Apalah lagi puncak petualangan seorang bumil selain daripada
proses melahirkan. Proses yang mengubah status bumil menjadi busui jika segala
sesuatunya lancar. Adalah suatu subuh di hari Jumat, saya terbangun dan
kemudian beser sebelum masuk kamar mandi. Yang terpikir oleh saya saat itu, “wah
kejadian kaya waktu Safir, niy.” Namun kemudian the other me bilang, “ah masih
pesing kok baunya, berarti bukan ketuban.” Dan kemudian dijawab lagi oleh yang
lain, “Kalau air seni mah ga sebanyak ini keles.” Dan selagi dua jati diri saya
itu berdebat, saya meneruskan kegiatan sehari-hari di pagi hari hingga siang
menjelang, dan saya pun meragu. Saya sendiri juga antisipasi jikalau memang itu
ketuban, maka saya banyak-banyak minum air putih. Waktu Safir dulu sempat
tertelan ketuban yang sudah berubah warna itu.
Setelah makan siang, saya ajak anak-anak main di bawah. Hari
itu memang tidak ada jadwal ke Gen Cerdik, makanya baru turun ketika siang.
Saat anak-anak main, saya pun chatting dengan teman saya yang juga tetangga.
Saya jadi makin ragu. Saya ungkapkan ingin USG di klinik ibu dan anak yang ada
di Kalibata City saja, mengingat waktu itu kan hari Jumat, perjalanan ke RS
Tambak itu rasanya jauh sekali. Diteleponlah si klinik oleh teman saya, rupanya
tidak ada dokter dan bidan yang stand by. Bah, dengan ribuan penghuni di sini
masa ga ada dokter or bidan yang standby (belakangan saya baru tahu bahwa
ternyata ada loh yang melahirkan di unit). Dan karena teman saya juga bumil,
tingkat pressure lebih tinggi untuk segera memeriksakan kandungan apakah memang
pecah ketuban atau tidak. Saya sms dokter Botefilia, dan beliau juga
menyarankan segera periksa ke RS Tambak.
Waktu sudah hampir jam 3, pasti macet banget. Ortu masih di
luar Jakarta. Suami masih di kantor (masih syukur ga lagi di luar kota juga).
Skenario yang sudah saya siapkan buyar semua. Akhirnya saya buat anak-anak
tidur siang, saya sms abang saya untuk datang ke Kalibata City, dan ketika
anak-anak tertidur, saya turun sudah ada abang saya dan serah terima kunci,
lalu saya pun ke RS Tambak. Naik ojek. Tenang, ga lagi extreme game kok, ini
karena saya ga mulas saja. Walaupun teman saya sudah menawarkan diri untuk
mengantarkan saya ke RS Tambak, tapi yah biar cepat saja. Macet, bo!
Di RS Tambak
Setibanya di sana awalnya berjalan sesuai prosedur; rekam
jantung, cek ketuban, lalu periksa dalam. Hasilnya positif ada yang rembes,
tapi ketuban masih ada. Pembukaan yang belum ada. Dokter Bote yang datang
menjelang magrib pun kemudian memutuskan untuk induksi. Hery sudah datang saat
itu, kebetulan sedang rapat di daerah Senayan, jadi ga terlalu terjebak macet. Sementara
menunggu suami, saya berkoordinasi dengan kakak perempuan saya. Dengan sok
tahunya, saya katakan mungkin akan lahiran malam ini, jadi Hery bisa pulang
besok pagi dan menemani kakak saya mengurus dua bocah yang kehilangan induk. Kebetulan
abang saya ada pelatihan keesokan paginya jadi hanya bisa menemani keponakannya
hingga subuh.
Lucunya, tiba-tiba ibu saya telepon. Saya pikir, apa beliau
sudah mendapat update facebook saya? Rupanya mama telepon awalnya untuk
memberitahu anak-anaknya di Jakarta bahwa mama papa hari itu akan terbang dari
Inggris ke Belanda lalu keesokan harinya terbang kembali ke Jakarta.
Diteleponlah sesuai urut lahir, ketika menghubungi abang saya ternyata tidak
nyambung, kata abang tertua saya yang di Inggris mungkin ada di rumah saya,
jadilah telepon ke saya. Eh malah dapat kabar sudah di rumah sakit. Hehehe ...
Lalu kemudian segala sesuatu berjalan lambat. Induksi yang
tadinya diputuskan dipasang saat magrib, malah baru tertancap pukul 9 malam.
Katanya saya disuruh makan dulu, eh makanannya lama bingit datangnya. Dan ga
tahu ya, apa karena faktor U atau gimana, tapi toleransi sakit saya kok menurun
ya. Ketika pasang infus biasanya saya ga harus menahan nyeri, tapi waktu itu
bahkan harus tiga kali tusuk baru dapat jalurnya dan rasanya kok sakit ya?
Belum lagi sekarang ada suntikan tambahan, tes alergi, dilakukan di bawah kulit
dan rasanya amboy panas dan pedih.
Tetesan infus memang sengaja dilambatkan karena rahim saya
ternyata belum membuka, tapi kemudian setelah lama tidak merasakan mulas dan
saya tidak bisa tidur juga hingga tengah malam, saya menyadari bahwa infus saya
tidak menetes sama sekali entah sejak kapan. Susternya pun jarang menengok.
Saya bingung. Sepi sekali di kamar itu. Padahal waktu Malika, susternya seolah
tidak berhenti melakukan pemeriksaan dalam hingga saya ilfil. Jam dua baru
datang susternya dan kemudian memperbaiki infusnya. Dan tidak periksa dalam. Baru
deh saya bisa tidur.
Seperti Melahirkan Balon
Bangun pagi disambut sarapan pukul 6. Selera makan saya
memang tidak berubah, toh mau melahirkan kan butuh energi. Usai suapan terakhir,
setengah jam kemudian, barulah mulas itu datang. Saat bolak-balik ke kamar
mandi dan berpapasan dengan suster yang selalu bertanya sudah mulas atau belum,
saya katakan sudah. Dan sepanjang acara gosip di televisi mulas itu makin
menjadi. Jam 7 suster datang dan
bertanya yang sama, saya bilang sudah mulas dari setengah jam yang lalu dan
tidak berhenti. Lalu dipasanglah alat rekam jantung dan rencananya setengah jam
kemudian akan periksa dalam. Nah, saat sedang rekam jantung itulah, saya merasa
seperti ada sedikit pup keluar. Saya katakan pada suami untuk lapor ke suster,
karena suster itu sebelumnya bertanya apakah sudah keluar lendir dll. Ketika
suami mencari suster, saat itulah ada yang sudah mendesak di vagina. O-o, ada
yang sudah mau keluar. Saya buru-buru miring. Dan ketika suster datang (itu pun
kayanya suster anak yang sedang persiapan kamar bersalin untuk operasi cesar), gelombang
mulas itu makin menjadi. Saya masih di ruang kala saat itu. “Jangan ngeden dulu
ya, bu!” Maksudnya saya disuruh tenang supaya bisa turun tempat tidur dan
pindah ke kamar bersalin.
Yeah, right. Disuruh tahan ngeden lagi gue. Manusia emang
suka kebanyakan ngatur ya? Belum mulas disuruh mulas pake induksi, giliran dah
mau keluar malah disuruh tahan, menurut lo?
Apa lacur saya tak sanggup pula, pertama-tama saya merasa
seperti ada balon menyembul dari kedua kaki saya yang terkatup. Dari teriakan
susternya, kantung ketuban saya mengembang. Ok, gue ga mau tahu deh bentuk kaya
apa. Diusap-usaplah punggung saya, dan si balon masuk lagi. Hanya bisa tenang
beberapa detik lalu yang mau keluar sudah tidak bisa ditahan lagi. Saya rasakan
lagi di kaki saya, dan saya teriak, “sudah keluar, sudah keluar.” “Oh, iya!”
suster itu berteriak-teriak memanggil seniornya, “ayo bu telentang.” Dan keluarlah
bocah itu, ditangkap seorang bidan. Tangisnya tak terdengar karena masih
terbungkus kelatup. Begitu dibuka baru deh nangis, dan dengan cepat tubuhnya
membiru karena kedinginan. Tak berlama-lama IMD, suster anak segera membawanya
ke ruang rawat bayi karena kotak penghangat belum disiapkan.
Para suster pun bahkan sempat kalut hingga bingung mau kasih
tahu dokter Bote atau tidak. Si junior berpikir, ah tak usah kan sudah OTW. Si
senior membalas, perkembangan itu harus update harus real time, kasih tahu
dokternya!
Lha, piye. Tumben niy RS Tambak.
Dan saya dibiarkan mengangkang dengan plasenta masih di
perut. Menunggu dokter Bote yang setengah berlari datang 10 menit kemudian.
Dari raut wajahnya saya tahu dia kecewa tak bisa ‘menangkap’ anak ketiga ini
dan kecewa dengan para perawat yang sudah diberitahu berkali-kali untuk segera
memberitahunya ketika saya sudah mulas karena punya riwayat cepat lahir pasca
induksi.
