Setiap hari adalah liburan bagi anak-anak kami, maklum masih
belum rutin sekolah. Namun, mereka selalu menantikan saat-saat ayahnya turut
libur agar bisa bepergian yang jauh alias yang pakai taksi. Perjalanan jauh
pertama mereka menjadi motivasi bagi saya untuk menambah daftar tujuan wisata
setiap tahunnya. Efeknya ituloh yang luar biasa.
Saat pertama kali diajak mudik sama mertua, saya agak cemas.
Ya karena bawa dua anak masih balita. Tapi saya pun tak kuasa menolak, sejak
menikah saya tidak pernah mudik sedangkan di kampung mertua ada makam bapak
mertua.
Sebenarnya masalahnya di saya, saya ini termasuk rewel di
perjalanan. Mabuk darat dan mudah kesal apalagi jika bepergian dengan orang
yang ga biasa ngurusin saya. Sindrom bungsu kayanya hehehe .... Ibu mertua saya
pun sudah tua, khawatirnya saya jadi ngambeg-ngambegan karena ga sependapat
sama beliau. Tahu kan, di perjalanan jauh pasti ada aja.
Pelan-pelan saya persiapkan segala sesuatunya. Pengennya ga
bawa banyak tentengan karena kan anak-anak termasuk dalam kategori ‘tentengan’.
Makanan dan baju adalah keharusan. Persiapan kalau-kalau ada yang muntah di
mobil dan persiapan kalau macet di entah di mana dan anak-anak (termasuk
ibunya) rese kalau lapar hehehehe.
Tantangan dimulai sejak malam pertama. Memang rencananya
kami akan berangkat setelah si ayah pulang kantor ealah mau libur panjang juga
macetlah jalanan Jakarta, saya dan anak-anak sudah bete nunggunya.
Sudah datang si ayah, mobil sewaannya belum datang. Nah
selama nunggu ini, si anak kedua langsung muntah-muntah. Dikasih air muntah,
disusuin muntah. Si ayah sempat mau cancel perjalanan, tapi saya mendelik. “Ayo
berangkat sekarang juga!”
Bahkan ketika mobil sewaan akhirnya datang jam 11 malam dan
kami sedang di lift, anak kedua ini masih muntah. Lucunya, begitu menyentuh
mobil, dia langsung tidur. Tidur sepulas-pulasnya. ^^
Ketika akhirnya lepas dari Jakarta dan ketemu Pantura ealah
lagi perbaikan jalan jelang bulan puasa. Muacetnyaaaa ... sekarang giliran si
sulung. Dia ga bisa tidur karena mobilnya diam saja, akhirnya saya pangku dan
mulai mengarang cerita seperti ritual sebelum tidur kami. Cerita habis, anaknya
merem.
Syukur alhamdulillah juga trek Pantura itu lurus aja, secara
mabuk darat tapi ga bisa minum antimo karena harus tetap sadar saat mengawasi
anak-anak. Dan karena jadi ibu-ibu pula, saya harus merasakan duduk di mobil
memangku dua bocah yang tertidur selama berjam-jam. Kesemutan sangat.
Setelah akhirnya
lepas dari jalur yang muacetnya bukan main itu dan sudah mendekati
Purworejo, eh kami salah jalan. Dan terpaksalah kami melewati jalur yang dua
kali lipat lebih jauh dan keadaan jalannya rusak banget itu. Benar-benar
perjalanan yang terasa lama. Saya sibuk mengondisikan diri saya untuk tetap
tenang biar anak-anak ga ikutan rungsing.
yang habis muntah-muntah baru bangun
Akhirnya kami tiba di Purworejo. Di sana kami bertemu dengan
adiknya ibu dan beberapa saudara lain. Ibaratnya saya dikenalkanlah di kampung
sebagai menantu. Sedangkan anak-anak senang banget lihat ayam, kambing, bebek
bertebaran. Hehehe anak kota amat yak. Dan dua malam di sana, satu harinya
hujan lebat. Baju yang dicuci tak kunjung kering. Syukurnya kami masih sempat
ke alun-alun Purworejo yang menurut pengakuan ibu mertua malah belum pernah ke
sana. Lhaaa ... si ibu ^^
Beduk terbesar itu masih ada di masjid, anak-anak mah senang
main di menaranya sembari menunggu saya shalat.
Menariknya, di alun-alun Purworejo kami bertemu dengan teman
saya sewaktu masih kerja dulu. Dia juga sedang liburan ke Purworejo bersama
keluarga. Jadi deh kami menghabiskan sore sambil mengelilingi dua pohon besar
yang ada di tengah-tengah alun. Pohonnya ada namanya, saya pikir nama laki-laki
dan perempuan eh ternyata nama laki-laki dua-duanya ^^ ya pantaslah mitosnya
bukan mitos percintaan. Konon jika mengelilingi setiap pohon berlawanan arah
jarum jam sebanyak tiga kali, usahanya bisa sukses.
Usai dari Purworejo kami menuju Borobudur. Panas terik
menyambut kami di sana. Para pedagang pun semakin giat menawarkan topi dan
kacamata. Bahkan ada jasa gendong anak. Maklum ga mungkin pakai stroller kalau
ke Borobudur. Eh ternyata oh ternyata, baru saja naik separuh, hujan jatuh aja
gitu. Lebat pulak. Lama juga. Basahlah kita walau pakai payung. Tadinya kami
bertahan di tengah Borobudur tapi karena sudah kadung basah, kami cari jalan
lain menuju puncak. Sampai di puncak, blas hujan berhenti. Eeaaa ... mau difoto
pada lepek begini. Keep smiling ajalah pokoknya.
Setelah turun dan berganti baju, waktunya keliling Borobudur
naik delman. Wah si sulung tak henti-hentinya menyanyikan lagu Naik Delman.
Eyangnya jadi senang ^^
kuyup di Borobudur
Setelah dari Borobudur, kami menuju Semarang. Semarang adalah
kota tempat tinggal adik laki-laki ibu. Tadinya sih mau sambil wisata rumah
ibadah eh lagi-lagi hujaaaaan deraaaas ... Jadi deh di rumah Pak Lek saja, wong
Cuma semalam ini dan Pak Lek sedang sendirian juga. Beruntung rumah Pak Leknya
besar dan banyak mainan cucu-cucunya jadi ga mati gaya hehehe ....
Dari Semarang kembali ke Jakarta dengan jalur yang lebih
menyiksa lagi. Delapan belas jam! Ah sudahlah yang penting anak-anak ga rewel.
Selama di perjalanan yang panjang itu saya berkhayal,
bagaimana nanti ceritanya jika anak-anak ikut mudik bersama nenek dan ampunek
(orangtua saya)? Bertualang di jalur Sumatera karena orangtua saya perpaduan
Padang – Aceh. Belum lagi adik-adik ibu saya banyak yang tinggal di Riau.
Pekanbaru pasti sudah wajib.
Ada apa ya di Pekanbaru? Ada wisata alam ga ya? Kan
anak-anaknya pecicilan, butuh ruang luas dan butuh yang ga ada di kota. Oh,
kami bisa ketemu candi lagi. Candi Muara Takus yang konon merupakan bangunan
bata terbesar di Sumatera. Air terjun Guruh Gemurai juga bisa jadi tujuan
selanjutnya. Maklum di sini lihatnya malah air mancur, sintetik hehehe .... Kalau
sudah ke Pekanbaru, yah sekalian mampir ke Batam. Main ke pulau kitaaa ....
Anak-anak belum pernah tuh menyeberangi pulau. Lagian kalau ke Batam mah tinggal mampir ke Mak Linasasmita Dia tahu semua tentang Batam. Aman lah ...
Banyak tujuan terbentang usai mudik pertama ini. Sepertinya
saya belum kapok karena perjalanan adalah pembelajaran yang bagus untuk
anak-anak. Apalagi seminggu usai mudik bersama ini, ibu sakit. Dua minggu
kemudian, ibu masuk RS. Suami sempat menunjukkan rekaman naik delman di
Borobudur saat menungguinya. Memang momen itu yang sering ibu ceritakan pada
orang-orang setibanya di Jakarta. Sebulan kemudian, ibu meninggal dunia.
Meninggalkan kenangan yang masih melekat erat dalam ingatan si sulung walau
sudah dua tahun berlalu. Kenangan naik delman bersama eyang. Alfatihah.