Jumat, 11 April 2014

OM SOPIR

M: Malika suka om sopiiir.
A: kenapa?
M: soalnya om sopir bawa mobil. Ke mana-mana dianterin om sopir.
Ya iyalah bawa mobil, kalau bawa pesawat namanya pilot. Itu komentar dalam hati saja sih. Malika ini emang suka banget sama sopir. Sopir apa saja. Berhubung ga punya mobil, jadi semua sopir dari taksi, angkot, bajaj, mobil sewaan, sampai orangtua temannya. Pokoknya yang pernah disopiri baik yang dibayar atau tidak alias nebeng.
Kedengarannya lucu-lucuan saja, tapi kalau disimak lebih mendalam mungkin saya yang jadi diingatkan untuk berterimakasih lebih tulus pada para sopir itu.

Saya sendiri memiliki banyak pengalaman pertemanan dengan para sopir. Semua punya cerita sendiri. Ada yang teman sekolah. Bahkan setidaknya ada dua teman saya yang menjabat sopir. Teman akrab loh, bukan sekadar kenal. Yang satu jadi sopir bajaj setelah sebelumnya menjadi ABK untuk kapal Rusia. Pengen juga ngerasain disopiri bajaj yang sudah sering ke luar negeri. Saya saja baru sekali. Sayang, dia malu menampakkan dirinya. Beraninya ngobrol lewat telepon saja hehehe ....

Lain lagi dengan nasib teman saya yang lain. Sempat mengenyam kuliah tapi rupanya selain faktor ekonomi dia juga tidak berbakat kuliah. Oleh karena sering dijadikan 'sopir' oleh ibu dan adik-adiknya, dia lebih memilih lowongan sopir perusahaan. Dan sepertinya dia juga tidak berpikir akan merambah karier dari situ. Saya sih sayang saja, dia sopir yang fasih berbahasa Jepang.

Bicara soal sayang, saya pernah berpikir bahwa pekerjaan sopir ini adalah pekerjaan membuang waktu dan sumber daya. Ini yang saya pikirkan ketika melihat gerombolan sopir di pinggir jalan atau di lahan parkir. Sebagian besar dari mereka nongkrong, merokok, atau tidur di mobil. Saya memikirkan nilai waktu yang bisa ditingkatkan jika mereka memiliki tablet murah untuk ... Ngeblog, mungkin? Siapa yang tahu potensi itu ada jika terus membuang waktu menunggu. Bukankah itu pekerjaan yang membosankan? Setidaknya bagi saya.

Namun lain ceritanya ketika keluar dari bibir salah satu sopir perusahaan tempat saya bekerja dulu. Dia dulu pernah menjadi sopir pribadi. Sibuk. Antar anak sekolah, lalu ke kantor si bapak, habis itu jemput ibu nyalon atau belanja, jemput anak sekolah, antar les, antar si ibu arisan, jemput bapak kerja. Capek banget katanya. Apalagi tidak disediakan makan di rumah. Nasibnya tidak lebih baik dari asisten rumah tangga. Yah, jalanan Jakarta memang keras.

Salah satu om saya pun menjadi sopir antar jemput sekolah. Mobil carry nya menjadi satu-satunya harta yang kemudian terpinggirkan sedikit demi sedikit karena sekolah memiliki fasilitas antar jemput yang lebih profesional. Mobilnya dimodifikasi tidak karuan. Dan akhirnya om saya itu pensiun tanpa dana pensiun sama sekali.

Saya jadi ingat pengalaman beberapa kali dengan sopir sewaan. Saya sendiri yang pusing memikirkan si sopir makan apa. Dan merasa bersalah jika lupa membelikan makanan atau minuman untuk si sopir. Walau konon bayaran untuknya sudah termasuk di dalamnya. Atau sopir sewaan saat mudik. Saya agak miris ketika dia mengatakan biasa tidur di mobil. Tidur ayam mah boleh, tapi tidur dari malam sampai pagi? Apalagi tujuan mudiknya bukan daerah kekuasaan saya jadi saya terpaksa elus dada ketika melihat si sopir tidur beralas tikar tipis di lantai. Maaf ya ....

Pekerjaan sopir memang serba salah. Saya pernah memberhentikan taksi saat magrib dari depan sebuah masjid. Rupanya taksi itu sejatinya hendak shalat di masjid tapi dia antara kasihan dan kebiasaan kerja, dia membiarkan pintunya saya buka. Dalam perjalanan saya komat kamit semoga si sopir tetap bisa menunaikan ibadah pada waktunya.

Itu pun bagi mereka masih lebih mending daripada sopir transjakarta yang bahkan untuk buang air kecil pun tidak bisa demi mengejar ketepatan waktu. Jadi, bagi yang mengeluh transjakarta yang terlambat, percaya deh, bukan telat karena si sopir buang hajat. Beda dengan sopir taksi yang jika lelah bisa meminggirkan mobilnya dan tidur. Pipis di semak-semak atau tembok-tembok terabaikan. Toh, masih sering juga ketemu sopir ngantuk.

Begitu sedang iba eh ketemu sopir metro mini. "Gue sehari bisa nyimpen 15 rebu. Lima rebu buat pulsa. Lima rebu buat makan. Lima rebu buat minum-minum." Pengen gue kemplang niy sopir. Miskin aja mabok.

Saya sering lupa siapakah sopir ini. Saya terbiasa tidak membaca nama sang sopir taksi yang jelas-jelas terpampang di sana. Kalaupun dibaca untuk kepentingan waspada. Padahal mungkin mereka termasuk jarang mendengar namanya dipanggil selama bekerja. Panggillah namanya, demi Memanusiakan sopir

Terlebih ketika lebaran tiba. Saya yang biasa tinggal panggil satpam di lobi untuk memanggilkan taksi di luar, ternyata harus menelan kenyataan bahwa sopir juga manusia. Lebaran pagi di Jakarta berarti jalanan kosong. Tidak ada taksi, angkot, bajaj, bahkan ojek. Yang abal-abal pun juga tidak ada. Mereka juga tidak mau meninggalkan berkumpul dengan keluarga di hari fitri. Ya, walau banyak sopir tidak puasa, tidak mengikuti pemilu, tidak ikut libur panjang, demi mengejar setoran tapi mereka tetap memilih ketupat yang tersaji di rumah.

Ah, sopir, nasibmu .... Saya harus belajar lebih banyak dari Malika, rupanya.

 Have you say thank you to your driver?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar