Minggu, 20 November 2016

CREATIVITY IN A SQUARE: Syi’ar dalam Sepetak Kanvas – Qonita Farah Dian


sumber foto: Instagram @Qonita_farah_dian


Waktu sudah mulai mendekati pukul 11 siang, seorang wanita yang tadinya tengah sibuk dengan tube-tube cat acrylicnya di sebuah gazebo di pinggir kolam renang di Green Palace, Kalibata City, merapikan kembali bercak-bercak idenya lalu bersegera meluncur menjemput putra semata wayangnya pulang sekolah.

Namanya Qonita Farah. Setelah menerima pertemanannya di Facebook, saya terkadang membiasakan diri memanggil dengan nama aslinya ketimbang panggilan sayang para mama di sekolah yang sering melibatkan nama anak. Sejatinya kami bertetangga di Kalibata City, tapi baru bersua saat kedua anak kami berada dalam satu kelas di TK yang sama. Tak lama, kami pun bergabung di sebuah komunitas yang sama di Kalibata City, Friday Fun Club. Dari kegiatan FFC lah, saya baru mengetahui bahwa ibu ini adalah seorang pelukis.

Pertama kali mengetahuinya, I was like what .... ? Namun kemudian saya ingat reaksi para tetangga ketika saya katakan menerima orderan kue. Reaksi yang wajar terbentuk karena betapa ‘luasnya’ unit kami. Tetap saja, saya lama ternganga. Melukis adalah pekerjaan yang secara fisik membutuhkan ruang dan waktu. Beda dengan kue, yah sehari dua hari lantai berminyak. Setelah uang diterima, beres pula dapurnya ^^. Apalagi jika dibandingkan dengan aktivitas saya sebagai blogger atau editor, hanya perlu laptop. Itupun harus tunggu anak3 tidur, biar aman. But to paint, really?

“Seringkali kita menjadikan banyak hal dalam hidup sebagai alasan. ‘Karena menikah, jadi terbatasi. Karena punya anak, jadi terbatasi. Karena ruang sempit, jadi terbatasi’. Semua batasan itu sebenarnya hanya kita buat sendiri, yang akhirnya hanya membuat kita berhenti (boro-boro jalan) di tempat. Ketika teman-teman kita sudah ke bulan, kita tidak ke mana-mana.”

Saya jarang bertemu dengan pelukis atau seniman betulan. Yang pernah saya temui hanya seorang seniman dari kampung mama saya bernama Itji. Konon termasuk salah satu pelukis terbaik yang pernah ada di Indonesia. Dandanannya nyentrik dengan jaket biru. Saya pikir (dan dengan melihat banyak film tentang seniman) itulah pencitraan seorang seniman. Makanya saya agak sulit menyandingkan kata ‘pelukis’ dengan seorang ibu rumah tangga berparas ayu dengan tutur kata lembut itu.

“Dulunya sih pernah arsitek.” Selorohnya di awal-awal perkenalan kami.
Terkadang saya tidak tahan untuk kepo terkait latar belakang pendidikan tetangga saya di Kalibata City. Ada yang berbeda dari mereka, walau statusnya sesama ibu rumah tangga dengan kegiatan mayoritasnya adalah antar jemput anak.

Lakonnya sebagai arsitek tak lama memang disandang Mba Farah. Dinas suami mengharuskan dirinya turut berpindah-pindah kantor. Dari Jakarta, Jogjakarta, Semarang, lalu kembali lagi ke Jakarta. Hingga kemudian, dia memutuskan tak lagi menjadi pegawai kantoran. Namun, menjadi ibu rumah tangga sedangkan buah hati belum kunjung tiba, terkadang menimbulkan sepi di hati, itulah yang kemudian mendorongnya melukis di atas kanvas. Rupanya, memang tidak ada hal yang muncul secara mendadak.

“Alhamdulillah saat duduk di bangku SD, pernah beberapa kali menjadi juara di lomba gambar. Hanya saja kegiatan ini berhenti sama sekali begitu masuk SMP hingga kemudian duduk di bangku kuliah menekuni ilmu arsitektur. Ada banyak bekal yang didapat dari kuliah, mulai dari komposisi bentuk dan permainan warna. Setelahnya saya banyak membaca buku-buku tentang teknik melukis dan beberapa biografi pelukis. Namun, kanvas baru benar-benar menjadi fokus melukis pada tahun 2007 ketika pindah ke Semarang.”

