Jumat, 10 November 2017

Believe in Your Story ala Seung Ah Kim




“Ahnyeonghaseyo ...” sapanya lantang dan ceria saat memasuki ruangan Liliput.
Seung Ah Kim seorang story teller yang berasal dari Korea ini langsung memancing sumringah di hadapan 20 peserta workshop di Festival Dongeng Indonesia ke-5. Kelasnya bertajuk, “Cerita dan Permainan Jari dari Korea Masa Lampai.” Dan ketika dia berkata usai membungkuk ke berbagai arah peserta yang duduk setengah melingkar, “I’m from royal family ...” saya tahu tidak salah memilih narasumber.


Festival Dongeng Indonesia ke-5 yang diselenggarakan pada 4-5 November kemarin dihelat di Perpustakan Nasional RI yang baru, bersebelahan dengan lokasi FDI sebelumnya, di Museum Nasional. Semangat sudah bertumpuk-tumpuk sejak saya tahu bahwa saya bisa menggunakan hadiah voucher dari wewocraft yang didapat beberapa waktu lalu untuk mengikuti workshop dongeng. Sudah lama ingin ikutan, alhamdulillah tercapai juga.



Dengan mengenakan baju tradisional Korea, Seung Ah membuka percakapan dengan bahasa Inggris yang jelas tentang pengalamannya dengan kisah-kisah. Seung Ah kecil ternyata kesundulan adik sehingga dia terpaksa diasuh oleh neneknya. Sayangnya, Seung Ah saat itu mudah sekali menangis tapi sulit meredakannya. Sang nenek yang seorang janda melakukan segala cara untuk menghentikan tangis Seung Ah. Namun tidak berhasil. Lalu kemudian dia menggendong Seung Ah di punggung dan kemudian menceritakan kisah-kisah. Saat itulah, Seung Ah terdiam.
Sang nenek memang sudah lama melahap banyak bacaan sejak dirinya menjadi janda. Oleh karena berasal dari keluarga yang konservatif, si nenek tidak diizinkan untuk menikah lagi. Itulah sebabnya, buku menjadi sahabatnya dalam mengatasi kesepiannya. Dan dengan segala pengetahuannya akan cerita-cerita, dia pun membaginya pada Seung Ah.


Setelah si nenek meninggal dunia pada awal 2000-an, Seung Ah kemudian mendirikan Arirang Story Telling untuk melestarikan kisah-kisah dari ribuan tahun lalu yang nyaris tak dikenal lagi oleh masyarakat Korea. Dan berkeliling dunia untuk memperkenalkannya.


Hari itu, Seung Ah mengajarkan sebuah permainan jari yang digunakan untuk menghibur bayi. Gerakannya sederhana, hanya menunjuk-nunjuk telapak tangan, namun kata yang diucapkan Konci” (maafkan jika salah tulis ya) berarti “bumi”. Yang bermakna, bahwa manusia berasal dari bumi dan akan kembali ke bumi. Lalu ada gerakan membuka dan menutup kepalan yang dilakukan dua tangan sekaligus sambil menyebut “caem caem”. Gerakan ini berarti “mengambil” yang kemudian ada sedikit gerakan tarian dengan geriak “caem caem” yang mengingatkan kita, bahwa jika sudah tahu cara mengambil, maka harus tahu cara melepaskan. Gerakannya sederhana, tapi maknanya dalam. Dan itu yang diucapkan pada bayi-bayi 5000 tahun lalu.


Walau sederhana, tapi jika sudah tahu maknanya maka cara penyampaian pun juga akan berbeda. Itulah sebabnya Seung Ah mengusung slogan, “Believe in Your Story”. Karena untuk percaya juga harus ada cinta, dan jika sudah percaya dan cinta maka akan ada usaha untuk mendalami dan menghayati dalam menyampaikan sebuah cerita. Gunakan apa pun kebisaan kesukaan Anda dalam membacakan cerita, maka pesannya akan sampai kepada penonton. Entah itu menyanyi, menari atau fokus pada jalan cerita.


Seperti ketika Seung Ah membicarakan tentang aksi teatrikal tradisional Korea bernama “Pan So Ri”. Pertunjukkan langsung oleh seorang penyanyi sekaligus pencerita yang ditemani seorang penabuh drum. Dilakukan di sebuah tanah lapang, biasanya alun-alun, yang bisa berlangsung mulai dari 5 jam hingga 9 jam. Pertunjukkan yang pastinya melelahkan itu mendapat dukungan dari para penonton, mulai dari pujian, teriakan semangat, hingga sekadar mengingatkan untuk istirahat minum atau memperbaiki riasan. Namun dengan kemampuan ‘believe’, kisah yang dilakonkan tidak menjadi hilang fokus atau hilang rasa karena berbagai jeda. Saat Seung Ah mencontohkan sebagian fragmen Pan So Ri dari sebuah kisah romantis, saya terbayang bagaimana seseorang memerankan begitu banyak karakter dengan ragam dialog dan mimik dalam satu lakon. Pasti perlu banyak latihan, karena saya sering tertukar-tukar mimik jika melakukan story telling tanpa melihat buku.

Penampilan storyteller dari Jepang di lantai 7 Perpustakaan Nasional RI


Itu sebagian kesenangan saya saat mengikuti kelas Seung Ah. Kan jadi semangat lagi bercerita, walau masih dalam lingkup ke anak-anak sendiri.
Seung Ah dan berbagai story teller dari berbagai dunia membawa masing-masing pengalamannya untuk dibagi di Festival Dongeng Indonesia. Saat saya berkesempatan melihat kolaborasi para story teller tamu itu di satu panggung, saya merasa mereka membawa energi yang begitu dinamis sehingga anak-anak tidak beranjak dari duduknya menatap satu per satu penampil naik ke atas panggung. Mereka bahkan kian semangat merespons para penampil. Suara anak-anak menggema lantang.

Semua mata tertuju ke para story teller di FDI 5


Teman kuliah yg sempat bareng gabung KPBA, tapi sekarang dia masih jadi penggiat dongeng


Kak Aio saat tampil di FDI 5


Keren lah buat Kak Aio dan kawan-kawan dari Ayo Dongeng Indonesia atas acaranya. Tahun depan insya Allah saya akan datang lagi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar