Tampilkan postingan dengan label hiburan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hiburan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Januari 2015

HOMYnggu: Merindukan Pasar Kaget




Hari Minggu begini biasanya kami sekeluarga tidak ada jadwal jalan-jalan. Istirahat di rumah saja alias malas-malasan. Namun, seandainya di hari Sabtu kami pun sudah tidak ke mana-mana, kami sedikit mengganti acara makan pagi. Biasanya ketika suami ngopi (sekalian ‘ngasap’) di bawah, anak-anak ikut dan kami akan main lebih lama dari hari biasa. Berganti-ganti tower, mencoba berbagai jenis playset berbeda, hingga pukul 10. Nah, kalau hal ini sudah dilakukan di hari Sabtu, berarti hari Minggu adalah saatnya ke ... Pasar Kaget.


Pasar kaget Kalibata mengambil jalan mulai dari persis belokan ke arah STEKPI (sekarang namanya Universitas Trilogi) dan meneruskan cabang jalan mengelilingi komplek DPR. Pasar kaget ini semakin ramai penjual dan pembeli terutama disebabkan dengan populasi Kalibata City memang besar. Banyak yang mengajak keluarga sarapan pagi sambil jalan pagi bersama keluarga ke sana. Memang lebih enak ke sana pagi-pagi karena pasar kaget sudah kosong dan bersih ketika jam menunjukkan pukul 3 sore dan karena belum terlalu padat pengunjung—biasanya mereka makan dulu baru lihat-lihat. Namun, beberapa minggu lalu, setelah saya mengendap-endap keluar unit mumpung anak-anak masih tidur hendak menuju pasar kaget, kagetlah saya. It’s gone! Bahkan tenda-tendanya pun tak ada. Apakah karena hari itu hujan? Ah, tapi kan biasanya tenda sudah dibangun pada malam minggu.


Dengan kecewa tak membawa satu kresek plastik pun, saya tanya ke teman sekaligus tetangga. Oh rupanya sudah beberapa minggu pasar kaget tidak beroperasi bahkan lokasinya dijaga oleh Satpol PP. Kenapa oh kenapa?



Walau saya termasuk orang yang taat aturan, tapi saya kehilangan pasar kaget. Pasalnya di sana menyediakan barang-barang murah. Yah ibarat ITC pindah lah. Soalnya PGC saja masih lebih mahal daripada ITC Kuningan. Dan masih banyak barang-barang pasar. Di sini memang dekat pasar, tapi jalan ke sananya horor, ituloh motornya seliweran ga jelas. Kalau di pasar kaget kan agak steril. Dibilang agak karena suka ada saja motor (teteup ya motor) nyelip-nyelip lewat situ. Entah pedagang entah penghuni di belakang komplek DPR. Mau fashion murah meriah, ada. Kapan lagi bisa beli celana main anak-anakseharga Rp5000,-? Atau frame ala minimalis Rp10000,-? Atau Rp8000,- bisa pilih dua jenis mainan. Mau yang second juga ada. Biasanya yang bermerk. Atau bisa nemu mahasiswa buka koper sambil jualin bajunya. Hery saja, yang minimal beli baju kudu di distro, malah nyari kemeja kerja di sana. Ketemu lagi. Sedangkan untuk baju anak-anak update bingit, malah jadi susah kalau sedang mencari kaos bergambar karakter yang sedang tidak populer. Semisal, demam angry bird, di mana-mana gambar burung. Beberapa bulan kemudian berganti demam minion, pasar kaget tetiba cerah. Kuning semua, bo! Atau ketika booming Hello Kitty, pinky poll deh! Kaya sekarang nih, frozen aja lagi, susah mau cari baju cowo jadinya. Padahal nunggu tema Big Hero 6 ada kek yang nongol.


Pasar kaget sendiri sempat happening banget tahun lalu. Ketika bulan ramadhan, pasar kaget tidak hanya buka sejak minggu pagi, melainkan sejak Sabtu sore hingga Minggu sore. Sayangnya saya baru tahu beberapa hari menjelang lebaran, hahaha .... godaannya ....


Bukan hanya fashion murah dan jajanan, pasar kaget juga menyediakan hiburan lain. Ada arena bermain kecil-kecilan, mandi bola dan kereta rute mini alias muter-muter doang juga ada. Penjual ikan saja mampu menyedot kerumunan anak-anak karena mereka bisa ambil sendiri ikannya dengan tongkat jala di kolam karet ukuran kecil. Binatang juga dijual di sana, tapi saya malah ga tega lihat anak ayam dan keong diwarna-warniin. Kalau sudah sumpek di dalam pasar kaget tapi masih ingin main, nah naik delman gih. Ada yang mangkal di sana. But again, enak pagi, kalau sudah siang kasihan kudanya jadi ikutan ngantri macet.


Macet? Oh iya. Tapi bukan macet karena orang jualan di pinggir jalan, karena area jalanan protokol bersih. Hanya saja saking banyaknya yang datang, jadi ya mobil harus melambatkan laju untuk penyeberang jalan (Cuma di satu spot juga bisa nyebrangnya) dan angkot yang sengaja lelet buat ambil penumpang. Parkiran? Awalnya motor banyak diparkir di pinggir jalan, tetapi kemudian ditertibkan akhirnya semua motor harus parkir di area kosong di samping kali. Masih macet juga. Padahal ga banyak mobil parkir loh. Seperti yang saya bilang sebelumnya, pasar kaget mungkin banyak dikunjungi penghuni Kalibata City dan sekitarnya, jadi ga perlu mobil, tinggal jalan kaki (atau naik motor).


Ah, saya harap pasar kaget dibuka lagi.  Soalnya lagi menata ulang kamar anak. Mau beli walldeco stiker yang Cuma rp15000,- an itu (emang sih di pasar gembrong ada, tapi ke sana kan pakai ongkos, cuy) sama sprei anak-anak yang gambarnya lebih cepat updatenya ketimbang toko online. Hmmm ... kira-kira hari sudah buka belum, ya?


#kangen

Sabtu, 23 Agustus 2014

Amy’s Story: Edukasi Finansial Sejak Dini

Bicara soal edukasi finansial sejak dini, saya memiliki perbedaan pendapat dengan ibu saya, walau reputasinya sebagai pengelola keuangan rumah tangga belum ada tandingannya. Bagi ibu saya, yang terpenting adalah makan, agama, kesehatan, dan pendidikan. Hiburan tidak termasuk di dalamnya.
Ini mungkin sedikit curahan hati saya sewaktu kecil. Pada zaman saya dulu, saya lah anak pertama yang akhirnya diberi uang jajan. Padahal saya bungsu loh. Kok bisa begitu? Soalnya sering kejadian saya menggunakan uang untuk membeli buku pelajaran untuk jajan dan akhirnya ketahuan saat pembagian rapor.

Uang jajan saja tidak cukup, kebutuhan pergaulan saya menuntut uang jajan lebih banyak. Dan itulah yang membuat saya menggunakan uang milik sekolah yang saya simpan sebagai bendahara saat duduk di bangku menengah. Jika sudah saatnya pengumpulan uang ke guru, saya biasanya akan men’catut’ nominal uang yang saya minta dari orangtua saya dengan dalih kegiatan sekolah. Parah, kan. Saya sudah korupsi sejak dini.

Ketika saya menginjak usia 17 tahun, barulah saya mendapat akses untuk mengambil uang di tabungan saya. Sebelumnya hanya mama saya yang bisa melakukannya. Setiap bulan, beliau mengisi tabungan anak-anaknya selama bertahun-tahun. Hebat betul ibu  saya ini. Namun itu ternyata tidak cukup menggugah hati saya. Tabungan bertahun-tahun itu ludes dalam waktu sebulan.

Beranjak dewasa, saya mempelajari beberapa hal bahwa kebutuhan setiap anak berbeda-beda dan bisa jadi belum ketahuan bentuknya jika tidak mendapatkan pengalaman yang kaya. Sebagai generasi kelahiran ’80-an, saya hidup ketika pergaulan termasuk kebutuhan utama. Sekilas memang tidak penting, tetapi sekali lagi kebutuhan anak berbeda-beda. Berkawan meningkatkan kepercayaan diri saya di tengah dominasi orangtua dan kakak-kakak saya. Dan berkawan, pada awalnya membutuhkan uang. Dan menguasai uang itu bukan hal yang mudah.

Hal itulah yang mendorong saya mengajarkan anak tentang mengurus uang sejak dini. Saya sendiri masih banyak kekurangannya. Saya beralasan, saya tidak pernah benar-benar mengurus uang di usia dini. Oleh sebab itu, saya ingin anak-anak saya tidak norak saat dewasa dan memiliki penghasilan sendiri. Ibu saya memang menjelaskan sejak dini soal pentingnya menabung, investasi, dan lain-lain, yang tidak beliau ajarkan adalah praktik langsungnya. Ya, teori tanpa praktik itu akan memberi hasil yang tidak sempurna.  Godaan uang di tangan itu sangat .... silahkan isi sendiri deh.

Anak-anak saya kini berusia di bawah lima tahun. Pada si kakak yang berusia 4 tahun, sedikit-sedikit saya ajarkan konsep uang dan belanja. Dia sih sangat bersemangat menabung, belum memiliki ketertarikan khusus soal konsep nilai uang. Uang baru terasa bernilai baginya saat saya ajak dia ke arena bermain yang menggunakan koin. Arena bermain yang bising ini biasa ada di mal. Kenapa lebih mudah di sini, karena fisik koinnya mudah dihitung bagi anak yang baru mengenal angka.

Awalnya saya yang membeli sendiri koin tersebut. Tentu saja koin itu habis dalam sekejap. Dan si anak akan merengek minta lagi dan lagi. Kesal dengan perilaku tersebut, akhirnya saat hendak membeli koin, saya keluarkan lembaran uang saya dari dompet.

“Lihat, ini Amy keluarin uang Rp10000,-. Nih, uang Amy jadi tinggal dua lembar, rp10000,- dan Rp20000,- Coba kamu lihat dapat berapa koin.” Saat itu anak saya sudah tahu angka, belum tahu nilai, tapi dia yakin bahwa yang huruf depannya 1 itu jumlahnya lebih sedikit dari yang huruf depannya 2. Kebetulan saya tidak ada lembaran Rp100000,-

Setelah menukar uang dengan koin, saya perlihatkan jumlah koinnya. Saya suruh dia menghitung dan menghitung kembali usai dibagi dua dengan adiknya. Saya biarkan dia memegang koinnya dan memilih permainan yang dia suka. Dan ketika koinnya habis, saya selalu biasakan hanya mendapat satu kali jatah nambah alias beli koin lagi. Kalau masih penasaran dan Amynya sedang malas, boleh tambah lagi tapi diambil dari uang tabungannya.

Awalnya dia masih rungsing karena cepat sekali koin bergelontor. Terlebih jika jumlah tiket yang didapat tidak cukup untuk ditukar dengan apa pun.

“Ya, kamu sih kebanyakan pilih mainan yang ga dapat tiket.”

Anak saya itu memang lebih suka menaiki mobil-mobilan goyang-goyang ketimbang atraksi yang lain. Saya pun tidak selalu menggiring ke permainan yang mirip dengan judi.

Dan setelah beberapa kali, dia pun kemudian memilih mainan dengan kesadaran penuh berapa koin yang akan habis dan tidak merengek saat koin itu habis pun setelah ditambah. Dia pun tidak terlalu peduli dengan tiket, malah lebih bersemangat kala mengumpulkan tiket itu ke dalam tas saya. Opsi kedua yang melibatkan uang tabungannya pun nyaris tidak pernah dia ungkit.

Atau ketika harus memilih antara permainan koin dengan softplay area berbayar. Biasanya saya akan jelaskan, jika ingin berada di wahana permainan koin berarti hanya sebentar waktu yang dihabiskan. Berbeda jika bermain di softplay area berbayar. Dan itu pun dikorelasikan dengan jumlah waktu yang sejatinya hendak kita habiskan di mal. Jangan ketika akan segera pulang dalam 15 menit, malah memilih softplay area berbayar. Rugi, dong. Biasanya perundingannya agak alot.

Permainan atau hiburan memang boleh dinikmati sesekali, tetapi tidak jarang orang yang menyadari bahwa itu hanya perlu dilakukan sesekali setelah mengalami kesulitan finansial usai kecanduan hiburan. Bagi saya, lebih dini proses terperangkapnya lebih awal pula fase merangkak naiknya. Tahu kan, pengalaman adalah guru terbaik. Intinya yang hendak saya sampaikan adalah, orangtua akan berusaha memfasilitasi kebutuhan pergaulan anak-anak (dengan prioritas yang nyaris sama dengan kebutuhan utama) tentu dalam jumlah dan batas usia yang disepakati. Namun, pada akhirnya tingkat kesenangan itu bukan diukur dari jumlah uang yang dihabiskan melainkan seoptimal apa uang yang ada berubah menjadi keriaan. Dan itu didapat dari pengalaman dan kedewasaan. Untuk yang satu ini, beda orangtua beda pendapat yaa ....


Toh, jika umur masih panjang, pendidikan soal finansial pada anak-anak ini akan terus berambah dan berubah bentuk seiring waktu. Anak-anak sejatinya akan semakin kritis dan bisa jadi mereka akan memprotes pilihan metode saya. I guess, PR saya masih banyak.