Usai lebaran tahun lalu, ketika saya belum ketahuan hamil,
saya sekeluarga bertolak ke Semarang dalam rangka pernikahan sepupu suami. Ini
bukan kali pertama bagi saya ke Semarang, hanya saja dari sekian kali ke sana,
saya justru belum pernah benar-benar jalan-jalan bak turis lokal di ibukota
Jawa Tengah itu. Makanya, pada kesempatan itu, usai pesta pernikahan,
disiapkanlah satu hari khusus untuk jalan-jalan. Setelah browsing sana sini
jelang subuh, ternyata tema keliling Semarang adalah “Wisata Rumah Ibadah”.
Yuuk, mareee ...
1.
Masjid Agung Semarang
Masjid Agung Semarang ini letaknya tidak
jauh dari hotel kami, hotel Metro. Jangan salah, ini bukan Masjid Agung yang
sekarang jadi ikon Semarang, tetapi memang ada banyak masjid agung or masjid
raya di sini. Toh, masjid ini bukannya tidak punya prestasi, setidaknya pada
zamannya, masjid ini pernah menjadi ikon juga sebelum ada masjid Raya yang
berada di dekat simpang lima.
Pagi itu, masjid masih ditutup. Jadi kami
berfoto di pelataran saja ditemani beduk yang ukurannya cukup besar. Sayang, di
sekitar sini tidak ada jajanan yang gelar lapak pagi-pagi, jadilah saya lapar
dan bersegera ke tujuan selanjutnya.
2.
GPIB Immanuel atau Gereja Blendoeg
Ketika tiba di pelataran gereja ini, saya
jadi teringat tur studi yang pernah saya lakukan saat kuliah. Memegang status
sebagai mahasiswa program studi Belanda, tempat-tempat seperti gereja dan
kuburanlah yang paling sering kami datangi. Gereja ini juga dibangun pada masa
penjajahan Belanda. Ada dua pintu masuk, yang menghadap jalan raya disambut
dengan tulisan GPIB Immanuel sedangkan dari samping barulah ada tulisan Gereja
Blendoeg.
Saya tidak masuk ke dalam, kirain tak
boleh. Tapi begitu melihat rombongan bule-bule dengan bus boleh masuk, saya
jadi kepingin. Sayang, sudah mau cabut. Gara-garanya ya karena lapar itu.
Anak-anak juga rewel, paling adem sedikit pas main di taman depan gereja. Saya
sendiri jadi terlibat ngobrol basa basi sama seorang tua di sana. Itu loh orang
tua yang tiba-tiba muncul, beramah tamah lalu kita kasih uang. Bapak tua ini
kebetulan bisa berbahasa Belanda, jadi saya balas lah sedikit-sedikit.
Intermezzo
Makan Pagi di Mbah Jingkrak
Well
sebenarnya tidak persis di Mbah Jingkraknya sih. Rupanya menu Mbah Jingkrak
terkenal dengan level sambalnya, jadi yah sepertinya tidak cucok untuk menu
anak-anak. Jadi saya memilih menu dari papan resto sebelah, Bentuman . Gaya western,
tapi enak kok. Dan ternyata, Bentuman justru lebih dulu didirikan ketimbang
mbah Jingkrak.
Tempatnya juga nyaman dan luas. Yang
menarik, di sana ada lele sebesar buaya. Gede banget. Ada kali semeter (buaya
lebih panjang kali yaaa hehehe). Di bagian belakang juga ada kandang-kandang
burung (plus burungnya). Buat anak-anakku sih ini dah keren banget. Buat kami,
harganya bersahabat, bok!
3.
Masjid Agung Jawa Tengah
Jadi jika Anda baru pertama kali ke
Semarang dan ingin ke masjid Agung yang terkenal itu, pastikan sebut dengan
lengkap pada sopir Anda, masjid Agung Jawa Tengah atau Masjid Agung Propinsi.
Konon, karena ada banyak sekali masjid agung atau raya, bisa sampai berebut
imam di hari-hari besar loh. Oalah.
Dan masjid yang satu ini memang jelas
bedanya dengan masjid-masjid yang lain di Semarang. Letaknya agak pinggir kota,
tapi kalau melihat luasnya ya ga heranlah kudu minggir sedikit. Memang
kompleksnya luas sekali. Ga tahu ya apakah sebesar masjid Istiqlal atau tidak. Salah
satu yang membuatnya istimewa adalah, masjid itu juga punya payung raksasa
seperti masjid di Madinah. Sayang, saat kami datang, payungnya menutup. Mungkin
karena sepi, padahal panas banget loh. Lantai marmer serasa api saat dipijak.
Jadi deh sesi foto-foto agak melipir sedikit. Masjid itu memang jadi objek
menarik untuk foto-foto. Malah ada yang foto prewed sepertinya di sana. Eeaa
... asal jangan sambil pegang-pegang aja.
Saat shalat di dalamnya, kebersihan cukup
terjaga. Awalnya saya agak takut akan tersesat saat mencari tempat wudhu dan
shalat, tapi petunjuknya cukup jelas bagi saya yang suka nyasar.
Selain bangunannya, lagi-lagi daya tarik
sebuah masjid adalah beduk yang besar dan ada mushaf Alquran yang besar pula. Dan
entah kenapa, kayanya lazim banget pasang jam bandul tua di masjid. Harusnya
jadi barang antik, tapi kalau melihat jumlahnya di masjid ini, kok kaya bukan
barang antik lagi. Banyak soalnya.
Saya tidak tahu apakah ada fungsi lain yang
dilaksanakan di masjid ini. Berharap ada perpustakaan sebagai pusat kajian
islam dan lain-lain sih. Kios-kios suvenirnya juga kurang variatif, ah gimana
sih cara bikin suvenir, lama-lama gue bikin sendiri nih.
4.
Klenteng Sam Poo Kong
Sore akan segera datang, kami menuju tujuan
terakhir. Klenteng Sam Poo Kong. Sebenarnya saya penasaran ingin melihat masjid
yang dibangun oleh laksamana muslim itu di komplek klenteng tersebut.
Ketika masuk area komplek, rasanya saya
tengah berada di pelataran Istana Terlarang hahaha ... mungkin kalau di Istana
Terlarangnya lebih keren lagi kali ya ... Ada sekitar 5 bangunan besar berciri
tionghoa di sana. Dari bangunan pertama yang sepertinya difungsikan sebagai
tempat jemaat beribadah jika sedang ramai—mungkin semacam balkon VIP saat
nonton balapan, saya menangkap satu bangunan paling besar dengan lafal Allah
dalam tulisan arab di tepi atapnya sebagai si masjid. Masjid yang dibangun Sam
Poo Kong itu memang tidak lagi difungsikan sebagai masjid, tapi dari arah
bangunan tersebut yang miring sendiri, saya tahu itu masjidnya. Pada monumen Cheng
Ho sendiri tidak disebutkan terkait pembangunan masjid ini, pun tidak disebutkan
bahwa beliau seorang muslim yang membangun masjid dan klenteng bersisian sebagai
sarana beribadah para awak kapalnya. Hmm sepertinya saya harus ke Surabaya
kalau mau shalat di masjid Cheng Ho. Oh iya, ternyata lafal Allah itu bukan
tulisan arab melainkan gambar naga yang meliuk. Dari jauh terlihat seperti
lafal Allah, entah kebetulan entah saya saja yang sok nyambung-nyambungin
hehehe, soalnya hanya ada di bangunan eks masjid itu.
Jika saya perhatikan memang ada
bangunan-bangunan baru dan fasilitas seperti gerbang untuk para difabel dan
orang lansia juga patung-patung baru, dan semuanya tertera pembuatnya atau
sumber dananya. Kebanyakan nama-nama para konglomerat dengan latar belakang
perusahaan yang sudah tidak asing lagi.
Tiga klenteng (termasuk eks masjid) itu
dipisahkan oleh kolam panjang karena memang tidak bisa dimasuki langsung, harus
membayar (lagi) sekitar Rp40000,- per orang kecuali bagi yang hendak beribadah.
Kalau malam mungkin lebih romantis kali ya dengan banyak lampion dan
lilin-lilin yang dinyalakan di dalam klenteng, atau mungkin sudah tutup hehehe
...
HTM: Rp4500,- per orang. Anak-anak GRATIS
Intermezzo
Makan Malam di Pasar Semawis
Pasar Semawis adalah semacam bazar kuliner
yang diadakan setiap akhir pekan di daerah Pecinan Semarang. Bagi tempat yang
menjadi salah satu tujuan wisata dan masuk dalam program Visit Semarang, aku
rasa perlu ada menu halal yang jelas hehehe. Maklum lah, di sana banyak penjual
masakan ayam tapi juga jual masakan babi. Jadi kami berjalan cukup dalam di
sepanjang jalan Semawis, guna mencari makanan yang aman walau tidak berlabel
halal. Dapatlah ayam bacem lalu kami duduk di kursi dan meja plastik diiringi
bunyi-bunyi burung walet yang sepertinya bersarang di atap rumah-rumah tua di
kiri-kanan jalan itu.
Lucu juga sih suasananya, mengingat saya
jarang lihat yang berjilbab di sana. Ada karaokean di tenda gitu, serasa lagi
di Cina daratan-ketahuan banget gue jarang ke daerah Kota. Ramai tapi tidak
riuh, jadi masih bisa ngobrol-ngobrol biasa.
Itu saja ulasan wisata rumah ibadah di
Semarang, sebenarnya ada lagi. Yang katanya klenteng tertinggi di Indonesia,
tapi tempatnya agak jauh, sudah bukan di kota lagi. Yah sudslah. Ini juga sudah
banyak. Serasa bertualang singkat dari Arab, Belanda, lalu ke Cina.