“Pada tahun 2010, di Jakarta, saya mendatangi sebuah pameran yang diselenggarakan IWPI (Ikatan Wanita Pelukis Indonesia). Di sana, saya sempat berbincang-bincang dengan salah seorang pendirinya. Merasa diterima dengan hangat, saya pun bergabung.”

keterangan: sharing melukis di kegiatan FFC


Kini, fokus lukisan Mba Farah adalah di kaligrafi kontemporer yang dapat dilihat di Instagramnya @qonita_farah_dian Kalau diperhatikan, latar sebagai arsitektur senantiasa terbawa dalam lukisannya, apalagi ketika saya mendapat kesempatan melihat lukisannya saat masih berbentuk sketsa. Dengan segala garis-garis lurus itu ^^. Dan ada penggaris tergeletak di dekatnya.

“Tantangan melukis di kanvas adalah teknisnya alih-alih tahapannya. Coba-coba menggunakan cat minyak dan acrylic. Tapi karena kemudian saya punya bayi dan tinggal di unit yang terbatas, penggunaan cat minyak saya rasa terlalu tajam baunya sehingga khawatir akan berbahaya bagi kesehatan. Akhinya saya memilih acrylic yang lebih aman.”

“Ada masa-masa saya sempat mencari jatidiri dalam melukis. Namun yang paling utama dibangun adalah kepercayaan diri dalam melukis. Keisengan mengikuti seleksi golden box yang diselenggarakan Jogja Gallery dan kemudian diterima, sungguh menjadi alat pacu yang sangat berguna dalam proses saya menjadi pelukis yang lebih percaya diri dan kemudian menghasilkan karya-karya yang lebih baik.”

“Awalnya memang tidak PD untuk menjual, tetapi ketika sedikit demi sedikit karya saya terpasang di dinding rumah saudara saya, kawan, atau kerabat, itu menjadi pengalaman yang sangat membahagiakan. Sehingga saya semakin semangat, semakin yakin dalam menggeluti passion ini.”

Dari sekian banyak genre lukisan, kenapa kaligrafi? Bukankah pencitraannya agak pasaran? Pikiran saya melayang ke kios-kios penjual bingkai.  Apalagi dengan latar belakang pendidikan yang terdengar keren itu.

“Mungkin faktor usia juga yang membuat saya memilih kaligrafi. Dengan melukis kaligrafi saya turut terlibat dalam syiar Islam. Saya berharap hal ini diridhoi Allah dan lebih bermanfaat bagi orang banyak sekaligus menjadi energi positif bagi diri sendiri.”

“Justru karena sadar orangtua sudah menyekolahkan hingga S2, alangkah kasihan mereka jika ternyata saya tidak menjadi apa-apa dalam artian tidak bermanfaat untuk orang banyak. Dan alhamdulillah keluarga, terutama suami , sangat mendukung dan tidak bosan-bosannya memberikan motivasi pada saya agar bisa terus berkarya.”

 Dari unit yang berluas tidak lebih dari 35m3 ini, menurut Anda berapa yang dia hasilkan setiap bulannya?

“Tidak pasti. Pernah mengalami pesanan hingga 25 lukisan ukuran kecil/sedang. Pernah juga tidak ada pesanan dalam sebulan. Namun, kalau dirata-rata sekitar 1—4 lukisan setiap bulannya.”
Ruang boleh terbatas, tetapi ide tak akan bisa dibendung. Mimpi tak akan pernah surut. Jika kita membiarkannya.

“Ide-ide kreatif memang biasanya lebih nyaman ketika dalam keadaan sepi, tapi pengerjaannya bisa kapan saja. Di depan TV bisa, di atas kasur pun oke.”

“Suatu hari nanti, ingin sekali bisa  pameran tunggal di dalam dan di luar negeri. Punya galeri yang bisa menghidupi banyak orang. Juga bermanfaat untuk lebih banyak orang lagi. Ini mimpi atau khayalan ya? Entahlah hihihi ...”

Kata orang life begin at 40. Wawancara ini dilakukan pada Juli 2016 lalu, dan hari Minggu ini, di bulan November 2016, beliau akan berangkat ke Aljazair untuk pameran. Semoga semakin banyak dinding yang ‘bertasbih’ karenamu.
Doa terbaik untukmu, tetanggaku ....


3 komentar:

  1. Acara yang keren. Kaligrafinya juga keren. Cat akrilik memang cocok buat berbagai media. Dari dulu pengen punya, tapi belum ada kesempatan beli dan berkreasi.

    BalasHapus
  2. Kaligrafi. Bisa juga merupakan wujud dakwah melalui karya, :D Hehehehe Kira-kira begitulah.

    BalasHapus
  3. Keren kaligrafinya. Aku pengen bisa buat karya seni seperti itu. Cuma tangannya ndak ada bakat kayanya.

    BalasHapus