Selasa, 08 Agustus 2017

SELASHAring: 1, 2, 3 Mari Menyusui ...



Kalau dipikir-pikir, status beranak tiga dan yang bontot sudah berusia lebih dari dua tahun, rasanya kurang cocok jika ikut acara Cerita Bunda bersama Prenagen lactamom yang diselenggarakan haibunda.com dan bekerja sama dengan Prenagen dalam rangka Pekan ASI Sedunia 2017 pada 05 Agustus lalu di cafe dia.lo.gue, Kemang. Namun, nyatanya walau ada begitu banyak informasi yang bertebaran tentang ASI, tidak sedikit para ibu yang mengalami kesulitan saat hendak memberikan ASI pada anaknya. Maka, dengan datang ke acara seperti ini, saya bisa mengupdate informasi ke kawan-kawan, syukur-syukur bisa berbagi pengalaman. 

 "Bagi ibu mungkin sudah menjadi pengalaman menyusui yang kedua atau ketiga, tapi bagi si anak itu adalah pengalaman pertamanya." kata Dr. Yolanda Safitri, MPH (M) Konselor Laktasi; Bunda International Clinic sebagai narasumber pertama. 


Menyusui itu ternyata tidak seperti naik sepeda, karena melibatkan pihak lain sehingga butuh waktu untuk beradaptasi. Dan dari anak pertama hingga ketiga, cerita tentang menyusui tidak pernah sama. 


Anak Pertama: Pembuka Jalan yang Butuh Keberanian dan Kepercayaan Diri


Tantangan terbesar bagi saya usai melahirkan putri pertama saya bukanlah proses pelekatan bayi pada puting ibunya, melainkan tanggapan orangtua saya terkait ASI saya. Ketika bayi masih belajar dan belum berhasil, ASI diperah tapi cuma iseng-iseng basahin dasar botol, membuat saya akhirnya membeli susu formula. Kepala saya sudah pening dengan omongan sana-sini. 

"Tenang aja, lambung bayi baru lahir itu baru sebesar kelereng." Itu kata kawan saya via message. Kalimat yang seperti guyuran air di gurun pasir. Saya tak lagi menyalahi diri sendiri, dan punya sedikit tenaga untuk mengumpulkan kepercayaan diri.  Dan kuping perlahan tertutup dengan berbagai konten negatif. Fokus saling belajar bersama si sulung dalam menyusui. 

Pada hari ketiga, ASI saya akhirnya keluar dengan normal. Walau salah satu putingnya perlu disedot oleh si sulung dengan sangat kuat selama satu minggu pertama dan itu rasanya ... luar biasa, seperti mau melahirkan saja ^^' Alhamdulillah masih kebagian kolostrum yang ternyata masih berproduksi hingga 5 hari setelah melahirkan. 

Bagaimana dengan sufor yang dibeli? Saya berseru gembira ketika si sulung menolak diberi sufor, "YES!!!"


Tantangan berikutnya adalah menjadi busui yang bekerja. Seminggu pertama saya kembali bekerja, si sulung bingung puting, hingga saya pernah minta izin pulang lebih cepat untuk menyusui karena anak saya sama sekali menolak diberi ASIP. Dan beberapa hari, saya hipnoterapi, membisikinya selagi menyusu atau saat tengah ditimang hendak tertidur. "Kalau Ami kerja, Malika nyusunya lewat botol ya. Nanti Ami pulang, baru nyusu langsung lagi." Dan berhasil! 


Lingkungan kantor pun mendukung, walau belum memiliki ruangan khusus tapi saya diberi waktu untuk melakukan pumping di jam kerja. Begitu sudah agak ahli, saya bisa memerah sambil bekerja atau bahkan saat rapat. Ketika satu kantor diwajibkan ikut pelatihan di luar kota, saya nyaris tidak mau ikut karena ASIP saya terbatas dan anak masih ASI Eksklusif. Namun pimpinan saya, dengan semangat 'tetap bekerja walau menyusui' mengizinkan saya membawa bayi dan suami saat itu bersedia mengambil cuti dadakan, dan karena bawa rombongan, saya pun diberikan satu kamar sendiri di hotel. Sungguh terharu saya dibuatnya. 


Si sulung ini menjadi anak yang paling sebentar waktu menyusuinya karena di usia 10 bulan, saya sudah hamil lagi. Tanpa disapih, si sulung berhenti menyusu di usia 13 bulan. 



