Kakak beradik. Serupa tapi tak sama. |
Si penulis itu bertanya dalam status FB-nya. Persoalan terbesar apa yang dialami dengan saudara kandung?
Saya menulis, "merasa terdeterminasi oleh kakak yang kebangetan hebatnya"
Dan voila, saya tidak sendiri. Hingga kemudian terucaplah kata-kata di atas oleh salah seorang pemberi komentar, "Ikatan Kakak-kakak Perfect tapi Saya Adiknya"
Saya geli setengah mati membacanya. Rasanya ngenes tapi bagaimana gitu.
Saya punya tiga kakak. Lebih tepatnya dua abang dan satu kakak. Ketika saya bicara tentang kakak yang membuat saya terdeterminasi itu biasanya merujuk ke kakak saya, yang berada persis di atas saya.
Sulitnya adalah, dia itu hebat segala-segalanya. Orangtua selalu memasang standar yang telah diraih kakak saya, untuk saya capai pula. Dan lama-lama aku lelah, karena memang tak kunjung bisa mencapainya.
Di kalangan ninik mamak saya lebih sering dikenal sebagai, "Ooooh, adiknya Dara,ya?"
Saya baru bisa terlihat setelah kakak saya kuliah s2 di luar negeri. Bayangin, perginya kudu keluar negeri lagi. Sedangkan gue ngedeprok aja di mari. ^^
Tidak hanya keluarga, teman-temannya pun begitu. Ketika saya berjalan, saya tak kaget lagi jika ada yang memanggil, "Dara!" dan saya jawab sambil terus berjalan, "Adiknya!"
Ironisnya, kakak saya selama ini malah merasa tumbuh tanpa pujian dari orangtua. Well, lebih tepatnya pujian orangtua itu ada, hanya saja tertuju semua ke saya. Dengan kata lain, salah alamat. Jadi, kepribadian dan prestasi kakak saya dipuja-puji di luar sana hingga saya sesak napas, kakak saya malah merasa rendah diri karena pujian dari orangtua sendiri tak pernah sampai padanya.
Nah loh. Pelik lah hidup ini hehehe ....
Jadi bagaimana kabar saya sekarang? Hmm ... yah lebih baik hahaha ... Mungkin setelah saya menetapkan bahwa "adikNYA" bukanlah kata milik, melainkan sebatas kata keterangan dalam silsilah keluarga bukan silsilah jalan kehidupan saya secara pribadi.
Apalagi setelah membaca tentang cara kerja otak masing-masing individu. Kakak saya (dan juga ibu saya) adalah orang yang menjadikan prestasi sebagai mesin bahagianya. Orang-orang seperti ini senang mencapai sesuatu yang terbaik dan berharap diapresiasi, terutama oleh orang-orang terdekatnya. Sedangkan saya banyak menggunakan otak tengah, alias bisa semuanya tapi tidak jagoan. So, terimalah nasibmu, naaak. Cara kerja saya terbalik, apa pun hasilnya, yang penting progresnya membuat saya bahagia. Jadi menyandingkan kakak saya dalam sisi mana pun, apalagi dengan kacamata orang kebanyakan, tentulah saya kalah di mana-mana. Udah kalah, tidak bahagia pula.
But it doesn't mean I hate her. Wong dia yang ngasuh saya. Saya hanya perlu menerima diri saya apa adanya. Dan berbahagia atas apa pun yang diraih kakak (dan abang-abang) saya.
Bagaimana dengan anak-anak?
Hmm, saya suka bingung sebenarnya. Misalnya: ga mau si bungsu dapat baju lungsuran terus (pengalaman pribadi), tapi baju kakak-kakaknya banyak yang masih bagus (mak irit lah). Ga pernah membandingkan, tapi anaknya minta disama-samain melulu, kalau ga disamakan dibilang ga adil. Hadooooh. Ini masih mending si bungsu belum bisa ngomong bener.
Saya jarang kasih pujian but I said thank you karena saya merasa semua anak itu terlahir hebat.
Ketika si sulung memberikan hasil ulangannya, yang saya cari letak kesalahannya. Coba ya, Amiiiii ....
Ketika saya tanya, "kok ini bisa salah?"
"Iya, lupa" Jawabnya
"Kok bisa lupa?" Si Ami mulai nyebelin.
"Ya namanya juga orang, emang ga boleh salah?" Nah loh.
Saya pusing deh. Saya sih pasrah lah kalau suatu hari anak3 saya pada komplain tentang berbagai kesalahan saya dalam pengasuhan. Eh, sekarang juga sudah sih. Hehehe .... Namun, dengan segala kekurangan saya, selalu berharap bahwa Tuhan selalu memberi perlindungan dan berkah pada anak-anak saya dan seluruh anak-anak di bumi. Untuk menjadi yang terbaik dari diri mereka, bagaimana pun orangtuanya.
You don't have to be the best, but do your best and be happy.