Selasa, 01 April 2014

Tak Permah Ada Kata Terlambat

Kapankah waktu yang tepat untuk menjadi seorang pemimpin? Sedini mungkin? Lalu siapa sajakah yang pantas menjadi seorang pemimpin? Mungkinkah semua orang mampu dan pantas menjadi seorang pemimpin?

Kapan dan siapa. Itulah dua jenis pertanyaan  yang sering saya ungkapkan di benak saya. Bagaimana tidak, saya 'hanya' seorang ibu rumah tangga. Saya memang pernah merasakan membawahi atau mengatur beberapa orang di dunia profesional, tapi kini tanpa tugas kerja tertulis seperti sekarang ini saya seperti gamang.

Sebagai orangtua, saya menyadari harus membangun sikap kepemimpinan pada anak-anak sejak dini. Namun, guru terbaik bagi anak-anak adalah orangtua dan sebaik-baiknya nilai adalah yang terlihat oleh mereka, bukan yang terucap. Itu artinya, saya pun harus bersikap sebagai seorang pemimpin. Dan itu ternyata sulit.

Sebagai bungsu yang dibesarkan sebagai bungsu, saya memiliki kepribadian yang sepertinya dimiliki banyak bungsu lainnya, kreatif tapi tidak aktif. Alias pasif. Kalau tidak disuruh, tidak dikerjakan. Kalau tidak tahu, tidak mau bertanya. Kalaupun bertanya, harus yang mampu menyelesaikan masalah dengan segera. Bahkan kalau perlu meminta orang lain yang maju dan memperbaikinya.

Setelah puluhan tahun dengan karakter itu, mampukah saya menjadi seorang pemimpin?

Rhenald Kasali dalam suatu kesempatan wawancara mengungkapkan bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang mampu memancing bawahan atau rekannya menembus batas nyamannya. Saya terlalu bersemangat mengaplikasikannya pada anak usia dua tahun. Hasilnya? Tentu tidak berhasil. 
Rupanya anak kecil itu harus diberi tahu terlebih dahulu bahwa tidak apa melakukan kesalahan. Lupa itu wajar. Jika gagal, ya diulang lagi. Urutan yang sedikit berbeda dengan orang dewasa. 

Saya ingat catatan pengajar di sekolah anak saya, bahwa Malika selalu meneriakkan jawaban untuk pertanyaan yang bukan miliknya. Hal serupa terjadi ketika dia berhadapan dengan adiknya yang hanya terpaut 19 bulan. Dia merasa tertekan dengan jawaban salah.

Saat itulah saya mengubah metode pemecahan masalah saya. Saya mencontohkan beberapa simulasi aksi yang gagal, sebelum akhirnya berhasil meraih tujuan. Pada saat itu, yang dipelajari anak adalah bagaimana saya mengatasi hambatan secara emosional. oleh karena saya menjalaninya dengan bercanda, baik Malika dan Safir lebih berani berbuat salah walau sudah diberi contekan beberapa kali. Tak apa. Akan ada waktunya saya mengajarkan standar kesalahan. Dan itulah sedikit dari banyak PR saya sebagai orangtua. Sekali lagi, saya masih tidak menganggap diri sebagai pemimpin.

Dan jika suatu hari anak-anak saya menjadikan saya sebagai acuan semangat kepemimpinan, maka itulah pengakuan sejati. Sementara itu, walau saya berada di garda ujung untuk menjadi seorang pemimpin, orangtua sejatinya adalah contoh pertama dari sikap kepemimpinan, saya masih harus banyak belajar. Harusnya belum terlambat mengejar ketertinggalan. Demi mencetak generasi muda dengan semangat kepemimpinan yang tinggi. Generasi yang berpikir panjang sebelum bertindak. Generasi yang mandiri. Sejak dini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar