Selasa, 12 Agustus 2014

Setelah 10 Tahun Tsunami Aceh


Mata saya terpaku pada satu berita. Berita yang berbeda di antara tajuk-tajuk utama lainnya. Bahkan nyaris saya lewati demi mencari berita gosip terkini, sedang bosan dengan berita politik.

Berpisah 10 tahun, Seorang Anak Korban Tsunami Bertemu Kembali dengan Keluarganya.

Ada semacam gelembung-gelembung aneh bersahutan di dada saya. Hendak memunculkan sesuatu, sebuah kotak Pandora.

Saya bahagia membaca kabar itu, tetapi di lain sisi berita ini juga turut memberikan reaksi campur aduk bagi para orangtua korban tsunami lainnya. Harapan yang telah mereka akhirnya sepakati untuk dikubur. Mimpi para orangtua yang kehilangan anak (anak)nya pascatsunami.

Saya teringat kakak sepupu saya. Saat berita tsunami sampai di telinganya, dia segera memicu mobilnya dari Lho Sukon menuju Ulhe Lhee. Menuju tempat adik beserta suami dan anak-anaknya. Terlebih lagi, menuju tempat yang sama dengan tempat anak perempuannya dititipkan untuk sekolah. Saya tidak bisa membayangkan mana yang lebih dipikirkannya, adiknya atau anaknya. Semuanya adalah keluarga tercinta.

Tiba di Ulhee Lhee langit Aceh gelap gulita. Dengan berbekal senter, kakak sepupu saya itu meninggalkan suaminya yang terpukul, ditemani abangnya yang turut menitipkan anaknya di rumah adiknya, mencari ke lokasi. Melewati puluhan bahkan ratusan anak yang terlihat linglung. Menggenggam satu foto anaknya. Setibanya di sana, rumah sang adik sudah terkubur. Rumah yang tak jauh dari tepian pantai itu, rata dengan tanah. Si abang menemukan sebuah mayit wanita dalam keadaan tersangkut. Hanya kakinya yang terlihat. Dan dalam perihnya dia merasa itulah kaki sang adik. Dibersihkan kaki itu dan berdoa. Dia tengah melepaskan keterikatannya dan ikhlas.

Sementara kakak sepupu saya masih mencari. Ada sebutir asa mengganjal di relungnya ketika beberapa orang mengatakan melihat anaknya dalam keadaan kaki terluka di pinggir sungai. Namun, ketika dicari ke sepanjang sungai, tidak ada yang dicari. Hilang adalah sebuah keambiguan ketika harus bertemu dengan kata kematian. Kematian berkaitan dengan aktivitas mandi jenazah, menshalatkan, dan kemudian menguburkan. Tetapi kini, apalah yang harus dilakukan? Anaknya hilang seperti jasad ampuneknya  yang hilang usai diculik saat konflik kemerdekaan. Tak ada kuburan yang dapat diziarahi. Semuanya gaib.

Entah berapa lama, malam-malam sunyi kakak sepupu saya berkecamuk . “Masih hidup kah anak saya?” Imajinasinya tak mampu membayangkan jika anaknya termasuk dari anak-anak yang digiring orang-orang jahat. Hingga akhirnya terucaplah kalimat yang tak kalah mengoyak, “Lebih baik anakku mati daripada hidup dalam kesengsaraan.”  

Bagi para ibu, kehilangan anak adalah kehilangan hampir seluruh organ tubuhnya. Toh, dia harus bangkit, karena masih ada dua anak yang masih hidup. Dan mengubur harapan bahwa anaknya masih hidup adalah salah satunya.

Dia tidak sendirian. Ratusan ribu orang mengalami hal yang sama. ‘Bangkit’ adalah satu-satunya pilihan bagi masyarakat Aceh. Puluhan tahun menjadi wilayah konflik, daerah istimewa ini semakin terlihat tidak istimewa. Suatu daerah ketika tak ada perkembangan di segala aspek. Kata ‘berkembang’ mungkin terdengar asing untuk sebuah ‘kata kerja’ bagi mereka. Puluhan tahun, mereka hanya bergulat dengan kata ‘bertahan’ dan ‘berjuang’.

Sejarah peperangan di Aceh masih sangat dekat dengan keadaan saat ini. Maklum, Aceh adalah salah satu daerah terakhir yang berhasil diduduki Belanda. Kami ‘hanya’ mengalami beberapa puluh tahun penjajahan. Konflik yang terus ada sejak kemerdekaan Indonesia pun membuat masyarakat Aceh sejatinya tidak takut mati jika harus berhadapan dengan bedil. Namun ketika bencana alam menghantam mereka, mereka pun bingung bagaimana harus bertahan.

 Bagi masyarakat Aceh, daerah pesisir adalah pusat peradabannya. Dan ketika alam turut menghabisi pusat peradaban itu secara harfiah, jadilah Aceh bak sebatang kayu yang kehilangan akar. Akankah ia mampu tumbuh lagi?


Bencana datang bak ‘bencana’ kecil bagi saya ketika tiba-tiba kehilangan seluruh data di komputer akibat virus. Yang bisa kita lakukan hanyalah mengumpulkan yang tercecer dan mulai merakit kembali. Mungkin tidak seperti rencana awal, tetapi menuju hasil yang lebih baik.


Ketika orang-orang dari berbagai daerah hingga negara berlomba-lomba datang ke Aceh, saya hanya termangu. Apa yang dapat saya lakukan? Seseorang yang memiliki darah Aceh tetapi tak sekalipun pernah menginjak tanah Serambi Mekah itu. Seseorang yang hanya mendengar Aceh dalam cerita-cerita kepahlawanan buyut saya. Toh turut lemas seluruh badan saat melihat foto udara daerah pesisir Aceh pascatsunami. Saat titik-titik seperti semut itu adalah sebagian kecil dari ribuan mayit yang terhampar di tanah Aceh dan sejak saat itu saya menolak segala pemberitaan tentang hal itu. Saya merasa tengah menjadi tabulasa hampa berlabel Aceh. Anak Aceh gadungan. Ucapan terima kasih saya pada kawan-kawan yang sempat menjadi relawan di Aceh menjadi tamparan bagi saya sendiri. Apa yang sudah saya lakukan?

Tetiba saya teringat sesuatu. Kuraih secarik foto dari laci saya. Foto seorang gadis remaja tengah memetik buah. Saya teringat pernah memegang foto keponakan saya yang hilang itu. Di belakang foto ada secarik kertas lain, sebuah surat. Konon dikirim oleh si anak itu. “Terima kasih telah memberikan dana ke *** Children’s Village.” Adalah satu dari kalimat lain yang tertera di sana. Rupanya dia adalah salah satu anak yang mendapat bantuan program perlindungan anak pascabencana. Program yang turut didukung secara global oleh Angelina Jolie. Kini, menjuarai kejuaraan taekwondo dan masih menggantung banyak cita-cita lain.


Saat menerima surat ini, awalnya saya hanya biarkan di pojok lemari rias saya. Tidak terbuka, karena saya tahu itu adalah pelaporan terkait ke mana dana yang saya alirkan setiap bulan. Saya pikir, yah sudahlah, toh waktu itu juga karena tidak tega menolak relawannya di mal. Setelah sekian lama dan tiba waktunya merapikan lemari rias saya itu, saya iseng membuka surat itu. Dan ketika membacanya saya merasa tengah terhubung dengan sesuatu. Tak pernah terbayangkan jika dana kecil itu akan tiba di Aceh. Dan surat itu seolah mengatakan, “hei, kamu bisa melakukan sesuatu untuk Aceh. Tempat sebagian darahmu mengalir.”  

Bencana memang telah meninggalkan sebuah luka di hati saya, memang tidak sedalam mereka yang mengalaminya secara langsung, tetapi ternyata luka itu membuka sebuah lubang yang berisi sebuah mandat. Mandat yang sudah ada sejak saya lahir ke dunia,  bahwasebagai salah satu anak Aceh bahwa saya turut bertanggungjawab berperan serta dalam pembangunan masyarakat Aceh sebagai daerah yang kental keagamaan dan kebudayaannya, daerah yang maju sumber daya manusia juga alamnya. Mandat yang sudah hampir saya lupakan karena sempat merasa tak pernah benar-benar terikat dengan Aceh. Saya sejatinya tidak boleh menyerah. Seperti kakak sepupu saya yang tidak menyerah dengan hidupnya. Saya yang tidak kehilangan apa pun seharusnya mampu melakukan lebih dari itu. Dan tulisan ini adalah salah satunya....


#10ThnTsunamiAceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar