Minggu, 30 Juni 2024

Love Language – Paket Komik dari Abang lewat JNE

 



Beberapa bulan setelah saya menikah, abang saya dan keluarga pindah ke Inggris. Itu artinya sudah hampir 16 tahun yang lalu. Dari 16 tahun itu, rasanya satu tangan pun belum tuntas untuk menghitung momen mudiknya.

Kami empat bersaudara. Saya si bungsu dan si abang si tertua. Kemiripan karakter antara anak ujung ini memang membuat kami lebih banyak berinteraksi. Sebelum menikah, saya biasa duduk di lantai di samping kursinya, memandangi si abang tengah mengutak-utik gambar di komputer. Atau, dia akan selalu melongok ke kamar saya sepulang dia kerja-karena saya bertugas membereskan meja setelah makan malam dan dialah yang terakhir makan di pengujung hari.

Kami empat bersaudara. Dibesarkan dengan buku sebagai satu-satunya hiburan setelah TV yang juga dibatasi jamnya. Buku saat sakit, saat liburan, saat ke rumah teman atau ke rumah saudara, saat tidak ke mana-mana. Buku dibeli, buku dipinjam, atau majalah berlangganan. Bisa dikatakan love language kami adalah, buku.

Abang sulung saya itu termasuk yang pertama membeli buku sendiri dari uang jajannya. Buku komik beraliran mecha biasanya karena dia memang suka menggambar robot. Lalu kemudian dia mendapatkan majalah Annida gratis karena menjadi kontributor komik. Saya sebagai bungsu, setiap pulang sekolah cukup menunggu tiap minggu atau bulannya, komik-komik atau buku baru dari ketiga kakak saya. Seperti menanti kabar gembira, menunggu salah satu dari mereka berkata “Ada komik baru tuh.” Dan saya langsung menghambur ke kamarnya.

Dan ketika kami mulai hidup berpencar-pencar, adalah untaian kata yang mengobati kerinduan. Berbagi kabar dari milis, kemudian berlanjut ke media sosial. Si abang tidak banyak merangkai kata, tetapi dia tetap gasss semangat kreativitasnya dengan mengisi media sosialnya dengan karya-karya ilustrasinya yang dibuat versi video ketika dia menggambarnya. Like old times, tapi versi online.

Kemudian sejak e-commerce mulai ramai, dia pun mulai menitip dibelikan buku. Biasanya komik-komik karya kawan-kawannya. Dialamatkan ke rumah orangtua dengan harapan ketika mudik akan dibawa ikut ke Inggris. Dan ketika keponakannya semakin besar, dia pun mulai membeli komik tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk para keponakannya. Sehingga meski kemudian mudik itu menjadi semakin jarang terjadi, silaturahmi tak kemudian pudar meski di level keponakan yang memang tidak punya rekam jejak banyak akannya.

Saya yang biasanya akan memesankan buku sesuai permintaannya dan ketika paket diantar kurir JNE tiba di satpam saya bahkan masih menyambutnya dengan gembira dan berdebar. Betapa tidak, kecepatan kemunculan paket itu sering kali lebih cepat dari yang diharapkan. Ketika kembali ke rumah setelah menjemput anak-anak pulang sekolah, satpam akan berkata, “Bu, ada paket buku.” Dan saya langsung menghampirinya.

(Sumber: www.instagram.com/rumah_melati)


Lalu aksi kirim-kirim buku itu mengalami peningkatan. Rupanya abang saya ini gasss terus semangat kreativitasnya meski tengah di negara orang. Dia berkolaborasi dengan komikus Indonesia lain dan  membuat komik. Dan bukunya terbit di sini, sementara dia tetap tinggal di sana. Saya lalu menawarkan diri menjadi manajer penjualannya di sini. Jadi dia tetap bisa mempromosikan karyanya dan saya yang mengurus pengirimannya. Awalnya, dia ragu menerima permintaan saya karena tidak mau merepotkan saya yang punya 3 bocah di usia di bawah 10 tahun. Namun, saya bilang bahwa kantor JNE tersedia di Kalibata City. Selama masih di Kalibata City, tidak ada yang jauh dan merepotkan bagi saya. Lalu dibuatlah akun lapak bukunya di Instagram di mana saya sebagai adminnya juga.

