan tidak boleh berputar
haluan. Saya bukan orang yang sering
menggunakan pesawat. Jika dihitung-hitung, saya baru menggunakan pesawat
selama 4 kali dalam hidup saya. Jadi saya kurang pede dengan sistematisasi
bandara. Maklum, bisa dikatakan saya jarang sekali bepergian jauh sendiri. Ke
luar kota yang saya jalani sendiri adalah ke Bandung, itu pun selalu dijemput
teman di stasiun. Saya selalu nyasar. Saya mudah melupakan sesuatu. You know,
clumsy little sister. Ini seperti pengalaman yang tertulis di buku 30 Paspor
(dan kebetulan saya mengedit seri keduanya hehehe). After this, saya
benar-benar ingin mengajarkan anak-anak saya untuk berani dan pintar saat
bepergian sendiri sedini mungkin.
Oke, hanya ada saya dan print out tiket. Use your eyes and
ears, Ati. Saya mengantri tiket, imigrasi dan kemudian akhirnya duduk di ruang
tunggu. Fiuuuh .... Saya naik Lion Air saat itu. Usai mendapat kursi yang persis
di samping jendela (alhamdulillah), saya pun menunggu. Peringatan untuk
mengenakan sabuk karena pesawat akan terbang sudah terdengar. Saya keluarkan
sebatang kumpulan sugus untuk menghindari sakit kuping saat pesawat lepas
landas dan mendarat. Dan rupanya itu pilihan yang salah. Harusnya saya beli
permen karet saja. Untuk lepas landas pun pesawat mengantri, saya sudah kadung
mengunyah sugus yang cepat sekali larut di mulut. Entah berapa sugus yang
akhirnya saya makan hingga pesawat benar-benar lepas landas.
Sebenarnya saya tidak berhenti khawatir hingga kemudian saya melihat catatan yang dibuka seorang
bocah yang duduk di samping saya. Singapura
adalah negara yang disiplin dan teratur. Okehlah, teratur, setidaknya
ketika saya tersesat, saya tidak tiba-tiba berada di negeri antah berantah.
Toh, saya ada teman yang hendak dikunjungi di Singapura dan tentu my partner in
crime si sesama korean freak.
SINGAPURA, AKU DATANG
Yeah, like who care?
Dipijak juga bandara Changi ini. Saya tiba sekitar pukul 11
waktu Singapura. Ada sedikit sedih ketika turun dan melihat penumpang lain
berfoto-foto dengan teman atau keluarga, sedangkan saya? Sepertinya terpaksa
selfie, saya butuh dokumentasi untuk laporan saya hehehe....
Tentu saja tujuan utama adalah kloset. Mumpung masih di
tempat yang jelas segala sesuatunya, mending dituntaskan saja di sini. Keluar
dari restroom, senyum saya merekah lebar melihat deretan komputer. Oh yes baby,
free internet. Ah, noraklah saya. Ya, gimana dong, pulsa saya hanya diisi
Rp100000,- dan akan berada dalam flight mode hingga saya kembali ke Jakarta.
Free internet adalah bentuk penghematan. Nah biar ga terlalu kelihatan ngiler,
saya mampir ke sampingnya, ada rak brosur bandara. Bandara Changi kan memang
terkenal memiliki hiburan yang lebih lengkap ketimbang Soetta, jadi yah
pantaslah ada buklet yang menerangkan berbagai tempat kebanggan Changi. Saya
duduk manis di sebuah bangku panjang sambil lama memerhatikan buklet tersebut.
Barulah setelah itu, saya berjalan sok cool ke deretan komputer itu.
Halah, siapa juga yang liatin sih?
Komputer itu bisa digunakan selama 20 menit secara gratis,
setelah itu mati dengan sendirinya. Kok bisa? Bisa dong, pasang kompi tersebut
di meja dengan ukuran tinggi yang aneh dan tanpa bangku, maka Anda tidak akan
mau berlama-lama di kompi itu hehehe ....
Saya gunakan saat itu untuk menghubungi teman saya, sekadar
mengkonfirmasi apakah kami jadi ketemuan. Mengingat teman saya itu juga ada
acara di tempat yang jauh dan konser yang saya datangi usai cukup larut. Mengirim
pesan pada si korean freak, aih kusebut saja namanya, Ditta. Pegel pula awak nih. Pasang status norak
yang menunjukkan lokasi. Dan sebenarnya itu cara saya mengatakan pada
orang-orang yang memikirkan saya bahwa saya baik-baik saja.
Setelah itu, saya menyempatkan diri berkeliling Changi.
Sekadar meluruskan kaki sekaligus pemanasan sebelum melakukan banyak aktivitas
jalan kaki di Singapura. Yah overall, kaya mall lah Changi ini. Pemandangan
luarnya biasa saja, cenderung gersang, tapi mereka membuat gemerlap di dalam,
yah bolehlah. Ini namanya meningkatkan kualitas hidup secara mandiri.
Saya sebenarnya tertarik dengan tur gratis keliling
Singapura selama dua jam yang ditawarkan Changi. Namun, sayang hanya berlaku
bagi yang melakukan transit di Singapura selama 5 jam.
Hanya berjalan-jalan sebentar tapi waktu sudah menunjukkan
pukul 12 siang. Saya setidaknya harus sudah ada di venue di Singapore Indoor
Stadium pukul 4. Jadi, kalau mau jalan-jalan, kayanya harus keluar segera dari
bandara. Lalu saya berkeliling lagi,
bukannya apa-apa, saya tidak tahu ke mana jalan keluarnya. *tepok jidat
Yah sudahlah, tanya saja.
FYI, saya itu rada parno sama segala bentuk pegawai semacam
SPG, SPB, pegawai informasi, customer service, dan semacamnya. But i have to
ask, kalau tidak mau ngider-ngider ga jelas. Yah sudah, saya tanya, “How do I
get out of here?” oh Amy, tidak adakah kalimat berbahasa Inggris yang lebih
baik dari itu?
Antrian di imigrasi cukup panjang dan lama. Saya lama
menghabiskan waktu berdiri sambil melihat peta promo tempat wisata di
Singapura, yang tadinya mau ke taman ini itu akhirnya fokus ke SIS saja
mengingat sudah lama sekali saya mengantri dan ini sudah jam setengah 1. Perut
mulai lapar. Bumil harus sering ngemil tapi diingatkan teman bahwa tidak boleh
makan sembarangan di Singapura. Hadooooh.
Akhirnya saya tiba di hadapan petugas imigrasi. Cewe
keturunan India. Baru ganti shift jadi segar banget. Sesegar pertanyaan
tegasnya soal alasan saya tidak menuliskan alamat di Singapura. Yah, saya
bilang saja, “konsernya baru selesai jam 10 malem kali neng. Pesawat berangkat
jam 8. Ngapain juga bobok di hotel.” Hehehe, ga gitu juga sih ngomongnya. Lalu
dia minta bukti tiket konser. Syukur ga lupa di print tuh tiket. Akhirnya saya
boleh pergi asal meninggalkan nomor handphone, dan kayanya saya salah
menuliskan nomor :p
DEBUT di MRT
Perlu bertanya pada satu petugas informasi lagi untuk
akhirnya menemukan stasiun MRT yang memang terhubung langsung dengan bandara.
Ini adalah sesuatu yang sangat praktis. Saya yang sudah girang ada transjakarta
yang berhenti di Ancol dekat Dufan ini tentu kaya ketemu sebuah solusi paling
cihuy ketika ketemu MRT. Apalagi saya menghabiskan banyak tahun menjadi anak
kereta.
Namun yang pertama kali harus saya lakukan adalah, beli tiket.
Saya sudah diberitahu soal mesin tiket, nah masalahnya saya tidak tahu cara
menggunakan mesin tersebut. Mana tangan gue bau. Nanti saya digalakin pula sama
orang Singapura yang dalam otak saya cukup galak jika menyebabkan antrian
panjang.
Jadi saya lihat satu pasangan tengah mencoba menggunakan
mesin tersebut. Kayanya mereka juga bingung. Ah mumpung sepi, saya coba mesin
di sebelahnya. Daaan saya bengong. Dari pantulan mesin itu saya melihat ada
yang mengantri di belakang saya, saya pun menyingkir dan membiarkan lelaki
berbackpacker itu menggunakannya terlebih dahulu, sedangkan saya mengamati dari
samping.
Tentulah lelaki ini sadar saya memerhatikannya dan usai dia
dapatkan tiket, dia tanya pada saya apakah saya tahu cara menggunakan mesin
tersebut dalam bahasa melayu. Saya menggeleng. Lalu dia pun menjelaskan. Which was
pretty easy. Layar awal tekan pilihan “tiket regular”, lalu akan muncul rute
MRT. Pilih lokasi, terlihat digit nominal di kiri atas, masukkan uang, lalu
keluarlah tiket beserta kembalian.
lelaki bercelana pendek paling kanan adalah orang yang membantuku menggunakan mesin tiket MRT |
Saya baru tahu belakangan ada cara yang lebih mudah lainnya
dari Ditta. Dia pakai flazz card kalau ga salah. Jadi tinggal tap dan tap, ga
perlu antri mesin tiket. Lain lah kalau sudah pengalaman.
Berbekal aplikasi MRT di handphone dan peta kecil di tangan,
saya naik MRT menuju station Stadium.
Use your eyes and ears.
Terngiang-ngiang di kuping saya, hingga kemudian saya sadar terlalu banyak
menggunakan eyes ketimbang ears ketika MRT yang berhenti di Tanah Merah melaju
mundur, kembali ke stasiun Expo. Kupingnya, Ti. Udah ada yang ngomong nih
kereta Cuma sampe Tanah Merah, habis itu kudu transit.
Yah sudah, naik dari Expo, bisa juga kok. Yah lumayan lihat
langit Singapura lagi, namanya juga MRT, sebagian besar di bawah tanah dan
tertutup, ga ada pemandangan. Cuma di
Expo kita bisa lihat deretan apartemen macam Kalibata City Cuma dengan jendela
lebih besar, tingkat lebih rendah, dan ga ada mobil yang parkir di bawahnya. Ah
teringat mumetnya parkiran di Kalibata City. Orang sini jarang punya mobil kali
ya?
Di MRT itu saya jadi punya kesempatan melihat bermacam-macam
orang. Melihat aturan-aturan yang berbeda dengan di Jakarta. Bayangin, denda
makan di tempat yang dilarang itu SGD5000, beda berapa nol tuh sama SGD50 yang
saya selip di dompet?
Nyengir sendiri melihat oma-oma masuk MRT, lalu berdiri dan
... ngapain coba? Nonton film di smartphone-nya. Dia ga pake tablet segede
gambreng loh ya. Smartphone-nya ga beda jauh dari milik saya. Kaya sinetron
dokter-dokter gitu.
TIBA DI TKP
Station Stadium. Akhirnya sampai juga. Berpapasan juga
dengan alay-alay berkaos beragam member YG Entertainment. Yak emak hamil di
tengah alay Singapura (dan ternyata banyak juga yang dari Indonesia hehehe ...
ga heran yak). Menurut blog review yang saya kunjungi sebelum ke Singapura,
jarak stasiun dengan stadium itu 30 menit jalan kaki. Tapi dalam sudut pandang
saya, begitu keluar stasiun, itulah stadiumnya. Haiyah ini mah deket. Langsung
terhubung dengan Sports Centernya. Semacam Senayan kalau di Jakarta.
Tentu saja kali ini yang saya cari adalah tempat makan.
Setelah memastikan di mana Singapore Indoor Stadium, saya menoleh ke arah
seberangnya, ada mal. Yes, pasti ada tempat makan. Soalnya ga keliatan ada
gerobak-gerobak penjual makanan. Padahal kan ada konser di sini.
Mal itu sendiri ga besar sih menurutku, hanya tiga tingkat
tetapi memang masih mengusung tema sporty. Jadi di sana ada indoor wall
climbing dan di lantai teratas ada arena main air. Saya sih mencari food court
yang ternyata pendek saja. Kirain bohongan.
Dan seperti yang saya alami di Semarang, saya ’terpaksa’
cari yang halal. Kebanyakan konter pasti ada menu babinya, jadilah saya pilih
yang hanya menyediakan makanan melayu. Nasi dengan ayam kuah kuning. Dan apa
nama tempatnya? “Warung Padang”. Haiyah, emang ga bakat wisata kuliner gue.
Menu seharga SGD4 sajah. Lumayan.
Minumnya belum beli. Saya lihat ada konter jus, tetapi
konter jus ini terlihat lebih dinamis ketimbang di Jakarta. Bisa jadi karena di
Jakarta kebanyakan konter penjual makanan pun menjual minuman. Saya pilih
tropical juice seharga SGD4, yang disuguhkan dalam gelas toples besar. Secara
kuantitas mungkin tidak akan cukup hingga konser usai nanti, but I need these
vitamin C, ada nanas, jeruk, dan apalagi ya ... oh mangga. Rasanya segar di
bawah terik matahari.
Usai makan minum yang cepat itu, waktu menunjukkan pukul 3.
Mengecek posisi Ditta via FB (bahkan sampai sekarang aku ga tahu nomor hp-nya),
lalu berjalan melihat sekitar. Sebentar saja memerhatikan dari balkon mal,
sekelompok orang berlatih voli pantai sambil dibelakangi danau. Sambil mikir,
kenapa di Senayan ga ada tempat buat voli pantai ya? Sepertinya luasnya ga
kalah, yah mungkin bisa saja saya salah.
Minggu, 09 November 2014
My Story: Double Stripes, Again?
Semua berawal sejak kepulangan saya dari Semarang. Saat itu
saya dilanda lelah luar biasa, malas luar biasa, rumah jungkir balik, rasanya
tangan tak kunjung sampai membereskan rumah yang seringnya lebih kecil dari
ukuran kamar deluxe sebuah hotel. Belum lagi malas itu usai, saya merasa
kembung. Saya pikir, oh mungkin ini efek mau datang bulan. Namun setelah lewat
jadwal datang bulan, kembung itu selalu ada, dan si bulan ga datang-datang.
Saya bicarakan ini ke mama saya, apa pendapatnya
saudara-saudara? “Menurut ilmu yang pernah mama pelajari, kembung berkepanjangan
itu adalah tanda-tanda kanker usus.” JEENG JEEENG.
Segeralah saya dijadwalkan untuk bertemu dokter penyakit
dalam langganan sekaligus favorit mama. Rasanya malas sekali ketemu dokter ini.
Bukannya apa-apa, jadwal praktiknya jelang magrib dan dia bahkan masih harus
bertatap muka dengan pasiennya hingga dini hari. Untung ganteng dokternya.
Nah selagi menunggu hari ke dokter, saya berkaca, kayanya
ada yang aneh dengan perut ini. Bentuknya berubah. Mancung. Oh, no.
Dalam curiga yang penuh ketidakpercayaan, saya belilah test
pack. Ah, kayanya baru kemarin beli testpack. Baru kemarin bersorak sorai Safir
lepas ASI. Baru kemarin menghapus popok dalam daftar belanjaan. Pokoknya semua
baru kemarin deh.
Dan ternyata benar. Tak perlu menunggu dua menit, tongkat
itu sudah menunjukkan dua garis bahkan saat masih dalam keadaan tercelup.
Are you kidding me, God?
Well, ga benar-benar saya ucapkan sih, tapi karena Tuhan
Mahamengetahui saya yakin Dia pun tahu niatan lidah saya.
Sebelum berkomentar tentang niatan saya itu, biar saya
ceritakan dahulu apa pasal saya ingin bertanya seperti itu.
Pertama, I don’t consider myself as a good mom. Maka dari
itu, walau saya sudah punya rancangan nama untuk empat anak, saya memutuskan
belakangan bahwa dua anak itu cukup. Because I’m not good enough. Masih ibu
yang galak. Kebayang dong ditambah satu lagi. Ini tuh kaya lagi mumet kerja
overload di kantor terus masih dikasih lagi kerjaan sama bos yang berlalu
sambil senyum-senyum.
Awalnya saya mengingatkan diri bahwa di luar sana ada
pasangan yang bahkan menanti anak pertama pun masih waiting list, so sudah
sewajarnya saya bersyukur. Namun belakangan saya ralat, ini Tuhan yang
memutuskan. Bukankah saya diajarkan untuk percaya bahwa apa pun keputusan-Nya
adalah yang terbaik? Yang diberi, belum diberi, tidak diberi, dan diambil oleh-Nya
adalah yang terbaik. Nah, pe er manusialah untuk mencari tahu sisi terbaiknya.
Kedua, how did it happen? Sejak saya terakhir datang bulan
belum ada investasi. Investasi terakhir justru ketika beberapa hari sebelum
datang bulan. Dan itu pun harusnya tidak ada investasi, ah ribetlah mau
ngomongnya di sini, vulgar sangat hahahaha ....
Lanjut cerita, Senin malam itu saya membatalkan jadwal ke
dokter penyakit dalam di hari Selasa dan tertawa geli dengan dugaan awal mama
(walau kemudian teringat ada orang-orang yang menderita kanker di luar sana and
it’s not funny), lalu menjadwal kunjungan ke dokter kandungan di hari Kamis.
Agak terburu-buru karena saya sudah ada rencana nonton konser Korea di
Singapura sendirian. Yup, you can say that again. Makanya saya perlu semacam
konfirmasi untuk mempersiapkan diri.
Jadwal hari Kamis diundur menjadi Jumat malam, padahal Sabtu
subuh sudah harus cabut. Alamaaak.
Hasil dari dokter loud and clear, sudah ada kantung, usia 7
minggu. Dihitung-hitung, berarti ketika saya datang bulan, ovarium saya yang
satu lagi sudah mengalami pembuahan. Dan itu semua akibat investasi tidak
langsung alias ejakulasi di luar. Jadi para pelaku seks di luar sana, inilah
bukti ketika Anda tidak menggunakan pengaman dan ejakulasi di luar, tidak
berarti Anda akan terbebas dari yang namanya pembuahan. Hanya butuh satu sel
sperma, tuan-tuan.
Oh iya, dokternya pun dokter yang menangani Malika dan Safir,
dr Botefilia, jadi yaaah agak malu-malu gimanaa gitu ketemu dokternya sambil bawa dua krucil.
So here I am, still pregnant (alhamdulillah), memasuki 17
minggu, hasil USG sudah menunjukkan SATU kepala, dua tangan, dua kaki, semoga
memang isinya satu janin. Please don’t surprise me more, God. Masih mual-mual
dan pusing berkepanjangan, dan malas yang berkelanjutan (tapi sudah mulai
membaik dengan bukti postingan ini), masih ga tahu bagaimana saya akan
mengatasi semua ini, sepertinya saya akan butuh banyak doa dan berdoa.
Langganan:
Postingan (Atom)