Kata orang, orangtua dan anak yang memiliki karakter serupa biasanya sering terlibat perdebatan. Saya dan mama saya contohnya. Dan salah satu topik yang saya gemas untuk berdebat dengannya adalah soal undangan.
Oleh karena sistem matriarkat di Minang, mama saya menjadi semacam orang yang dituakan secara adat. Bako istilahnya. Fungsi bako ini seperti ibu kedua dala keluarga. Ibu suri kali ya.
Dan karena aturan matriarkat ini pula, tahta mama diturunkan pada kakak saya. Saya, di baris kedua. Toh, kata mama juga seharusnya memiliki kapasitas yang sama dengan kakak saya. Ini terkait dengan perbendaharaan nama saudara. Anaknya si anu, anak istrinya si anu, anak pamannya dari istri yang anu ... Budaya keluarga besar dan beristri banyak plus menikah antartetangga juga antarsaudara ini memang bikin bingung. Apalagi aturannya berbeda karena yang utama dilihat dari garis ibu. Belum lagi, saya buruk menghapal nama. Makanya awalnya saya santai-santai saja, karena toh tahtanya di kakak saya.
Namun ketika kakak saya sempat menghabiskan beberapa tahun di luar negeri, saya merasa berkewajiban menghapal sanak saudara ini. Terlebih pada saat itu, Nyak Uwa saya (kakak papa saya) meninggal dunia. Dan pada saat itu saya melihat betapa pentingnya mengenal saudara. Nyak Uwa saya ini orang kaya hanya cobaan hidupnya luar biasa sehingga ketika dia meninggal dunia, anak-anaknya nyaris tidak tahu harus mengumumkan pada siapa saja. Sedangkan kalau di keluarga mama, pesan kematian itu bisa otomatis tersebar karena ada sistem yang dipatuhi. Toh, walau akhirnya papa dan kami anak-anaknya yang membantu saat persemayaman hingga tujuh hari tahlilan yang sempat menyedot seribu orang di rumah Nyak Uwa saya, rupanya banyak pula saudara atau kenalan yang pernah dibantu justru tidak tahu kabar meninggalnya Nyak Uwa saya. Padahal rumah mereka tidak jauh. Ironis.
Oleh karena itu, ketika kakak saya pergi, saya menikmati berkenalan dengan saudara terlebih para anggota saudara baru alias para menantu. Senang menghadiri perkawinan dan menyapa satu saudara ke saudara yang lain Yah, ceritanya mau menggaet calon pemilih baru. Halah.
Namun, sejak menikah ada yang berubah. Mama tak pernah lagi mengajak saya ke pesta pernikahan. Saya tahu siy alasannya, saya tak diundang. Ini aturan yang mama patuhi sejak di Belanda. Orang Belanda kala memberi undangan, nama yang tercantum adalah yang diundang. Tidak tercantum, ya tidak diundang. Anak sekalipun. Penganannya dibuat pas sesuai jumlah tamu. Naah kenapa sekarang berbeda? Sekarang walau di undangan tertulis Bpk. Teuku Rusli & kel., saya tidak termasuk di dalamnya. Saya sejatinya mendapat undangan khusus yang tertulis, Bpk. hery Kuswahyo & kel. Itu menurut definisi mama saya, walaupun anak dan menantunya ini tinggal satu rumah dengannya, tapi secara harkat beda rumah. Nah, siapa juga yang bakal kasih undangan seperti itu selain teman sendiri? I mean, terlebih jika tinggal serumah dengan orangtua dan nama yang tercantum kudu nama suami yang notabene adalah menantu tidak populer, belum lagi jika ternyata si punya hajatan adalah saudara jauuuuh. Agak sulit kayanya berharap dapat undangan bertuliskan nama kita. Perlu sosialisasi.
Akhirnya saya hanya bisa mesem-mesem saja di depan pagar ketika mengantar mama saya menaiki mobil adiknya yang kebetulan disopiri sepupu saya. Mereka biasanya kompak bertanya, "Kok, ga ikut?"
Saya jawab apa adanya, "Ga diajak." Dan kening mereka pun berkerut aneh.
Urusan diajak atau ga juga sering subjektif. Saya pernah kena cemberut para Etek-Etek karena dianggap telah memperkeruh suasana. Jadi ceritanya ada acara buka puasa bersama di antara adik-adik mama. Nah sebagai generasi kedua, biasa dong saya konfirmasi kedatangan para sepupu saya, biar tahu mau ngerumpi apa. Eh rupanya, salah satu adik (menantu sebenarnya, karena suaminya sudah meninggal) ga diundang. Alasannya (baru belakangan tahu), ga enak karena mereka lagi suasana berduka atau lagi repot-ini menurut yang ngundang. Lha, meneketehe. Lagian, si sepupu yang ga diundang ini sejauh percakapan saya baik-baik saja hingga tidak perlu tidak diundang. Ya suds, relakan saja saya ditunjuk-tunjuk.
Lalu pernah ada juga, lagi-lagi acara bukber. Kali ini seorang Mak Datuk yang ajak. Aturannya sudah betul, telepon mama dan kemudian menitipkan satu kalimat, anak dan cucu diajak yaa.... Tapi karena mama menganggap saya akan kerepotan mengurus dua anak dan tidak akan fokus ibadah, maka saya tidak diberitahu. Hasilnya? Saya kena semprot sama para sepupu saya yang datang walau membawa anak. Lagian, kalau acara bukber gitu biasanya memang ga tarawih kok kitanya. Ibu-ibu mah tarawih sendiri di rumah jelang siapin sahur =P. Capek deeeh.
Lain ceritanya ketika abang tertua saya masih di Jakarta, mama selalu menelepon abang saya yang tinggal di Ciledug itu untuk menemaninya ke pesta pernikahan. Coba ya, Ciledug-Tebet.
Awalnya saya suka sewot sendiri. Oh, karena abang punya mobil, saya tidak. Oh, karena itu alasan mama biar bisa ketemu anak laki-lakinya. Stuff like that, sampai akhirnya saya memutuskan kesimpulan yang tidak terlalu berbau iri dengki =P Bahwa mama perlu status. Oleh karena mama mematuhi sistem undang-undangan itu, maka ketika mama mengajak abang tertua saya, dia menyelipkan status 'pengantar' pada dirinya (dan istrinya). Jadi bukan tamu tambahan. Ga ilegal karena mama papa saya sudah usia lansia dan tidak punya kendaraan pribadi.
Bagaimana dengan abang kedua saya? Yang masih lajang dan tinggal serumah? Dia juga diajak, sedangkan saya tidak, walau nebeng mobil tante. Well, pembelaan mama supaya abang saya yang waktu itu sempat lama freelance di rumah bisa bertemu kesempatan karier lain (jodoh mungkin, ya namanya juga ibu2). Oleh karena merasa telah menambah tamu ilegal, beliau menempatkan diri sebagai tamu legal yang tidak banyak makan. Karena intinya itu, jangan sampai tamu ilegal mengambil jatah tamu legal.
Lalu kenapa kakak saya tidak diajak? Toh, dia juga punya mobil. Well, karena (mungkin) bukan benar-benar punya kakak saya hehehe .... Lagian sungkan sama menantu, minta dianter-anter.
Lalu saya, ga punya mobil, bawa dua anak, lengkaplah keilegalan saya hehehe ....
Ya suds, anggaplah begitu skenarionya. Saya terima. Hingga kemudian saya dengar dari kakak saya (yup, bukan dari mama) bahwa sepupunya sepupu saya menikah. Secara hubungan darah sudah berseberangan karena antarmenantu, tetapi masih orang minang. Dan anaknya ini nyaris sebaya dan sering diajak serta dalam acara keluarga kami. Jadi ketika saya dengar dia menikah, bukannya ge er, tapi saya yakin suatu hari akan bertemu dengan percakapan, "Kok, uni ga dateng sih?" Sedangkan saya sudah malas menjawab, 'ga diajak' atau ngibul-ngibul yang lain. Akhirnya berkat investigasi kakak saya ke mama, saya tahu lokasi pernikahannya. Dan saya pun berangkat. Dan di sana, saya selamat dari pertanyaan yang di atas tapi kemudian kena pertanyaan lain dari mama, "Emangnya kamu diundang?" Haiyah. Biarlah Allah yang memaafkan dosa-dosaku U_U Pokoke saya ga maruk, ga bohong, ga lepas silaturahmi.
hehehe sbg org minang tulen sy paham akan hal ini...tp untungnya sy skrg domisili di kota lain n punya suami bukan dr suku minang..jd ga mengalami hal2 spt ini...
BalasHapusKadang2 ngangenin juga yg beginian hehehe ... Soalnya biasa ada sistem, eh ketemu keluarga suami yg ga ada sistem sm sekali .. Wrakadah =P tq dah mampir dini hari begini =)
HapusHehehe.. Ini yg sering dibilang orang, kalo menikah itu berarti menikahi seluruh sanak saudara dan adat istiadatnya ya mbak. Mau gak mau harus dinikmati ^^
BalasHapusSalam kenal yaaa..
ibarat makan gado2, ketika ga sengaja makan pare tetap ditelan krn msh byk yg lbh nikmat =P salam kenal juga
HapusBaru tahu kalau di Minang ada aturan seperti itu..
BalasHapusYah begitulah ... ^^' ada lg loh yg lucu2 dr minang tp nantilah sharenya ... =) tx 4 stopping by
HapusHeuheu.. ketat sekali itu aturannya, mak.. di Jawa juga kadang masih ada yang keukeuh kudu diundang duluan, tapi saya mah fleksibel sajalah.. hehe
BalasHapusHehe ada juga yg keukeuh hrs bentuk undangan fisik. Pdhal hari gini, khususnya orang indonesia doyan nge blast undanngan di medsos =D
Hapus