Kantor JNE termasuk pelayanan kurir pertama yang tersedia di Kalibata City. Mulai dari masih serba manual pengisian datanya yang mengakibatkan antrian panjang hingga kini sudah menggunakan komputer dan kalau dari e-commerce bahkan langsung tercetak alamat pengirim dan penerima. Jadi sebenarnya tidak terlalu perlu saya mencetak stiker khusus untuk Alamat. But I still do it anyway karena itu ongkos branding yang murah ketimbang mencetak kemasan khusus.

Lalu terbitlah karya-karya kolaborasinya, serial Liqomik, Papomics, Palestina, dan Nusantara Warriors. Tak hanya karyanya, tetapi juga karya temannya yang lain. Dengan memiliki lapak buku, dia jadi bisa ikut membantu penjualan komik kawannya yang berpulang ke rahmatullah sebelum komiknya terbit. Komik Pahala Mengalir terbit secara gotong royong dan seluruh royaltinya untuk para ahli warisnya.


(Sumber: www.instagram.com/toko_new_rule)


Tidak berhenti di situ. Anak semata wayangnya pun mengikuti jejak sang ayah, ikut berkolaborasi dari jarak jauh dan terbitlah Comic Junior #1 Berbuat Baik. Saya yang sekadar menjadi admin pun merasa tengah connecting happiness melihat tanggapan pelanggan baik atas karya abang atau keponakan saya. Meski jauh dari komunitasnya, abang masih mendapat apresiasi di tanah air. Apalagi tidak pernah ada masalah dengan pengirimannya, semua tiba dengan selamat dan dapat dipantau kapan pun. Sehingga citra baik abang dan karyanya juga ikut terjaga.



Belakangan saya sedang rindu karya abang saya yang baru, sekadar agar bisa sering-sering silaturahmi ke JNE dan connecting happiness, my happiness karena bangga pada abang saya yang tak surut semangatnya dalam berkarya. Ayo, Bang, gasss terus semangat kreativitasnya.  


#JNE#ConnectingHappiness#JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024 #GasssTerusSemangatKreativitasnya  

Senin, 24 Juni 2024

Kenapa MTSN?

 

Ini kisah PPDB dua tahun lalu. Kisah yang cukup membagongkan bagi saya hingga sulit saya tuliskan di media sosial saat itu. Sekarang, rasanya saya sudah siap karena tengah menjalani PPDB juga untuk si anak tengah. Waktu itu awal tahun 2022, saya baru saja mendapatkan nilai sidanira dan juga bocoran peringkat si sulung untuk masuk SMP. Dengan nilai rata-rata 89, dia berada di peringkat 30-an untuk satu Angkatan berjumlah 60 orang. Waktu itu, saya hanya mengira-ngira nilai akhirnya, lalu mencocokkan dengan data PPDB tahun lalu.

Sejak awal saya tahu, si sulung tidak akan bisa lewat jalur zonasi. Waktu PPDB SD saja, dia berada di posisi dua dari bawah karena usianya masih 6 tahun 3 bulan. Enam tahun kemudian, peluang masuk SMP lewat jalur zonasi tentu semakin kecil saja. Oleh sebab itu, target saya, bangku terakhir. Hal itu karena ya saya memang punya semangat tidak kasih pressure ke anak untuk ikut lomba saat masih duduk di bangku SD. Makanya, dia tidak punya catatan prestasi sama sekali.

Namun, saya tidak benar-benar sreg jika hanya mengharapkan bangku terakhir. Tentu tahu, bangku terakhir itu jumlahnya sangat sedikit dan tidak pasti sama dengan tahun lalu. Di tengah kebingungan itu, kawan saya berkomentar di WAG, “Kenapa ga coba MTS?”

Jujur hingga saat itu, saya masih merasa MTS itu seperti sekolah buangan. Itu hingga saya coba buka situsnya https://ppdb-madrasahdki.com/#/02 MTS itu sama gratisnya dengan SMP, begitu juga dengan jenjang di bawah dan di atasnya. Pembedanya adalah MTSN berada di bawah naungan Kementrian Agama.

Dan saya cek lah arsip tahun lalu lalu terpukau dengan nilai-nilainya. PPDB MTSN tidak menggunakan sistem presentil sehingga nilai yang diambil murni sidanira. Saya pikir, Wah, boleh juga nih.

Saya lalu membuat daftar incaran MTSN yang sesuai dengan jangkauan. MTSN 4 berada di posisi puncak, berlokasi di Jagakarsa. Lalu ada MTSN 6 yang berlokasi di Condet. Salah satu kekurangan dari MTSN adalah lokasinya yang minggiiiiir banget. Sebenarnya ada MTSN yang lebih dekat posisinya dari tempat tinggal saya di Kalibata City, masalahnya tidak accessible. Sebagai pengguna transportasi umum sejati, jarak sedekat itu tapi pulang pergi harus mengandalkan ojek yah sayang saja.

 

PPDB SMPN

Dan tibalah saatnya PPDB SMPN. PPDB MTSN sudah dimulai lebih dulu karena ada lebih banyak jalur yang digunakan, seperti jalur madrasah, boarding, zonasi, dan tahfidz. Saya sempat mempertimbangkan jalur tahfidz tapi minimal 3 juz dan si sulung ‘baru’ 2 juz dan tidak pernah sempat mengikuti sertifikasi karena terhadang pandemi sehingga berulangkali dibatalkan. So, I guess, bukan di situ jalannya. Kesempatannya hanya di jalur regular dan jalur akhir. Sementara untuk jalur akhir MTSN dilaksanakan bersamaan dengan PPDB tahap akhir SMPN. Jadi memang gongnya di jalur akhir banget semuanya.

Saat jalur prestasi, saya masih tenang karena memang tidak mengikutsertakan anak di jalur itu. Memantau penyisihan, berapa banyak siswa dari sekolah yang sama diterima di jalur prestasi. Saat jalur zonasi, juga seharusnya saya tenang karena tahu persis umur anak saya tidak akan masuk. Akan tetapi, saya stress juga melihat bahwa betapa sedikitnya kuota yang tersisa untuk zona 3 di sekolah mana pun. Hanya 3 atau 4 orang dan itu pun pasti sudah berusia lebih dari 13 tahun. Saya jadi memastikan, wah kalau begini sih anak kedua nanti juga tidak bisa ikut jalur zonasi.

Sementara itu, si bontot yang juga masuk PPDB untuk tingkat SD, nyaris terlupakan. Syukurnya umur dia lebih dari cukup atau 7 tahun lebih 2 bulan. Jadi, saya hanya perlu memasukkan satu nama sekolah dan membiarkannya begitu saja. Aman tentram tak tergeser banyak.

Tidak seperti sang kakak yang pada jalur reguler MTSN nilainya terus tergeser dan akhirnya tidak diterima di dua sekolah yang diincar. Tenang … masih ada jalur akhir. Saya melihat dari perolehan nilainya, seharusnya nilai anak saya ini masih bisa bersaing di bangku kosng.

Tibalah waktu penentuan. Jalur tahap akhir atau biasa disebut bangku kosong, karena memang merupakan akumulasi kuota-kuota yang tidak terpenuhi misalnya dari jalur nakes atau kjp atau bahkan karena ada yang tidak lapor diri setelah diterima dari salah satu jalur tersebut. Rata-rata jumlahnya sama dengan data tahun lalu. Saya memutuskan untuk fokus dulu di PPDB SMPN karena saya tidak mau nanti malah diterima dua-duanya, kasihan nanti ada jatah orang yang saya kemudian sia-siakan karena tidak lapor diri.

Walau punya rencana cadangan, tidak menyurutkan kegigihan saya mencari SMP yang bisa menerima nilai akhir anak saya. Kenapa harus gigih? Karena memang sesusah itu … Beberapa kali geregetan karena nilai-nilai terbawah di SMP-SMP hanya terpaut dua poin dari nilai akhir anak saya. Momen ini yang kemudian memicu komentar di dalam hati, ah coba nilai dia di atas 90. Komentar dalam hati ini memicu kilas balik ketika si sulung ini selalu bilang, “Cuma salah satu, kok.” “Masih 90 an kok.” Setiap kali saya tanya nilai ulangannya. Setelah itu, muncul kesal ke anaknya.

Melihat data bahwa nilai anak itu tidak diterima di berbagai SMP itu rasanya kaya ditolak. Sudah pula saya pengalaman pribadinya ditolak cowok terus, menghadapi ini tuh kena juga mentalnya. Tapi kan anakku ga bodoooh. 89 itu di sekolah lain masih sepuluh besaar. Teriak pikiran saya.

Setelah memastikan memang tidak ada SMP yang bisa didaftarkan, akhirnya langsung pindah haluan. Ke MTSN. Pagi-pagi sekali saya sudah cek di web PPDB MTSN, melihat sisa kuota. Saya buka MTSN 4. Hanya ada 4 kuota. Saya kaget sekali. Padahal data tahun lalu itu ada 20 kuota, kok ini jauh sekali perbedaannya. Meski angka ini sebenarnya lazim di SMPN. Kalau hanya 4 kursi, ya wassalam tidak bersaing lah nilainya. Jadi saya mencoret MTSN 4 dari list dan langsung mendaftar ke MTSN 6. Posisinya aman hingga hari akhir meski agak-agak tergeser di bagian tengah. Alhamdulillah …

Saya kemudian memberi catatan pada si sulung, “Kak, inilah makanya jangan menganggap remeh nilai-nilai kurang satu. Kamu bukannya ga pintar, tapi banyak orang yang lebih ngotot sama nilai. Nanti jangan sampai rata-rata di bawah 90 dan harus ikut eskul, aktif ikut lomba.” Si sulung mengangguk dalam diam.

 

PLOT TWIST

Yes, ada plot twist. Beberapa hari setelah fiks diterima dan sudah lapor diri, saya menerima telepon dari salah satu wali murid dari kelas sebelah. Saya sudah tahu itu siapa karena sebelumnya sudah ada yang memberitahu karena si wali murid itu juga mendaftar di MTSN 6. Ah, mau nanya soal daftar ulang mungkin, begitu pikir saya.

Saya sudah menyambut dengan riang karena akan punya anak sama-sama di MTSN 6, lalu dia bilang, “Oh ga jadi, dia masuk MTSN 4.”

Hah kok bisa. Saya ingat betul anaknya ini diterima di MTSN 6 sebagai pilihan kedua, sementara MTSN 4 pilihan pertama.

“Iya, jadi ternyata ada error di MTSN 4. Sebenarnya kuotanya bukan 4 tapi 20. Nah biar tidak ada penumpukan massa di sekolah, jadi hanya diberitahukan ke yang menghubungi langsung saja. Jadi semua yang terdata di PPDB mendaftar ke MTSN 4 akan diseleksi secara manual oleh pihak sekolah.”

I was like …. What … What on earth …

Saya punya nomor admin MTSN 4 tapi saya memutuskan tidak bertanya ketika melihat kejanggalan itu. Oh tidaaaaaak, apakah ini salahku?

Setelah beberapa sesi menyalahkan diri, saya menenangkan diri dengan bilang, “OK, ini qadarullah namanya, Ti.”

Iya, saya tidak menafikan takdir, cuma kenapa harus dikasih tahuuuu aaaaargh …

Saking plot twist-nya makanya saya baru bisa cerita sekarang. Karena rasanya masih aaaaargh aja hehehe …

Anyway, anaknya kemudian jadi anak MTS, doing great (at least for me) dan tahun depan sudah akan di arena PPDB lagi. Fiuuh …