Anak Kedua: Si Penyundul yang Butuh Kesabaran 


Situasi saya saat melahirkan anak kedua agak berbeda. Sudah berhenti bekerja dan pindah ke rumah sendiri di usia bayi 40 hari. Saya pikir bisa jadi lebih fokus, tenang, dan sebagainya. Tapi ... eh ternyata ga juga loh. Karena si anak tengah ini, laki-laki, dan menyusunya bisa berjam-jam. Serius. Berjam-jam. Dari saya masih elus-elus ajak ngobrol, hingga ketiduran, lalu bangun lagi, itu anak masih saja nempel. Dan kalau saya lepas, anaknya bangun lalu minta nyusu lagi. Eh ya ampuuuun .... Mau minum saja ga bisa. Apalagi masih ada si kakak kecil. Dari dibujuk disuruh nonton sampai filmnya habis, belum kelar juga. Akhirnya si kakak turut nimbrung dengan mainannya di sisi lain ibunya. Menyusu sambil momong. Tak jarang menyusu sambil nulis blog, di hape jadul yang lemot, bisa loh jadi satu postingan.  Masih syukur terkadang dikirimi sayur daun katuk sama mama. Dan kalau si ayah belum berangkat kerja, si sulung bisa memuaskan rasa bermainnya. Atau saya bisa sejenak membetulkan posisi tubuh saya yang kaku berjam-jam ketika si ayah memandikan anak cowok ini atau mengajaknya berjemur. Pada saat-saat seperti ini, dukungan walau remeh-temeh itu sangat berarti loh. Hasilnya, anak laki ini betah menyusu hingga usia 2,5 tahun. 


Anak Ketiga: Si Bontot yang Menolak Disamakan


Baru saja saya buang bra menyusui saya setelah 4 tahun digunakan, merayakan hari bebas menyusui, eh saya hamil lagi. Persis satu bulan setelah si anak tengah berhenti menyusu. Hampir-hampir mirip dengan salah satu narasumber Ilma Rineta (Co-Foundaer Circle of Moms) yang juga menyusui nonstop dari tahun 2012, tiga dari empat anaknya adalah laki-laki, dan gragas juga menyusunya ^^' . Saya Cuma bisa elus dada dengarnya.

Pada kehamilan ketiga ini saya cuek luar biasa. Gayanya petantang-petenteng. Ah, gue dah jago lah. Tapi eh tapi, untuk pertama kalinya saya merasakan puting lecet oleh bayi yang ga punya gigi. Badan masih remuk usai melahirkan, tulang punggung masih kram, payudara bengkak, dan sobek ... huaaa rasanya mau nangiiiis ... Butuh waktu seminggu baru bisa normal. Itulah namanya kualat ^^' Dan ternyata  75% ibu menyusui mengalami puting lecet. Jadi itu biasa, normal seperti halnya masalah lain dalam menyusui mulai dari berat badan bayi turun (selama belum 10% dari BB bayi masih dianggap normal), bayi sebentar-sebentar menangis (bukan karena ASI kurang, melainkan karena ASI mudah dicerna bayi), hingga bayi kuning (dikarenakan organ tubuh bayi pun masih belajar mengelola bilirubinnya). Jadi, ga perlu khawatir. Perbaiki lagi pelekatannya. 

Bersyukur sudah tidak ada lagi lingkungan dengan konten negatif. Baik keluarga, kawan, hingga tetangga yang datang senantiasa membawa sesuatu yang mendukung saya selama menyusui di minggu-minggu pertama. 

Tantangan saya di anak ketiga adalah gizi. Saya terbiasa menurunkan prioritas diri saya terkait gizi makanan karena saya sudah tidak ada waktu memasak untuk diri saya sendiri. Akhirnya makan ala kadarnya. Sehingga banyak asupan seperti zat besi dan kalsium yang sudah menjadi isu saat hamil anak ketiga, yang tidak terpenuhi. Hal ini yang membuat saya curiga apakah itu yang menyebabkan gigi-gigi pertama anak saya tidak tumbuh dengan bentuk sempurna.  Tidak kotak mulus melainkan runcing-runcing gompal-gompal.  Hadooh. 

Tapi cukup sudah. Tiga pengalaman sudah lebih dari cukup bagi saya hehehe ... 


Terkadang kita lupa, saat menjadi busui, kita pun masuk ke kalangan VIP di rumah tangga.  Makanya memang harus selalu ingat bahwa di zaman sekarang ini support system untuk ibu menyusui sudah semakin membaik, seperti dengan begitu banyaknya pilihan susu khusus ibu menyusui yang rasanya pun enak. Konselor ASI bertebaran, seminar tentang ASI pun sering diselenggarakan, komunitas ASI juga beragam. Semoga dengan begini, para ibu menyusui semakin nyaman menyusui anaknya. Dengan perasaan bahagia dan penuh cinta.  

3 komentar:

  1. Baru bayi ketiga lecetnya? Wah aku dari anak pertama dan kedua lecet smua mbak pakw berdarah dan bengkak pula. Aduhai rasanya yah. Perjuangan seorang ibu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang benar2 ya. Sakit yg sulit diungkap dengan kata-kata. Dibuat lecet sama bayi suka bikin baker loh ...

      Hapus
  2. wah.. lebih baik gizi selalu dikontrol agar kesehatan si kecil gak gampang sakit

    BalasHapus