Jumat, 22 Mei 2015

JJS: Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Bandung

Tahun lalu waktu ke Bandung , ayah anak-anak sempat berencana mengajak anak-anak ke taman lalu lintas ini. Kebetulan tempat temannya menikah tidak jauh  dari sini (Baca Juga: Review Hotel: The Centrum). Hanya saja karena tidak ada cukup waktu setelah dari Saung Udjo, kami kala itu langsung ke tempat pernikahan.

Nah, karena kemarin itu jadwal anak-anak lowong banget (ke Bandung karena si suami ada kerjaan di sana, jadi ceritanya sambil nunggu suami kelar), yang terpikir untuk tempat main anak adalah taman ini. Yah, hitung-hitung ada edukasinya. Daripada ke trans studio yang kayanya banyak wahana yang belum bisa dimainin bocah-bocah ini, teruuuus mahal ajah hehehehe ....

Taman lalu lintas Ade Irma Suryani ini rupanya salah satu taman tertua di Bandung. Dan kalau lihat penampakannya dari luar, taman ini jelas butuh peremajaan karena sudah  uzur visi misinya hehehe ...
Waktu itu saya dan anak-anak, ditemani salah satu teman suami, usai rehat di Cisangkuy (Baca Juga: Lihat Dino di Museum Geologi Bandung), melanjutkan ke taman lalu lintas. Kalau di Jakarta saya mah ga berani ngajak-ngajak ke taman, pasti panasnya menyorot sekali. Mumpung di Bandung, cuacanya adem-adem, langitnya nyaris mendung, pas lah.

Harga tiket Rp6000,- berlaku mulai usia anak di atas 3 tahun. Begitu masuk, Malika sudah mencari-cari patung binatang yang dia incar sejak dari mobil untuk dinaiki. Di sana memang ada banyak sekali patung binatang dan kondisinya masih bagus dan utuh (yang sudah rusak sedikit sekali). Beberapa spot sepertinya pernah difungsikan sebagai kolam tapi kini sudah dibiarkan kosong. Jadi ketika anak-anak ingin menaiki patung kuda nil, saya terpaksa menolak karena posisinya di kolam yang rendah dan walau tidak ada airnya, tidak ada jalan turunnya. Sorry, kids.




Mainan-mainan old school juga bertebaran di sini. Banyak banget dan masih bagus. Perosotan, ayunan, jungkat jungkit, panjatan, dll. Biasanya kan mainan dari besi begitu sering terlihat sudah patah di sana-sini. Makanya banyak yang beralih ke mainan dari plastik. Mungkin mereka punya tukang las langganan, jadi biaya perawatan ga mahal-mahal amat.



Setelah menaiki beberapa binatang, kelihatan deh ada semacam komidi putar. Namanya gajah terbang. Bayar tambahan Rp5000,- per orang dan naik deh. Usai berputar-putar cukup lama, anak-anak lanjut ke sewa sepeda. Saya sudah tahu nih, Malika pasti bisa, sedangkan Safir pasti ikut-ikutan tapi ga bisa. Tapi yah sudahlah, namanya juga main. Lagian Cuma bayar Rp5000,- per sepeda kok.  



Sepeda punya arena bermain sendiri. Di sini baru agak diterapkan simulasi berlalu lintas walau sayangnya tidak banyak rambu yang dipasang. Dan seperti yang sudah diduga, Safir kesulitan apalagi harus melewati jalan yang berlubang dan menanjak. Akhirnya dia lebih memilih berlarian di jalur sepeda yang sepi itu. Jalurnya cukup menarik sih, ada turunan, tanjakan, dan terowongan. Entah berapa kali Malika muter-muter.

Jam baru menunjukkan pukul tiga sore, tapi wahana gajah terbang sudah ditutupi terpal. Ya, bedanya dengan Jakarta adalah pada jam segini wahana bermain malah sudah sepi, sedangkan di Jakarta justru baru keluar karena mataharinya mulai kalem. Akhirnya kami berputar-putar mencari permainan lain. Ragu-ragu mau naik kereta karena memang sudah sepi. Hanya ramai dengan anak-anak sanggar tari yang berlatih di dekat stasiun kereta mini itu. Begitu ditanya ke petugas dan menghitung jumlah yang naik alias hanya kami berempat plus, kereta pun siap berangkat. Saya melihat plangnya tertulis “gerbong kereta mini merupakan sumbangan dari PT PJKA tahun 1958”. Tahun berapa? 1958? Seriously?

Saya iseng tanyakan ke petugas, “Pak, ini keretanya masih yang dari tahun 1958?”
“Iya, gerbongnya.” Alis saya naik satu, lalu bapak itu melanjutkan, “Kalau mesinnya sudah pernah diganti, satu kali.” Doeeeng!

Ah yah sudahlah, anggap saja Pete di film anak-anak Chuggington yang usianya sudah 150 tahun tapi masih produktif. Toh, ga bakalan ketemu kereta ekspress juga.  

Dari perjalanan kereta terlihat lebih banyak mainan semacam komidi putar tapi sudah tutup karena sepi pengunjung. Taman lalu lintas ini juga kayanya terbesar di Bandung jadi lumayan berasa lah naik keretanya. Kaya naik kereta kelinci di TMII kali ya ....  

Jelang jam 4 sore, kami pun pulang. Sudah banyak nyamuk juga, rimbun banget soalnya. Dan catatan-catatan saya adalah sebagai berikut:
1.       Rambu-rambu hanya dipasang mencolok di depak pintu masuk, sekaligus segambreng dan kayanya dikirim dari Jakarta, karena petunjuk jalannya mengatakan nama-nama jalan di Jakarta (dan ga ada di Bandung). Harusnya sih pakai nama-nama jalan di Bandung juga dong, biar afdol.
2.       Seandainya rambu-rambu dipasang semua, taman lalu lintas benar-benar bisa jadi taman simulasi lalu lintas betulan, bukan sekadar taman yang kebetulan ada satu-dua tiang berisi rambu-rambu lalu lintas. Maksudnya kaya kidzania tapi versi outdoor. Misal, buat tempat duduk dengan model halte bus lalu ada rambunya. Atau di satu spot buat tema peternakan jadi ada rambu hati-hati ada banyak binatang. Walau permainannya serupa tapi kalau tiap kelokan ada temanya sepertinya lebih menarik. Jadi tidak hanya parade patung binatang di mana-mana.
3.       Please ... keretanya diganti dooong. Iya sih masih bisa jalan tapi horor juga bunyinya. GREDEK GRUDAK GEBRAK!


Anyway, masih bisa diapa-apain sih niy taman, bisa dibuat keren biar image taman tua ga melulu melekat. Mari kita tunggu sajalah, kan Bandung lagi rajin bagusin taman. ^^

3 komentar:

  1. 4. Foto malika naek sepedany mannnnaahhh??!!

    BalasHapus
  2. Wah asik dong. Harus ke sana lagi buat update info

    BalasHapus