Minggu, 23 Februari 2014

Belajar Rendah Hati dari Guru

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, anak mama, Dara dan Ati. Mama bersyukur kepada Allah dan berterima kasih atas bantuan kalian pada Sabtu. Semoga Allah membalas perbuatan kalian berlipat ganda dan terima kasih pada suami-suami kalian."

Ini isi sms dari mama saya malam ini. Dua puluh lima tahun yang lalu, saya tidak terpikir bahwa ibu saya akan sanggup mengatakan hal semacam ini pada anak-anaknya. Apa pasal?

Dalam lima bulan belakangan kedua orangtua saya yang selalu saya ceritakan sebagai sosok otoriter saat kecil, menunjukkan aksi dan reaksi yang tidak saya sangka akan mereka lakukan. Maklum, saking otoriternya, kami bersaudara sudah biasa melakoni monolog dengan tema "apa yang akan mama/papa katakan". Saking sudah ketebaknya.

Dan ucapan 'terima kasih' yang ditulis khusus itu juga terlihat istimewa karena Mama nyaris tidak pernah mengatakannya. Atau mungkin sudah pernah, hanya saja kenangan lain menimpanya. Saya dibesarkan dengan doktrin, ANAK HARUS MEMBALASBUDI KE ORANGTUANYA DAN SEJATINYA AMALAN ORANGTUA PADA ANAKNYA TAK TERBALAS. Saya dulu speechless mendengarnya, malah jadi sewot, "maksud lo, gue jadi budak?"

Lalu saya memutar balik ingatan saya perlahan. Mencari tahu kapankah titik balik ini terjadi. Satu hal yang pasti adalah dipicu ketika papa saya berhenti bekerja sedangkan mama sudah mendekati masa pensiun dan masih ada saya, si bungsu, yang hendak masuk SMU. Mungkin di sini masa klimaksnya.

Saat itu saya baru melihat mama mengucap alhamdulillah pada beberapa lembar uang lima ribuan yang dia terima usai mengantar susu kedelai buatan sendiri pada rekan-rekannya di bekas kantornya (mencari sepeser uang yang kemudian bahkan saya teruskan ketik saya bekerja). Padahal belum lama berlalu, mama adalah peraih gaji tertinggi di antara rekan-rekannya itu. Seorang kepala perawat yang disegani puluhan anak buahnya, dihormati para dokter.

You know, mengucap hamdalah itu memerlukan kerendahan hati loh. Jadi, saat itu saya merasa itu agak berbeda dari pencitraan mama selama ini.

Lalu kemudian, hal-hal remeh temeh yang tidak terduga mulai muncul di kedua orangtua saya. Saya jadi penasaran.

Dan setelah melakukan 'riset-risetan', saya tiba di sebuah kesimpulan, bahwa citra 'rendah hati' ini muncul dan awet karena kedua orangtua saya mulai ikut pengajian.

Sebelum berhenti kerja pun sebenarnya mereka sudah ikut pengajian, terutama papa. Namun, hasilnya dulu lebih terlihat negatif di saya. Bisa jadi itu karena posisi yang mereka sandang berdampingan dengan status orangtua dari empat anak.

Seperti saya saat ini. Well, minus jabatan. Sebagai orangtua, saya mau tak mau harus jadi orang yang paling-paling. Kan, katanya ibu adalah sumber ilmu pengetahuan pertama. Namun, saya kok merasa, jika saya terus mempertahankan status saya ini, saya akan lupa diri. Dan ketika sudah lupa diri, siapa yang akan tahu akan jadi apa anak-anak saya nanti.

Ikut pengajian dengan seorang guru (yang benar) memang dianjurkan. Malah kalau perlu beberapa guru, untuk memperluas wawasan. Apalagi orang-orang tua seperti mama papa saya tidak terpapar berita setiap detiknya.
Guru menjadikan mereka rendah diri. Berbeda dengan atasan yang selalu meminta kinerja maksimal dan merasa bahwa semua uang yang telah mereka berikan adalah impas. Toh, ternyata tidak. Seorang guru sejati terlihat lebih banyak memberi dengan ilmunya ketimbang infak yang kita berikan padanya. Apalah lagi seorang guru agama.

Yah, memang siy ada masa-masa noraknya. Ingatkah kita sewaktu SD, semua perkataan guru kita dipatuhi sekali, walau orangtua sebenarnya juga mengatakan hal yang sama. "kata bu guru .... " Rasanya bangga bukan main jika berlaku seperti yang diajarkan guru kita.

Seperti mama sekarang. Masuk semua
perkataan ustad-ustad yang terutama muncul di radio suka ga jelas. Itu loh, yang semua dikaitkan dengan isu agama. Yah, macam itu lah. Dan jika saya balas, mama akan menganggap saya tidak agamis. Saya sudah tidak heran, papa dulu juga begitu. Beliau paling hapal di mana cari ATM pahala.

Hehehe, saya mungkin merasa geli melihat orangtua saya, bisa jadi di luar sana ada yang menertawakan saya pula karena imannya masih cetek tapi sok belagu.

Ya saya menikmati semua prosesnya saja. Dan semoga kedua orangtua saya mendapatkan usia yang sarat berkah dan Allah selalu melindungi setiap napas mereka dari bisikan setan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar