Tampilkan postingan dengan label kehidupan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kehidupan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Desember 2015

RABUku: Emak-emak Belajar Hidup dari Rumi


Menyebut tokoh tasawuf ini kebayangnya bacaan beraaat banget. Namun, saat menerima buku ini .. Rasanya sayang kalau ga dibaca. Bukunya dikemas cantik dari luar sampai ke dalam.


Saat Festival Pembaca Indonesia akhir pekan lalu, ada talkshow buku ini. Saya semangat ingin pergi karena selain sudah lama ga main di komunitas buku, juga karena ingin bertemu mantan bos saya yang sekaligus penyusun buku ini, Pak Haidar Bagir.


Dan sebagai non pemburu tanda tangan, saya sudah sodorkan buku sebelum acara dimulai. Maklum bawa tiga anak, ga yakin bisa stay hingga akhir apalagi acaranya jelang makan siang.



Bertempat di tower 2 Synthesis Square Gatot Subroto, acara dimulai pukul 11.30 dengan dibuka oleh pengamat sastra Maman Muhiyaman. Dalam pembukaannya itu pak Maman berpendapat bahwa puisi-puisi Rumi yang dipilih dan diterjemahkan oleh Pak Haidar ini bukanlah puisi yang menganut paham "semakin rumit bahasanya, semakin tidak dimengerti, semakin bagus". Puisi-puisi Rumi begitu ringan hingga berbicara tanpa hijab. Seperti hati Rumi langsung bicarapada pembacanya. Memang karya Rumi umumnya mampu menggedor hati pembacanya.


Hal ini diamini oleh Pak Haidar. Kumpulan puisi ini berasal dari kumpulan cuitan Pak Haidar di twitter. Ditulis setiap jam 9 malam dan dinamakan "Rumi Night". Sesi ini diklaim sebagai sesi yang paling sering di retweet di akun beliau.  Seperti halnya siaran radio di atas jam 9 malam tentu bisa ditebak puisi macam apa yang dipilih. Puisi yang menggedor-gedor hati. Hati yang galau, hati yang kecewa, hati yang angkuh, hati yang minder ....


Sebagai seorang fast reader tentu tidak bisa menganut percepatan yang sama saat menikmati puisi. dalam tiga hari, saya pun belum tuntas membacanya. Bukan karena tidak paham, karena pak Haidar dengan terpaksa memberikan kesimpulan di setiap puisi Rumi. Kenapa terpaksa? Karena beliau tidak ingin membatasi persepsi pembaca dalam memahami puisi Rumi, tetapi karena banyak yang bertanya jadilah turut ditambahkan walau dengan font kecil dan warnanya terkadang saruh dengan latar belakang.


Oia kembali ke saya. Puisi-puisi itu lama tuntasnya saya baca karena di setiap usai membaca satu atau dua puisi, saya berhenti. Sesuatu memang telah menggedor hati saya. Hal buruk yang saya lakukan, ingin rasanya segera diperbaiki. Oleh sebab itu, saya menutup buku dan akan kemudian dilanjutkan setelah usaha perbaikan itu dimulai. Karena puisi-puisi Rumi mendorong kita memperbaiki diri, jadi kalau sekaligus dibaca akan overwhelmed.


Bahasanya? Tenang. Karena diambil untuk disiarkan lewat twitter maka Pak Haidar mau tak mau menerjemahkan dengan kalimat seefisien mungkin dan sesingkat mungkin jika tidak terpaksa membuatnya dalam dua kali cuit. Sehingga yang terjadi adalah penafsiran puisi Rumi yang mudah dipahami. Asal mau berpikiran terbuka, tidak merumitkan diri sendiri.


Seperti yang diduga sebelumnya, saya tak bisa hadir hingga usai. Saat pak Haidar tengah membicarakan destinasi tasawuf di Turki, saya harus undur diri. Anak-anak yang lapar bisa menimbulkan kekacauan hehehe ... Sampai berjumpa lagi, pak Haidar.


Jadi jika dikira emak-emak cuma tahan baca majalah atau novel-novel percintaan yang enteng, berarti harus coba baca kumpulan puisi ini. Sensasinya, rasakan sendiri ^.^

Kamis, 05 Februari 2015

KAMYStory: Belajar Tidak Urut Bab


Pernahkah Anda mengeluarkan pernyataan seperti ini?

“ Mobilnya mewah tapi kok buang sampah sembarangan?”

“Ngakunya ustad kok perilakunya begitu?”

Dan lain sebagainya.

Well, saya pernah. Sasaran pertamanya adalah ayah saya, saya merasa ayah saya tidak melakukan ajaran agama sebagaimana mestinya. Yah, seperti pernyataan di atas, “Katanya beragama, tapi kok galak banget?” Hingga kemudian di usia remaja itu saya melakukan protes dalam sunyi. Saya menolak shalat lima waktu dan saya tidak suka semua guru agama saya. Pikir saya waktu itu, “ngapain shalat rajin-rajin tapi ga jadi orang baik” atau “ah, pak guru ini sama aja ngomongnya dengan papa”. Kotoran banteng lah.

Lalu kemudian saya mengalami saat di mana sayalah yang dipandang seperti itu. Suatu hari di SMU, saya pernah merokok di sekolah. Waktu itu sudah malam, jadi biasanya pengawasan sekolah nyaris tidak ada. Sekolah masih ramai dengan pelajar karena ada semacam malam berkumpulnya para penggiat ekstrakurikuler. Oleh karena saya merokok di samping mushalla ya berpapasanlah saya dengan anak rohis. Dalam bisik-bisiknya pada temannya, saya bisa mendengar, “Topeng-topeng.” Saya tahu itu arahnya ke mana. Dipikirnya saya pakai jilbab hanya sebagai topeng menutupi betapa nakalnya saya.

Saya tak kalah picik menjawab dalam hati. Sorry ya bung, hanya karena gue tutup aurat, gue ga boleh merokok? Lha, cowo-cowo yang pakai celana panjang emangnya ga tutup aurat? Banyak tuw yang brengsek. Ga ada yang bilang celananya adalah topeng (or sarung). Asal lo tahu aja, nenek-nenek di minang itu pada merokok. Pada pake kerudung semua mereka. Huh.

Ya, tapi dalam hati. But I must say, been there done that lah. Namanya juga fase kehidupan. Dalam perjalanannya , kadar menghakimi dan dihakimi ini berubah-ubah hingga kemudian saya capek sendiri. Capek membalas dalam hati penghakiman orang. Dan cape nyinyirin orang lain. Oprah pernah berkata, seperti memakan racun dan berharap orang lain yang mati.

Lalu saya mulai meyakini satu hal, bahwa tidak semua orang belajar sesuai urut bab kehidupan yang berlaku. Misalnya, urusan jilbab. Pada masa saya baru pakai, persis mau masuk SMP, yang saya pikir bukan perihal hidayah. Melainkan bahwa pakai jilbab itu ga ada susahnya sama sekali. Apa masalahnya? Ya, mungkin karena saya cuek dengan penampilan. Toh selama ini baju saya juga ga pernah seksi-seksi. Eh, rupanya di masyarakat berlaku urutan bahwa ketika berjilbab, kamu harus mendadak alim.  Lha. Trus saya, piye? Masa tunggu jilbabin hati dulu? Saya kan masih remaja, harus mengalami masa labil. (alesan) .Ibarat menjawab soal ujian, bukankah disarankan lakukan yang lebih mudah terlebih dahulu? Dan kemudian berproses untuk berusaha menjawab soal-soal lain yang lebih sulit.

Yah, kaya si pemilik mobil mewah dan kebiasaan buang sampahnya. Ketika dia belajar untuk menjadi kaya, tidak disebutkan bahwa dia harus belajar buang sampah terlebih dahulu untuk bisa punya mobil mewah. Bisa jadi orangtuanya dulu terlampau sibuk mengajarkan cara menjadi kaya dan lupa soal yang namanya menjaga kebersihan, toh kalau kaya kan ada orang yang bisa dibayar untuk bersih-bersih.

Jadi kemudian saya pikir, yah maaf deh kalau saya tidak belajar sesuai urut bab. Tapi doakan saya tetap mau belajar, karena yang terburuk dari semua itu adalah berhenti belajar menjadi orang yang lebih baik karena manusia tidak pernah sempurna.

Yah, balik ke bab tadi. Orang yang sudah belajar bab 9 belum tentu lebih baik daripada orang yang baru belajar SAMPAI bab 5. Kalaupun sudah belajar, belum tentu paham, belum tentu suka, dan banyak belum tentu lainnya.

Saya cukup cocok dengan pemahaman ini, yang mungkin hanya karangan saya sendiri. Dengan mengatakan hal ini pada diri saya sendiri, saya cukup berhasil menahan diri dari setidaknya bersikap menghakimi. Entah ya kalau dihakimi, saya mah pasrah saja. Hehehe ...

Rasulullah sendiri menunjukkan sikap senantiasa mendoakan mereka-mereka yang bersikap negatif karena Rasulullah merasa hal itu dilakukan karena mereka belum paham, belum mengerti. Bahwa target yang ingin saya hakimi bisa jadi belum paham dengan tindakannya, atau jangan-jangan sayalah yang belum paham maksud dan tujuan si target itu. (well, ini tidak berlaku untuk Rasulullah, ya). All I could do is wishing them (and us) for the best in life. Bahwa semua yang terjadi dalam hidup adalah yang terbaik, yang senantiasa mendorong kita menjadi manusia lebih baik, jika kita mau mengambil pelajaran darinya.