Tapi tenang, saya masih menyisakan banyak tugas untuk dokter
Bote. Di ruang kala itu, dokter Bote mengurusi plastenta. Melakukan jahitan
(yang terasa sakit karena tidak ada bayi yang IMD). Dan memasang IUD.
Bayarnya jadi lebih murah? Ah ga, dihitung sama kok. Entah
kenapa. Tapi yah mengingat masih dokter juga yang menangani pascalahirannya,
saya tak masalah.
Selamat Datang Panglima
Saat positif hamil lagi, saya tahu bahwa untuk anak ketiga
ini perannya adalah Panglima. Setelah Malika (si ratu), Maulana aka Safir (si
cendikia), maka selanjutnya adalah pemimpin pasukan. Dan rupanya saya baru tahu
dari Olimpiade Indonesia Cerdas ada undang-undang yang menyatakan bahwa ketika
kepala negara dan wakilnya tidak bisa menyambut kepala negara, maka selain
sekneg dan menteri dalam negeri, yang berwenang menyambut adalah Menteri
Keamanan. Nah, bener kan urutan saya?
Nama yang pertama muncul adalah Umar diambil dari Umar bin
Khattab. I always think he was totally cool. Nah, untuk yang perempuan, saya
agak bingung. Mau ambil nama panglima perempuan siapa ya? Masa, Joan, dari Joan
of Arc? Eh saya baru ingat, buat apa jauh-jauh cari nama orang beken kalau ada
keturunannya. Ya, tak lain tak bukan, buyut saya, Cut Nyak Meutia. Jelas
pejuang beneran, secara fisik, memimpin sendiri pasukannya pasca suami tewas,
bahkan sambil membawa anak semata wayangnya. Keluar masuk hutan. Nah, karena
saya tidak bisa meneruskan gelar Cut atau Teuku ke anak-anak saya, maka
penyematan nama buyut ini sekiranya dapat menjadi pengingat bagi saya dan anak
cucu saya tentang apa yang diperjuangkan para leluhurnya.
Saya kemudian berkata pada Hery, “pokoknya kalau anak laki,
pakai Umar, anak perempuan pakai Meutia. Selebihnya terserah kamu.”
Ketika sudah valid bahwa si janin adalah perempuan, barulah
keluar nama lengkap dari Hery sebagai lanjutan dari Meutia. Kamal Baiduri. “Kamal”
adalah nama datuk saya, kata Hery sih biar adil. Maklum, Ibu saya ini memang
agak kompetitif orangnya, jadi daripada nanti terjadi kecemburuan maka
dipilihlah nama “kamal”. Which is not bad. Datuk saya ini juga pejuang, sempat
aktif PRRI kalau tidak salah. Dan beliau meninggal persis di mimbar saat hendak
menyampaikan khotbah usai shalat magrib di masjid. Kata “kamal” itu sendiri
hadir di wahyu TERAKHIR yang turun, yang artinya kalau tidak salah di kisaran, penyempurna
atau disempurnakan. Lupa sayah. Nama tengah ini tadinya mau diganti sama Hery
begitu anaknya lahir. Saya mulai sebal dengan gaya plin plannya, jadi saya
segerakan pengumuman nama lengkapnya di medsos dan sms kedua orangtua saya.
Hahahah .... kalau diganti pasti nanti diambekin mama seumur hidup wakakak...
Sedangkan “baiduri” adalah nama sejenis berlian. Agak jadul
memang. Hehehe ... ya sudahlah, pada pukul 07.35 lahirlah anak ketiga kami,
Meutia Kamal Baiduri, hari Sabtu, hari TERAKHIR dalam seminggu, 18 April. Semoga
menjadi anak yang selalu dilindungi Allah SWT.
PS: fotonya ga usah yak, tak sempat daku transfer fotonya...
Subhanallah...indahnya menjadi Ibu ya, jadi kepikiran pengen cerita pengalaman 3 kali melahirkan nih..
BalasHapusSalam kenal ya, Mak ;)
salam kenal juga, mak. ah iya ceritain juga dong. tiga kali melahirkan rasanya pasti beda2 juga hehehe #usapPeluh
Hapusceritanya seru mak, sayang ga ada foto dede bayinya...soalnya pasti imut2 :)
BalasHapushehehehe sama aja kok bayi mukanya di mana2, pasti lucu2 embem gitu. iya niy soalnya foto pake kamera suami, kudu transfer dll, sedangkan nge blog cuma pake hp hehehe
Hapus