Jumat, 03 November 2017

JJS: Ditinggal Suami Demi Sunrise di Dieng


SUNRISE di DIENG
Photo Credit FB @herysogirkuswahyo


“Kamu tahu ga kenapa aku ajak ke sini?” tanyanya tiba-tiba di tepi telaga Cebong.
“Ga,” aku melengos karena masih teringat rasa kesal semalam.
“Karena pertama kali aku dibawa ke gunung ya ke sini sama ibu.” Lalu raut merindu itu pun terlihat.


Sejak pertama kali ide ini dicetuskan oleh suami, saya agak-agak merasa tidak adil. Memang tujuan utamanya ke Dieng, tapi itu berarti tetap mampir ke Purworejo, kampung kedua orangtuanya dan tempat mereka dimakamkan. Bukan apa-apa sih, masalahnya ini sudah kali kedua kami ke Purworejo, sedangkan kampung mama papaku belum pernah dipijak satu kali pun. Dan ini sudah 9 tahun pernikahan. Terbayanglah saya kalimat-kalimat mama yang sudah bisa ditebak kalau beliau tahu saya ke sini. Maklumlah ya, namanya berkeluarga pasti kalau mau berkunjung jadi memikirkan apakah adil atau tidak ke orangtua.


Namun, begitu melihat ada seorang anak yang tengah merindukan orangtuanya plus dengan kenangannya, masa iya mau marah lama-lama. Sambil berdoa dalam hati, semoga disegerakan ada rezeki bisa ke kampung orangtua saya di Sumatera Barat dan Aceh. Demi menyenangkan orangtua.


Butuh dua jam untuk mencapai daerah Dieng dari Purworejo, area pegunungan yang semakin naik jalannya semakin jauh pandangan ini melihat tebaran ladang kentang di kiri kanan mobil.


Menara pandang Dieng menuliskan posisinya di ketinggian 1789 m dpl. Di situlah lapis pertama jaket anak-anak (dan saya) dipakai. Sekadar mencicipi mie ongklok dan french fries khas Dieng untuk pertama kali. Menara pandang itu sedang pembangunan di sisi-sisinya, mungkin di saat-saat tertentu spot itu banyak dicari oleh para wisatawan.  Mau beli perlengkapan dingin di sini juga murah meriah.





Kabut mulai turun sehingga kami bergegas kembali ke mobil sebelum jalanan tertutup kabut. Wajar jika harus berhati-hati, jalanannya selain berkelok-kelok pun sempit dan truk atau bis berlalu-lalang.


Saat tiba di area kota, hujan rintik-rintik, menambah rimbun kabut-kabut yang mengambang di sekitar mobil. Saya yang jarang-jarang ketemu kabut pun menyempatkan berfoto. Jaket lapis kedua pun dipakai.




Kawasan Candi Dieng merupakan tujuan kami selanjutnya. Di dalam kawasan ini, ada beberapa candi, salah satunya belum selesai dibangun ulang karena ada satu baris bagian yang hilang. Kawasan ini menyenangkan karena tertata rapi, seperti taman. Walau kami masuk dari bagian belakang yang agak mencurigakan gitu jalannya, tapi begitu sudah masuk kawasan, terlihat cukup terawat. Anak-anak bebas berlarian ke sana ke mari sambil menghangatkan tubuh. Sementara suami sibuk mengambil gambar. Sinyal internet juga cukup bagus di sini, sehingga keponakan yang turut ikut bersama kami sempat-sempatnya update status.






Ada beberapa kawasan candi di Dieng, tapi tidak seluas kawasan Candi Dieng.


Setelah pembelajaran perbedaan agama dan keyakinan singkat pada anak-anak dari tur candi ke candi, maka berlanjut ke pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Saatnya mengunjungi kawah.

Foto pakai masker di samping kawah Sikadang ternyata bisa bagus juga



Walau penampakan depannya agak kurang meyakinkan, tapi kawasan Kawah Dieng Sikidang ini cukup sadar bahwa perlu menambah pengalaman bagi para wisatawan yang datang. Daerah sekitar kawah dipagari kayu, sedangkan di sana sini dibuat berbagai spot foto. Hanya saya bingung kenapa temanya harus romansa ya? Kawasan ini kan agak-agak berbahaya tapi ‘love’ di mana-mana ^^ Dengan masker yang sudah dibeli sebelumnya, aroma kawah ini memang kuat. Panasnya juga dimanfaatkan untuk merebus telur dan kemudian dijual. Hmm ... memangnya beda ya rasanya?


Kawah yang beberapa bulan lalu pernah meledak, Kawah Sileri pun kami datangi. Ketika kami datang berselang beberapa minggu sebelumnya juga meledak untuk pertama kalinya. Ada yang aneh ketika kami dalam perjalanan ke sana. Area kawasan Sileri letaknya jauh dari kota. Ladang luas atau pembangkit gas di kiri-kanan, lalu tiba-tiba ada waterpark. In the middle of nowhere. Dan itu berseberangan dengan kawah Sileri. Waterparknya besar juga, makanya terlihat canggung. Apa berenang di situ airnya hangat?

Kawah Sileri. Tidak sebesar sikadang tapi auranya bikin deg-degan ngeri.



Berbeda dengan kawah Sikidang, kawan Sileri ini malah terlihat seperti kawah mencurigakan. Tanah yang kami pijak semakin lembut seiring bertambah dekatnya kami ke tepi kawah. Tidak ada pagar kayu di sana. Begitu mulai terlihat tanah yang menghitam, saya meminta anak saya berhenti melangkah. Ngeri juga sayah hehehe ...


Dan tak butuh waktu lama, kami pun bertolak ke desa tertinggi di Dieng, desa Sembung.

Dieng. Di mana-mana kentang.



Mobil kami diberhentikan di depan gapura. Azan magrib berkumandang, langit sekejap menjadi gelap. Kami tidak bisa masuk ke penginapan yang dituju karena akan dilaksanakan hajatan alias ada panggung yang memblokir jalan. Para penjaga di sana mencarikan penginapan yang memungkinkan untuk kami pakai. Dan kami pun menunggu dalam balutan jaket dan sarung tangan. Kini dinginnya bukan main-main.


Akhirnya dapat juga kami satu rumah. Karena memang tidak bisa ke mana-mana juga, maka fokus kami adalah makan dan tidur. Terbayang harus bangun pagi-pagi sekali besok demi mengejar matahari terbit. Tapi dasar saya yang memang sulit tidur pulas di perjalanan, saya terbangun di tengah malam dan mencari makan malam yang memang sengaja saya minta dilebihkan belinya ke suami. Bolak-balik saya mencari, lalu saya tanya ke suami, eh sudah dia habiskan. Duh ... dingin-dingin begini ga ada makanan berat? Apalagi perut itu letaknya dekat sama hati, jadi kalau perut lapat, emosi pun menumpuk. Yah sudahlah, terpaksa tidur dengan perut minta-minta makan, membayangkan pecel ayam dan nasi hangat yang semalam dimakan. Dan dalam keadaan setengah tidur itu yang dipaksa-paksakan, saya lihat suami sibuk mondar-mandir dengan perlengkapan dinginnya lalu kemudian keluar kamar dan penginapan itu hening hingga waktu yang lama.




Saya terbangun dan usai shalat keluar kamar. Ternyata ... Ga ada siapa pun di luar kamar!


Rupanya suami, sepupu, dan keponakan sudah bertolak menuju Bukit Sikunir demi mengejar matahari terbit. Oke lah, bung .... Kita ditinggal .... Pasti ga mau disuruh gendong bocah dua tahun sambil hiking kan? Galau sih mau nyewa baby carrier .... Dan sekarang kami Cuma diminta senyum-senyum saja mendengar cerita mereka melihat sunset yang menurut suami agak berawan dan telat munculnya.


Toh, anak-anak disempatkan juga mampir ke Telaga Cebong yang merupakan kaki bukit Sikunir. Sepertinya warung-warung di sana hanya buka saat jelang matahari terbit untuk para wisatawan, karena ketika kami tiba, semuanya tutup. Di sekitar Telaga ada beberapa kemah di sana, wedew .... ga usah dibayangkan deh dinginnya kaya apa semalam. Kayanya hanya penyanyi dangdut yang joget di panggung semalam saja yang tidak merasakan menggigitnya hawa malam kemarin.

Telaga Cebong di Satu Sisi

Telaga Cebong dari Sisi Lain



Telaga Cebong ini ga ada yang spesifik sih, tamannya belum ditata, tapi kalau mau bengong-bengong sepi, di sini cocok. Suasananya quite, telaganya tenang. Kalau saya lebih lama di sini mungkin sudah dapat banyak ide tulisan.


Lihat degradasi warna di telaga Warna



Usai menyerahkan kunci penginapan, kami meroda hingga ke Telaga Warna. Sayang saya tidak turun karena si bayi tidur. Lagian saya buta warna, jadi agak sulit merasakan keindahan telaga yang konon memantulkan tiga warna yang berbeda. Sepertinya sudah di tahap Let It Go, yang penting suami senang. Kasihan kan sudah jadi pencari nafkah utama dan satu-satunya, tapi ga boleh menentukan sendiri mau liburan ke mana? Maklumlah, aslinya anak outdoor, jadi bertahun-tahun ga naik gunung tentu rindu juga .... Yah semoga semakin semangat menjalani hari.


1 komentar:

  1. Ini baru namanya Wonderful Indonesia...
    Gak heran suaminya ninggalin mbaknya, sunsetnya emang keren bgt Mbak

    BalasHapus