Minggu, 16 April 2017

Everybody’s Hurt di “KARTINI”


"Ibuuu!" jerit seorang gadis kecil sambil ditarik-tarik dua anak laki-laki.
"Panggil Nyi!" kata salah satu anak laki-laki yang sepertinya sudah hendak remaja.
"Itu ibu kita!" tangis si gadis pecah. 

Film Kartini seolah hendak memberikan tempo lambat dengan sorotan kaki dan lutut yang bergantian memasuki lantai, tetapi yang terjadi tak lama dari itu adalah ... banjir airmata. 

Kartini yang disutradarai Hanung Bramantyo ini mengambil kisah Kartini sebelum menikah. Bahwa Kartini sejatinya telah menjadi 'Si Kartini' sejak kecil. Dia mengembangkan sayapnya sendiri dan kemudian tetap melambung terbang walau akhirnya menikah. 

Namun, Kartini tidak bangkit sendirian. Jika kunci menuju 'pintu keluar' kamar pingitan tidak diberikan oleh masnya, Kartono, mungkin dia masih merutuki dalam gelap terkait tradisi menuju seorang Raden Ayu. Dan Kartini mungkin tidak akan mendapat kesempatan meraih pendidikan Belanda saat kecil, jika romonya tidak menikahi seorang putri bangsawan sebagai istri kedua. 

Masing-masing generasi wanita Jawa dengan caranya sendiri berkorban demi kehidupan keturunannya yang lebih baik.

Beberapa waktu buat Daun Semanggi, ternyata Het Klaverblad merupakan nama pena Kartini bersaudari

Perjuangan yang nyata memiliki halangan yang nyata pula bagi Kartini, tetapi karena diambil dari kehidupan nyata, tak ada orang yang benar-benar ditokohkan jahat murni, semuanya memiliki alasan yang tak kalah pilu. Dengan kata lain, semua orang punya lukanya sendiri walau tujuannya sama. 

Film yang dibuka dengan airmata ini, ditutup dengan airmata pula. 

Sudah lama ingin lihat film Kartini, karena sempat ada penawaran pre screening bareng alumni FIB UI tanggal 7 April lalu. Sayangnya, waktunya ga cocok sama ibu-ibu. Eh masih diberi rezeki nonton saat tawaran pre screening muncul di grup Komunitas Emak-emak Blogger, boleh bawa teman lagi. Waktu dan tempatnya pun cucok. Dan saya pun cuss ke cinema XXI hollywood. 

Yang saya perhatikan di sini adalah Dian Sastro yang memang banyak menggunakan bahasa Belanda walau pernah berkeliaran di kampus yang sama dengan Distro di FIB UI, sayalah yang mengambil jurusan bahasa Belanda. Dan bagi saya, pengucapan Dian di film ini bagus sekali. Ga jadi deh mau saya kritik. Terbayang latihannya. 

Cara Hanung meramu momen-momen Kartini saat melahap buku dan berkorespondensi pun cukup menarik. Kita dibawa ke imajinasi Kartini dan kemudian turut merasakan besarnya keinginan Kartini untuk pergi ke Belanda.

Saya tergelitik ketika mendengar sebaris dialog saat ayah Kartini ditentang keluarganya terkait beasiswa pendidikan Kartini ke Belanda. "Kalau dibiarkan, nanti ditiru orang miskin. Nanti bisa ada anak tukang kayu jadi raja!" ^^

Saya punya kebiasaan tidak membaca siapa saja para pemainnya dalam sebuah film sebelum menonton, jadi saya terkaget-kaget bahkan hingga credit title. Eh ternyata ada Djenar, eh ternyata ada Reza Rahadian (orang ini ada di mana-mana yak), eh ternyata itu Acha Septiasa. Dan jangan lupa, Christine Hakim juara aktingnya. 

Keluar dari bioskop rasanya ingin segera melahap lebih banyak lagi tentang Kartini. Teringat akan buku kumpulan surat Kartini yang merupakan hadiah tapi lama tak disentuh. Belum lagi bakal ada novel Kartini  yang bersanding dengan filmnya dan akan diterbitkan oleh noura Publishing tak lama setelah filmnya resmi meluncur di bioskop-bioskop. Must have. Biar semangat jadi perempuan. 

Walau Kartini tidak jadi mengambil beasiswa pendidikan ke Belanda, tetapi kini di Belanda justru tertera namanya sebagai nama jalan. Jadi bagaimana cara kita mengapresiasi perjuangan Kartini? Tentu lebih dari menjadikan tanggal 21 April sebagai hari kebaya nasional kaaan ^^

Menulisi Kutipan Kartini di tas. Iseng ^^

"kita bisa menjadi manusia sepenuhnya tanpa berhenti menjadi wanita sesungguhnya." R. A. Kartini. Namun semua itu perlu usaha, perjuangan. 

Seperti kata Mas Kartono, "jika cita-cita bisa dihadiahkan, kamu tidak akan bisa jadi Pandita Ramambai"





3 komentar:

  1. Perempuan jaman sekarang juga bisa menginspirasi melalui tulisan, antara lain ngeblog yg bermanfaat bagi orang lain. Nggak sabar pengin nonton juga. Jaman dulu sudah nonton versi Yenny Rachman.

    BalasHapus
  2. wah atnpa akrtini kiat gak bisa semaju ini ya, belaiu tonggak emansipasi

    BalasHapus
  3. Kartini memang sejarah yang berguna banget. Bener-bener menginspirasi para wanita sejagad raya :)

    BalasHapus