Kamis, 05 Februari 2015

KAMYStory: Belajar Tidak Urut Bab


Pernahkah Anda mengeluarkan pernyataan seperti ini?

“ Mobilnya mewah tapi kok buang sampah sembarangan?”

“Ngakunya ustad kok perilakunya begitu?”

Dan lain sebagainya.

Well, saya pernah. Sasaran pertamanya adalah ayah saya, saya merasa ayah saya tidak melakukan ajaran agama sebagaimana mestinya. Yah, seperti pernyataan di atas, “Katanya beragama, tapi kok galak banget?” Hingga kemudian di usia remaja itu saya melakukan protes dalam sunyi. Saya menolak shalat lima waktu dan saya tidak suka semua guru agama saya. Pikir saya waktu itu, “ngapain shalat rajin-rajin tapi ga jadi orang baik” atau “ah, pak guru ini sama aja ngomongnya dengan papa”. Kotoran banteng lah.

Lalu kemudian saya mengalami saat di mana sayalah yang dipandang seperti itu. Suatu hari di SMU, saya pernah merokok di sekolah. Waktu itu sudah malam, jadi biasanya pengawasan sekolah nyaris tidak ada. Sekolah masih ramai dengan pelajar karena ada semacam malam berkumpulnya para penggiat ekstrakurikuler. Oleh karena saya merokok di samping mushalla ya berpapasanlah saya dengan anak rohis. Dalam bisik-bisiknya pada temannya, saya bisa mendengar, “Topeng-topeng.” Saya tahu itu arahnya ke mana. Dipikirnya saya pakai jilbab hanya sebagai topeng menutupi betapa nakalnya saya.

Saya tak kalah picik menjawab dalam hati. Sorry ya bung, hanya karena gue tutup aurat, gue ga boleh merokok? Lha, cowo-cowo yang pakai celana panjang emangnya ga tutup aurat? Banyak tuw yang brengsek. Ga ada yang bilang celananya adalah topeng (or sarung). Asal lo tahu aja, nenek-nenek di minang itu pada merokok. Pada pake kerudung semua mereka. Huh.

Ya, tapi dalam hati. But I must say, been there done that lah. Namanya juga fase kehidupan. Dalam perjalanannya , kadar menghakimi dan dihakimi ini berubah-ubah hingga kemudian saya capek sendiri. Capek membalas dalam hati penghakiman orang. Dan cape nyinyirin orang lain. Oprah pernah berkata, seperti memakan racun dan berharap orang lain yang mati.

Lalu saya mulai meyakini satu hal, bahwa tidak semua orang belajar sesuai urut bab kehidupan yang berlaku. Misalnya, urusan jilbab. Pada masa saya baru pakai, persis mau masuk SMP, yang saya pikir bukan perihal hidayah. Melainkan bahwa pakai jilbab itu ga ada susahnya sama sekali. Apa masalahnya? Ya, mungkin karena saya cuek dengan penampilan. Toh selama ini baju saya juga ga pernah seksi-seksi. Eh, rupanya di masyarakat berlaku urutan bahwa ketika berjilbab, kamu harus mendadak alim.  Lha. Trus saya, piye? Masa tunggu jilbabin hati dulu? Saya kan masih remaja, harus mengalami masa labil. (alesan) .Ibarat menjawab soal ujian, bukankah disarankan lakukan yang lebih mudah terlebih dahulu? Dan kemudian berproses untuk berusaha menjawab soal-soal lain yang lebih sulit.

Yah, kaya si pemilik mobil mewah dan kebiasaan buang sampahnya. Ketika dia belajar untuk menjadi kaya, tidak disebutkan bahwa dia harus belajar buang sampah terlebih dahulu untuk bisa punya mobil mewah. Bisa jadi orangtuanya dulu terlampau sibuk mengajarkan cara menjadi kaya dan lupa soal yang namanya menjaga kebersihan, toh kalau kaya kan ada orang yang bisa dibayar untuk bersih-bersih.

Jadi kemudian saya pikir, yah maaf deh kalau saya tidak belajar sesuai urut bab. Tapi doakan saya tetap mau belajar, karena yang terburuk dari semua itu adalah berhenti belajar menjadi orang yang lebih baik karena manusia tidak pernah sempurna.

Yah, balik ke bab tadi. Orang yang sudah belajar bab 9 belum tentu lebih baik daripada orang yang baru belajar SAMPAI bab 5. Kalaupun sudah belajar, belum tentu paham, belum tentu suka, dan banyak belum tentu lainnya.

Saya cukup cocok dengan pemahaman ini, yang mungkin hanya karangan saya sendiri. Dengan mengatakan hal ini pada diri saya sendiri, saya cukup berhasil menahan diri dari setidaknya bersikap menghakimi. Entah ya kalau dihakimi, saya mah pasrah saja. Hehehe ...

Rasulullah sendiri menunjukkan sikap senantiasa mendoakan mereka-mereka yang bersikap negatif karena Rasulullah merasa hal itu dilakukan karena mereka belum paham, belum mengerti. Bahwa target yang ingin saya hakimi bisa jadi belum paham dengan tindakannya, atau jangan-jangan sayalah yang belum paham maksud dan tujuan si target itu. (well, ini tidak berlaku untuk Rasulullah, ya). All I could do is wishing them (and us) for the best in life. Bahwa semua yang terjadi dalam hidup adalah yang terbaik, yang senantiasa mendorong kita menjadi manusia lebih baik, jika kita mau mengambil pelajaran darinya.

9 komentar:

  1. Ibarat kata pepatah yaa don't judge a book by its cover

    BalasHapus
  2. Aku biasanya langsung ninggalin orang yang berkomentar ngehakimin begitu, hahaha.. soalnya itu komentar yang destruktif.. misalnya katanya berjjilbab tapi kelakuannya gak bener, klo aku dengerin, secara ego bukannya kebawa untuk benerin tingkah laku tapi bisa aja kebawa untuk lepas jilbab..

    BalasHapus
  3. ya aku sih selau jadi diri sendiri. kalau urusan hati dan iman saya itu urtusan aku dengan Allahku

    BalasHapus
    Balasan
    1. dan semoga selalu dilindungi dan diberkahi Allah guna menjadi orang yang lebih baik :)

      Hapus
  4. iya emang kalau urusan jilbab sama akhlak pasti gak abis2.
    padahal kan itu 2 hal yang berbeda. semua manusia pasti butuh proses.
    salam kenal ya mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup, emang lebih amannya didoakan saja toh yg nunjuk juga pasti punya pe er kehidupan sendiri. salam kenal jugaa :P

      Hapus
  5. Pengennya sih cuek2 aja mak, tp kadang2 jg daku jabanin, itu pun kalau udh keterlaluan ngomongnya.
    Ah org2 bgini, ternyata ada di belahan bumi manapun *yaiyalah.plis deh. Hehe.
    Tfs ya mak

    BalasHapus