Rabu, 22 November 2017

RABUku: Mengumpat Seperti Kapten Haddock


Pada adegan pertama lafaz itu disebut, saya menoleransi dengan berseloroh dalam hati. Mungkin seperti ketika seorang artis dikonfirmasi keterlibatannya dalam sesi foto di majalah Playboy Filipina, “iya, insya Allah, eh insya Allah ... “
Adegan kedua lafaz yang lain disebut lagi, saya toleransi lagi sambil membayangkan film Godfather, mafia yang tak jarang berdoa. Mungkin yang bikin film lebih dekat hubungannya dengan film-film seperti itu. Dipikirnya sama.
Begitu adegan ketiga dan serangkaian lafaz diucap berulang-ulang, saya mulai suudzon. Dan akhirnya mencoba mundur jauh karena ga baik menilai dalam keadaan berprasangka buruk.

Tokoh antagonis di media anak-anak sering membuat saya serba salah. Ketika anak-anak disuguhkan film nabi-nabi dan adegan perang, kata-kata “bodoh”, “mati kau”, dkk bertebaran. Dan ketika anak-anak melakukan reka ulang, kuping saya jengah rasanya. Kan aneh ya kalau saya membuat pernyataan bahwa anak-anak belajar penggunaan kata umpat dari film nabi-nabi.

Lalu muncullah film musikal anak-anak ini. Saya sih bukan pengamat film, hanya ibu-ibu biasa yang tahu jika seandainya waktu itu yang dibawa nonton adalah kakaknya, maka akan banyak protes yang dia lontarkan lalu aminya harus spare waktu itu meredakan emosi si anak dan meluruskan dugaan-dugaan dia yang seringkali terlalu imajinatif. Maklum, kejadian ini bukan hal baru bagi saya. Ini seperti ketika anak-anak bertanya, “ami, kok orang itu Islam tapi ga tutup aurat?” mereka belum dengar aja orang-orang yang menggunakan “jing” sebagai awalan atau akhir kalimat ^^ Hanya saja, bagi saya, jika memang bukan diambil dari kisah nyata, bacaan atau tontonan anak-anak itu lebih menyenangkan jika clear dari praduga dan stereotipe buruk.

Dalam menikmati kesustraan anak, Saya lebih tertarik dengan cara Kapten Haddock mengumpat, walau sosoknya agak antihero karena suka mabuk dan merokok tapi pilihan kata umpatannya legendaris, baik dalam bahasa aslinya atau saat penerjemahannya, yang prosesnya sama-sama ga mudah. Ada semacam intelektualitas linguistik karena sadar pasarnya adalah anak-anak. Sejuta topan badai, kepiting busuk, dkk itu masih terasa lucu saat direka ulang di bibir anak-anak.

Sedangkan untuk tokoh antagonis, saya lebih suka yang ga murni antagonis. I mean, setiap orang kan pasti ada sisi menyebalkan tapi bukan berarti jahat, karena 'jahat' itu kata yang tajam, kebayang kan perasaan Rangga? Begitu juga dengan peran jagoan,  ga harus yang jadi ketua kelas dan menang lomba marching band dan sains (seimbang yak otaknya ^^), tapi yah mungkin jadi ga seru ya filmnya hahahaha ...

Nah, kan ga mudah bikin kalimat yang bebas praduga kaya gitu. Makanya saya maju mundur dengan naskah cerita anak ^^ (alasan). Mungkin karena saya juga masih terperangkap dalam stereotipe buruk (sedih). Semoga yang terjadi menjadi dorongan bagi kita berkarya yang lebih baik ya ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar