Sabtu, 28 Oktober 2017

Mengenang Pahlawan & Meneruskan Perjuangan di Haul ke-107 tahun Cut Nyak Meutia


“Dulu daerah ini merupakan penghasil gas terbesar ke-3 di dunia.” Kata papa sambil menunjuk sebuah area penampungan gas besar di sebelah kanan jalan.
“Sekarang diambil alih Pertamina. Mungkin untuk besi-besi tuanya.”
Penampungan gas itu tidak hanya satu, tapi tiga. Dan kini nasibnya terlantar karena gas sudah habis disedot. Hanya didampingi sebuah landasan udara yang juga menatap langit kosong.


Lahan seluas itu ... bahkan sapi-sapi yang berkeliaran pun terlihat kurus.


Nelangsa mengiringi perjalanan saya menuju Pirak, Aceh Utara. Jaraknya tidak sampai satu jam dari Lhokseumawe tempat saya dan keluarga menginap. Namun, dengan kondisi yang lancar seperti itu, satu jam berarti telah menempuh jarak yang begitu jauh.


Sejak Jumat sore, kami sudah tiba di bandara Malikussaleh. Sekilas seperti mudik bersama, tapi saya bukan termasuk orang berada, jadi dengan papa mama saya dan tiga anak saya minus bapaknya disponsori tiket gratis beserta hotel oleh sepupu saya yang juga datang bersama keluarga besarnya. Adalah Haul ke-107 tahun Cut Nyak Meutia yang diselenggarakan pada Ahad, 22 Oktober 2017 lah yang menjadi tujuannya.
Haul ini sejatinya diselenggarakan setiap tahun, tetapi tahun ini agak berbeda konsepnya. Niatnya adalah silaturahmi keluarga besar Cut Nyak Meutia dari berbagai penjuru di satu tempat yaitu, replika Rumah Adat Cut Nyak Meutia di Pirak. Dari berkumpul bersama itu, diharapkan dapat saling menyumbang ide (dan mungkin materi) untuk membangun Aceh Utara.



Mobil yang saya tumpangi akhirnya parkir di tanah lapang. Setelah menyapa para santriwati bercadar yang tengah menyapu sampah yang berserak di situ, saya pun masuk ke area rumah adat yang menghadap ke sawah luas. Para santri ini berasal dari pesantren milik Tgk. Muslim yang juga berlaku sebagai Ketua Panitia dan didatangkan untuk membantu berjalannya acara.


Di dalam area itu setidaknya ada tiga rumah panggung. Tidak semuanya berbentuk rumah sih, ada yang berbentuk balai, ada juga yang seperti saung besar.
Saya penasaran masuk ke Rumah Adat Cut Nyak Meutia yang katanya keponakan saya memberi sedikit sentuhan baru agar museum itu tidak monoton. Begitu saya masuk, seperti tengah masuk ke ruang keluarga. Foto-foto keturunan Cut Nyak Meutia bertebaran. Saya senyum-senyum sendiri melihat wajah-wajah yang saya kenal di sana. Ada juga gambar karya abang saya di sana. Padahal sudah lama dibuat dan tidak menyangka juga bakal dipajang di sana.



Namun kemudian saya terpikir, bagaimanakah rupa museum ini sebelum ditambahi foto-foto ini? Hampa?


Rumah itu terbagi menjadi lima ruangan. Ada ranjang di satu kamar, lemari-lemari di kamar yang lain. Selebihnya adalah ruang tanpa sekat yang memuat foto-foto dengan beberapa anak tangga sebagai pemisahnya.
Acara dimulai pukul 08.30 dengan doa bersama. Tak jauh dari panggung, ada panitia yang tengah sibuk memasak daging dari tiga sapi yang dipotong semalam. Dengan kayu bambu, panas apinya seolah bersaing dengan matahari yang kian terik.


Lalu acara dibuka dengan penampilan dari kelompok rapai. Semacam grup perkusi khas Aceh. Tabuh-tabuh digantung dan kemudian dipukul dengan instruksi tertentu sehingga menghasilkan bunyi yang menggema hingga jauh. Anggotanya  terdiri dari bapak-bapak yang sudah beruban, tapi saya tahu untuk memukul rebana besar itu butuh kekuatan yang tidak sedikit. Kata papa, pertunjukan rapai juga bisa dibuat dua kelompok di mana satu kelompok dengan yang lain saling berbalas. Mungkin semacam balas pantun kalau di minang..


Setelah melewati lima sambutan dari Ketua Panitia, perwakilan keluarga Cut Meutia, perwakilan Gubernur, dan perwakilan Kapolres, yang membuat anak-anak gelisah karena lelah perjalanan, sebuah tausiah dari Teuku Nasrudin cukup menarik perhatian, untungnya dengan bahasa Indonesia. Mohon maaf, saya orang Aceh campuran hehehe ...


 “Teruskan perjuanganmu!” wasiat terakhir Teuku Cik di Tunong kepada Cut Nyak Meutia berulang kali diucapkan di setiap sambutan. Bahwa perjuangan tidak berhenti pada Cut Nyak Meutia, kita yang masih hidup pun juga punya tugas untuk berjuang.


Setelah acara pesijuak dan tari, akhirnya makan-makan ....


Para warga yang datang dan semakin banyak disuguhi nasi dengan lauk rendang sapi yang baru dimasak. Yang datang jumlahnya membludak, bahkan sampai ribuan sehingga berulang kali saya mendengar panitia meminta para pengunjung bersabar karena nasi sedang dimasak lagi dan lagi. Pihak keluarga dan undangan khusus masih aman karena telah disiapkan aneka makanan yang disiapkan sejak dini hari tadi. Sebagai orang yang ga tahan masak banyak, melihat piring-piring berisi lauk bertebaran itu rasanya takjub. Udang, cumi, ayam tangkap, ikan kayu, rujak aceh ... nyam nyam nyam ....


Sayangnya setelah makan, anak bungsu saya tepar di pangkuan saya. Sehingga praktis saya tidak bisa mobile menyapa para saudara, apalagi saya banyak tidak tahu nama-namanya. Alhamdulillah masih ada yang sudi menghampiri. Bukan silaturahmi kan kalau tidak menambah perbendaharaan anggota keluarga.


Saya pun dihampiri dua anak muda yang memperlihatkan kondisi makam Cut Nyak Meutia. Cut Nyak Meutia syahid saat penyergapan di hutan dan kemudian dikebumikan di tempat itu juga. Dan hingga kini, akses menuju makam Cut Nyak Meutia yang juga berdekatan dengan makam guru Cut Nyak Meutia, sulit dijangkau. Masih hutan belantara dan harus hiking sejauh 28 km. Saya teringat cita-cita yang dikatakan Tgk Muslim saat sambutan, “Tahun depan, bisa jadi kita selenggarakan di makam Cut Nyak Meutia.” Lalu mendadak lutut saya gemetar.


Papa dulu pernah berucap kalau dibuat jalan yang layak tentu dapat menjadi lokasi wisata ziarah. Tapi, untuk pembangunan jalan sederhana seperti tangga pun kan butuh kerjasama dengan berbagai pihak. Belum lagi soal Rumah Adat yang butuh upgrade dari isi maupun perawatan karena ada barang-barang yang hilang. Dari pihak Kapolres menyebutkan bahwa untuk pahlawan Aceh lainnya sudah dibuatkan semacam sosiodrama dan respons nya positif, jadi sepertinya untuk Cut Meutia sudah masuk dalam daftar. Entah kapan terealisasi.


Ketika kami pulang, tempat acara masih ramai orang. Saya menyesal juga tidak bisa memberi kontribusi yang berarti untuk kelancaran acara. Memang saya bukan panitia, tapi melihat kakak-kakak sepupu saya sibuk sekali, rasanya tidak sopan jika tidak turun tangan.



 Sebenarnya tanpa diketahui papa, saya dan kakak-kakak saya sempat kebagian tugas membuat undangan dan spanduk. Urusan desainnya menjadi tanggungjawab abang pertama dan kakak ketiga saya, sedangkan saya dan abang kedua terkait editorial. Tugas sederhana tapi karena melibatkan abang saya yang di Inggris sehingga selama satu minggu itu kami agak kagok waktu hehehe ... Jam 11 malam, ketika abang saya siap mendesain, kakak saya sudah ngantuk. Begitu subuh, kami siap memberi koreksi, abang saya yang di sana sudah ngantuk. ^^ Tentu bukanlah apa-apa dibanding yang dilakukan para seksi sibuk di Lhokseumawe. Terima kasih sepertinya tidak cukup. Walau menerima kritik sana-sini, mereka berusaha sebaik yang mereka bisa. Maafkan adikmu yang kurang tanggap ini, dan semoga semua usahanya diterima sebagai amal baik dan menjadi berkah.


Semoga semangat haul ini tidak berhenti sampai di sini, PR kita banyak. Kalau saling mencari cara agar bisa bekerja sama, pasti banyak hal yang dapat diwujudkan.