Minggu, 01 November 2015

Pak Raden dalam Ingatan Saya

Meninggalnya Drs Suyadi atau lebih dikenal sebagai Pak Raden menggugah hati banyak orang. Seniman yang tinggal sendirian itu, dihantar ke pemakaman oleh begitu banyak doa. Doa dari  Jutaan mantan anak-anak yang menikmati tontonan yang sama, "Unyil". Saya pun dulu termasuk penonton setia, walau harus diakui saya juga termasuk yang meninggalkan Unyil ketika saluran televisi swasta bermunculan.


Belakangan saya baru tahu kalau Pak Raden lah yang menciptakan Si Unyil, padahal peran beliau di serial itu malah menjadi seorang Pak Raden yang pelit banget bin galak. Lucunya, walau perannya semi antagonis, ketika muncul di panggung-panggung, Pak Raden adalah sosok yang ramah pada anak-anak, pandai mendongeng dan jago menggambar. Jika di televisi tawanya yang menggelegar itu muncul ketika anak-anak lari terbirit-birit menjauhi rumah Pak Raden, sedangkan di panggung tawa itu ada di antara kerumunan anak-anak. Saat mendongeng, kami semua tahu bagaimana sebenarnya Pak Raden. Dia yang hangat, imajinatif, penuh kejutan dalam cerita dan gambarnya.


Saya berkesempatan bertemu dengan Drs Suyadi saat bergabung dengan Kelompok Pencinta Bacaan Anak garapan Ibu Murti Bunanta sekitar tahun 2003. Ini efek samping ambil mata kuliah Bacaan Anak. Saat sesi kumpul rutin, saya suka diam-diam memerhatikan beliau yang duduk melihat kami latihan pentas dongeng. Pak Raden itu rupanya sudah tua. Tanpa kostumnya, terlihatlah dia sebagai sosok eyang biasa. Dirindukan.


Masa-masa di KPBA saya tetap memanggil beliau dengan Pak Suyadi, tetapi ketika sudah mengenakan kostum Pak Raden saat kami menggelar semacam Pekan Dongeng di Bentara Budaya ada yang tergetar dalam hati. Kenangan masa kecil saya membuncah, ingin menjadi anak-anak yang duduk mengelilinginya, mendengarkannya bercerita. Saya bahkan harus menahan diri saya sendiri agak tidak terlalu bersemangat. Menahan diri tidak berfoto bersamanya, menatapnya selama mungkin, agar ingatan ini tak pernah hilang. Begitu siang mulai menjelang sore, beliau benar-benar memanfaatkan tongkatnya sebagi tumpuan. Pak Raden sudah tua. Kepanasan sangat di balik beskapnya, rasanya ingin kupeluk. Tapi dia menegakkan kembali badannya saat ada anak-anak yang mendekat didampingi orangtua yang memiliki binar yang sama dengan hati saya. Saya yakin, kami pasti berbagi kenangan masa kecil yang sama.


Dan baru dua tahun ini saya tahu bahwa Pak Suyadi yang menjadi ilustrator di buku-buku pelajaran saya. "ini budi. Ini ibu budi. ... " Ternyata Pak Suyadi turut serta pada masa-masa awal penguntaian huruf-huruf di kepala saya. Dan sebagai orang yang mencintai tulisan juga cerita, itu sangat berarti.


Selamat jalan, Pak Raden. Semangat berceritamu tak akan pernah usai. Mari mendongeng untuk anak-anak kita, dan biarkan ikatan yang terjalin saat tengah berhimpitan di kasur, menyatukan kepala-kepala agar masuk dalam satu kepakan buku yang dibaca, menjadi  kenangan indah bagi anak-anak.


Bagi yang belum ada jadwal hari Minggu ini, mampir di Museum Nasional ya. Ada Festival Mendongeng Indonesia, ada banyak dongeng gratis dan pendongeng dari mancanegara. Mari mendongeng untuk generasi yang lebih baik.

6 komentar:

  1. Bersyukur sekali ya Mbak, masa kecil kita ada tontonan yg bisa jadi tuntunan macam si Unyil dkk. Aaahh baca ini rasanya meleleh. Semoga Pak Raden mendapat tempat termulia di sisi Allah, aamiin.

    BalasHapus
  2. Aku juga termasuk generasi pecinta si Unyil, Mba, dan Pak Raden, kala itu adalah tokoh yang paling aku tak sukai. Habis galak banget, bin pelit pula. Hehe. Tapi di balik semua itu, karya dan warisan budaya yang digoreskannya, begitu berarti bagi kita semua. Slmt jalan, Pak Suyadi, semoga Allah memberikan tempat terbaik bagimu, Aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beliau berhadil membuat tokoh yg dibenci sekaligus dicintai ... Aaamiiin semoga amal ibadahnya diterima Allah swt

      Hapus
  3. Pas kecil dulu, tiap minggu tontonan andalan ya si unyil. Tak terasa sekarang pak radennya udah meninggal :')

    BalasHapus