Rabu, 30 April 2014

Kelas Inspirasi Jakarta #3 (part 2): Ketika Amy Cuti


Kalimat yang sangat ditegaskan saat awal mendaftar sebagai relawan Kelas Inspirasi Jakarta #3 adalah, “Bersedia cuti pada tanggal 23 April 2014”. Tanggalnya sendiri berubah menjadi 24 April karena sebagai sekolah masih mengadakan try out. Dalam hati saya berkata, lah kalau saya minta cuti ke siapa?

 


Menjadi ibu rumah tangga yang kadang-kadang dapat duit dari hasil utak utik kompor atau laptop, istilah teknis seperti “cuti” kayanya memang asing. Dan mau tidak mau, hanya suami yang bisa saya anggap sebagai “bos” untuk urusan cuti ini.

 

Saya sengaja tidak banyak cerita tentang Kelas Inspirasi. Bahkan saat izin untuk ikut briefing-nya saja, saya hanya berkata sekilas. Sebenarnya saya menghindari perkataan, “kenapa ga nanti-nanti saja sih?” Saya dan suami memang memiliki perbedaan definisi perihal penempatan waktu.

 

Jadi, ketika seminggu sebelum hari H, dia mengkonfirmasi akan ke luar kota dari 20-24 April, saya diam-diam saja. Awalnya, saya hendak mendelegasikan suami yang mengantar anak-anak ke daycare saat saya bertugas. Supaya saya bisa datang lebih pagi, dan kemudian meminta izin pulang lebih cepat. Tapi, kalau dia baru pulang tanggal 24, ya sudah pasti saya tidak bisa berangkat pagi. Syukurlah keadaan ini dimaklumi sama rekan-rekan relawan KI.

 

Sejak beberapa hari sebelumnya, saya sudah bicarakan pada Malika bahwa akan ada satu hari di mana dia akan menunggu di sekolah bersama adiknya. Dia sih tidak keberatan. Tapi ga tahu ya. Saya menghindari drama bangun tidur sebenarnya. Sesuatu yang bisa bikin jadwal molor beberapa jam. I guess, itulah definisi Amy cuti. Cuti dari drama. Hehehehe ...

 

Semuanya santai-santai saja hingga waktu tidur. Saya sudah kondisikan tidur siang yang tidak terlalu sore agar bisa berangkat tidur jam 9. Eh, bocah-bocah itu malah melek sampai jam 11 malam. Saya sendiri sudah menyepi di kamar lain untuk menyiapkan prakarya sejak jam 9. Si bocah-bocah cakidut itu sibuk becanda cekakak cekikik. Amy yang tadinya berusaha konsentrasi berpikir positif, lama-lama senewen juga. Begitu jarum jam mencapai angka 11, saya marah-marah juga. Dan mereka tidur seketika.

 

Saya hanya bisa berdecak. Tidur jam segini mau bangun jam berapa, neng?

 

Yah, saya anggap rezeki lah. Pagi-pagi bisa mandi dengan tenang. Menyiapkan yang perlu dibawa anak-anak, yang perlu saya bawa, jadi nanti tinggal angkut usai mengantar anak ke daycare. Dan Malika baru bangun jam 7an. Melihat saya sudah berganti baju. Awalnya lupa. Tapi kemudian dia yang menyuruh saya bergegas. Safir masih tidur saat saya angkat ke stroller. Pakai stroller karena mereka pasti masih malas jalan. Lumayan, 15 menit jaraknya.

 

Awalnya mereka sih happy-happy saja ke sekolah. Safir pikir kita sedang mengantar kakaknya. Eh ternyata dia ditinggal juga. Nangislah dia. Hehehe Safir memang tidak saya briefing. Begitu melihat Safir mengejar ke arah pintu, saya bergegas ambil langkah seribu. Kabuuuur.

 

Jadwalnya setengah hari di daycare, tapi belakangan saya jadikan full karena jam 12 kami masih belum rampung. Sampai di Kalibata nyaris jam 3, saya juga shalat dulu, sedikit beberes, baru kemudian ke daycare. Maunya sih tidur-tiduran dulu, tapi kepikiran si Safir yang pasti sebentar-sebentar nangis. Apalagi jam tidur begini. Malika sih menurut laporan sangat kooperatif.

 

Eh benar saja. Lagi nangis dia. Biasa deh, Amy ditagih kendi. Nyusu sebentar, dah happy lagi dia. Eh  Malika yang jadi minta gendong melulu. Begitu diajak pulang, Safirnya yang ga mau. Dia maunya nyusu di daycare. Lha... piye iki.

 

So, jadilah drama si kakak digendong, si adik nangis-nangis tarik-tarik kaki Amynya sepanjang perjalanan pulang yang lewat mal itu.

 

“Amy ga boleh kerja,” kata Safir setiba di rumah.

Saya sih cengar-cengir saja. Ga kerja, Cuma pengen jalan-jalan aja kok. Kata saya dalam hati.

Okelah, kegiatan selanjutnya tunggu anak-anak masuk SD kali yaaa. ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar