Kamis, 19 April 2018

KAMYStory: Menjelaskan ke Anak tentang Alkohol



Pagi itu selepas shalat subuh, terdengar bunyi dentingan lift. Lamat-lamat terdengar orang yang keluar dari lift mendekat ke arah lift. Ada beberapa orang, salah satu di antara tersedu-sedu. Lalu pintu unit dibuka. Rupanya tetangga yang mengontrak di depan unit. Tak perlu waktu lama, sedu-sedu itu berubah menjadi raungan. Saya dan Malika saling menatap tanpa bicara. Berusaha abai, fokus ke tugas masing-masing. Raungan yang kian menjadi itu kemudian berubah menjadi ...
HOEEEEK! HOOOEEEK!
Ada yang muntah.
D*mn


Jika bicara tentang alkohol, maka bisa dikatakan toleransi saya nol. Bukan dalam artian saya tidak kuat mabuk, tapi it’s a big no no for me. Masa lalu saya memang ada kenakalan yang saya lakukan, tapi yang berkaitan dengan mabuk, saya jauh-jauh. Ga mabuk saja sudah bandel, apalagi kalau mabuk.


Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi hal ini. Pertama, pengalaman saya mendapatkan beberapa pelecehan seksual oleh beberapa orang sewaktu saya kecil, membuat saya memasang alarm-alarm untuk beberapa hal yang mengingatkan saya tentang peristiwa itu. Salah satunya adalah alkohol, karena beberapa dari pelaku memang punya kebiasaan minum-minuman keras, walau saat mereka melakukan hal ‘itu’ pada saya mereka tidak dalam keadaan mabuk. Hal ini mengacu pada pembelaan orang-orang yang berkata bahwa mereka adalah peminum yang bertanggungjawab. Tetap bersahaja bagaimanapun keadaannya. Whatsoever. Buat saya, itu pepesan kosong.


Kedua, saya cocok dengan kisah seorang pemuda alim yang dijebak oleh seorang wanita. “Aku memberimu tiga pilihan untuk kau bisa keluar dari rumah ini, kau gauli aku, kau bunuh anak ini, atau kau minum khamr,” kata si wanita itu. Dan singkat cerita, si pemuda alim memilih meminum khamr karena mempertimbangkan hanya dia sendiri yang akan menanggung akibatnya. Ternyata dia berakhir melakukan ketiga pilihan tersebut.


Ketiga, suami saya memiliki sejarah persahabatan panjang dengan alkohol. Dan walau saya berusaha untuk selalu berpikir positif bahwa dia sudah tidak mengkonsumsi alkohol lagi, tapi sulit bagi saya untuk mempercayai bahwa teman-temannya juga sudah berhenti sama sekali. Biasa, kan, pergaulan mempengaruhi gaya hidup. Jadi ketika dia bercerita tentang masa lalu saat dia sudah terlalu mabuk untuk pulang ke rumah, biasanya dia akan dibawa kawannya ke rumahnya dan hal itu akan menggembirakan istri kawannya karena itu berarti suaminya tidak main gila dengan wanita lain. Seketika itu, saya langsung ketakutan. Man, bawa orang mabuk ke dalam rumah? Dan ada anak-anak di dalamnya? Ga cuma satu, tapi dua! Belum lagi istrinya berjilbab dan anak-anaknya sekolah di sekolah berbasis agama Islam. Bengong saya. Saya langsung merinding teringat bahwa pelecehan seksual yang saya alami pun terjadi di rumah sendiri.  Oleh sebab itu, saya pun menerapkan aturan. No drinkers allowed to come to my house and meet my kids. No way, jose.

Makanya doktrin tentang alkohol kepada anak-anak tidak semata-mata soal agama tetapi juga tentang hal lainnya.


“Nah itulah yang namanya orang mabok.”
Jawab saya ketika tetangga itu muntah-muntah dan Malika bertanya ada apa dengan dirinya. Lalu saya pun ceramah mulai dari segi medis hingga segi sosial. Bagaimana alkohol mempengaruhi tubuh jika dikonsumsi secara berlebihan dan kadar berlebihan bagi tiap-tiap orang itu berbeda-beda. Dan bahwa intinya lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Saya sengaja bicara panjang lebar semata-mata agar suami tidak mengeluarkan komentar-komentar seperti, “ah dianya aja cupu ga tahan minum” dan sebagainya.


“Mabuk itu apa sih?” tanya Malika di usia batita ketika dibacakan kisah-kisah nabi dan tengah menjelaskan tentang perilaku kaum-kaum sebelum datangnya nabi.
Keluar deh kbbi ala saya. Mabuk adalah kondisi yang disebabkan oleh minum-minuman keras.
“Minuman keras itu apa?”
“Yah, yang mengandung alkohol.”


Lain waktu, dia bertanya usai melihat iklan.
“Napza itu apa?”
“Narkotika, obat-obatan dan zat terlarang lainnya.” Jawab saya singkat.
“Apa itu?”
“Zat-zat yang disalahgunakan orang-orang untuk menjadi mabuk.”
“Obat batuk termasuk obat-obatan terlarang, ga?”
“Ya, ga. Untuk kondisi kesehatan, misalnya sakit memang menggunakan narkotika, tetapi hanya boleh dokter yang mengaplikasikannya. Kalau dipakai-pakai sendiri namanya penyalahgunaan. Itu yang ga boleh.”


“Kalau sudah umur 21 tahun, kita dah boleh minum alkohol?” tanya Safir usai menanyakan tentang tulisan “untuk usia 21 tahun ke atas” di lemari pendingin berisi minuman keras di salah satu swalayan.
“Secara hukum pemerintah sih begitu. Tapi menurut hukum Islam, mau umur berapa pun juga ga boleh minum alkohol.”
“Kenapa masih boleh dijual, padahal kan orang Islam ga boleh minum minuman keras?” timpal Malika.
“Karena yang tinggal di sini kan ga hanya orang Islam. Ga semua agama melarang minum minuman keras.” Saya sok cool.
“Padahal kan jelas ga membawa manfaat. Nanti malah nyusahin orang lain.” Sungut Malika.
“Yaah, kalau di negara-negara dingin seperti di Eropa kan minum alkohol membantu mereka untuk merasa hangat.”
“Tapi di sini kan panas,” Malika menjawab balik. “Memangnya ampunwa Nurul minum alkohol, kan di Inggris tinggalnya.”
“Ya, ga sih.” Kadang saya suka lelah meladeni pertanyaannya.
“Banyak orang yang minum-minum karena ingin terlihat gaya, dianggap bisa meredakan stress, bikin orang happy, karena pergaulan.”
Dan dia merengut dengan penuh ketidaksetujuan.


Saat saya berfoto untuk foto di atas, anak kawan saya yang kebetulan juga turut ikut olahraga bersama bertanya, “Emang itu apa?”
“Tempat orang minum bir.”
“Orang Islam boleh ga masuk ke situ?” dan tahu-tahu ibunya menodong saya untuk menjawab.
“Yaah, tempatnya sih ga melarang orang Islam untuk masuk. Mereka kan yang penting bisa bayar aja. Namun seharusnya, orang yang mengaku Islam tidak masuk ke situ.”


Lalu saya biarkan ibu dan anak itu melanjutkan perbincangan.


Pendidikan ini belum berakhir. Semakin bertambahnya usia, akan semakin banyak pertanyaan terkait hal ini yang terucap dari mulut anak-anak ini. Terkadang saya merasa, anak-anak bingung melihat ada begitu banyak larangan yang diterapkan di rumah tapi bertebaran dilakukan di luar sana.


Celetukan seperti, “Apa orangtuanya ga mengajari itu?” berulang-ulang mereka ucapkan untuk berbagai situasi. Bukan dengan nada sinis, tapi serius bertanya.  Yang lama-lama seperti mempertanyakan kenapa seperti hanya aminya yang melarang hal itu.


Saya rasa di satu fase, jika saya salah-salah mengaplikasikan hal-hal yang hendak saya tanamkan, justru rumah sayalah yang kemudian akan dianggap aneh oleh anak-anak karena membatasi diri. Sungguh, harapan saya semoga fase itu tidak pernah ada. Bahwa mereka tidak punya kebutuhan untuk mencoba hal-hal semacam itu. Karena saya ga yakin bakal kuat mengatasinya.


“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS: al Furqan: 74)

Kamis, 01 Maret 2018

KAMYStory: PR dari Sekolah, Tugas Anak atau Orangtua?




Masa-masa masuknya anak TK menjadi anak SD, sedikit banyak membuat para orangtua deg-degan setiap kali anaknya diberi PR. Terutama PR yang berbau prakarya. Ketika anak duduk di kelas 1, saya masih merasa mafhum jika prakarya anak dibuatkan oleh orangtuanya. Namun, ketika ternyata bantuan itu berlanjut hingga ke jenjang selanjutnya, saya jadi bertanya-tanya sendiri. Mau sampai kapan, ya? 


Sementara itu, saya pun kenal dengan orangtua yang sama sekali tidak mau terlibat dengan tugas anaknya. Alasannya, dia tidak mau menjadi orangtua yang ketika anaknya sudah duduk di kelas besar, masih sibuk dengan tugas anak yang seharusnya dilakukan oleh anaknya, bukan orangtuanya. 


Tanpa bermaksud munafik toh saya sebagai bungsu, masa kecil saya dan juga tugas-tugas saya banyak dibantu oleh kakak-kakak saya.  Kebiasaan saya menunda-nunda tugas membuat tiga kakak saya (dengan berbagai alasan, mulai dari kasihan sampai terpaksa) turun tangan membantu. Maklum, kedua orangtua saya bekerja, dan karena mereka cukup galak, kami meminimalisir hal-hal yang akan membuat keributan di rumah, salah satunya jika kemudian ketahuan saya tidak mengerjakan tugas, pasti kakak-kakak saya yang kemudian kena semprot karena dianggap tidak menjaga adiknya. 


Mulai dari membantu sedikit, hingga pernah juga saya menyerahkan sepenuhnya tugas itu ke kakak saya dengan semena-mena lewat surat pulak. Ya, memang, tugas saya yang dibantu kakak-kakak itu biasanya mendapat nilai lebih ketimbang jika saya membuatnya sendirian. Tapi jangan salah, sepanjang dibantu itu, omelan ga pernah surut. Meski begitu, saya merasa romantis karena saya jadi lebih suka bekerja sama dengan kakak-kakak saya ketimbang dengan teman sebaya saya ketika tugas kelompok. Bahkan tugas peta dunia pernah saya pajang dengan bangganya di kamar karena alasan romantisme. Atau lebih tepatnya ketergantungan? Karena saya jadi terbiasa mencari tahu lewat kakak-kakak saya ketimbang mencari tahu sendiri. Kalau dilepas sendiri, kemungkinan saya blank itu sangat besar. Itulah sebabnya saya merasa dibantu saat mengerjakan prakarya itu perlu dengan beberapa catatan. 


Ketika punya anak, saya mencoba membiarkan anak mengerjakan tugasnya sendiri walau kadang gatal karena lihat karya anak-anak lain yang lebih heboh karena campur tangan orangtuanya. Setelah beberapa kali dibiarkan kok saya kesel ya? Hasilnya tuh ga banget. Rupanya, kreativitas itu ga senantiasa come out of nowhere. Harus ada inspirasi, harus ada pengetahuan tambahan, harus ada feedback, supaya lebih baik. Apalagi ini anak sulung yang memang tingkat ketelatenannya masih belum baik, secara anak outdoor gitu.  


Nah berhubung si sulung ini pun punya kemauan keras, dia juga sulit menerima usulan karena dianggap saya mencoba mengatur-atur. Akhirnya saya pelan-pelan ikut nimbrung, coba mendengar visi misinya dan ternyata emang benar, ini anak blank. Jika ada contoh di buku pelajarannya, biasanya saya biarkan dia mencontoh. Walau tatanannya mungkin tidak seapik yang saya inginkan. Biarin aja deh. Biar dia lihat sendiri hasil teman-temannya (tanpa bilang kalau si A atau si B itu dibuatkan oleh orangtuanya). Cuma untuk memperlihatkan bahwa sedikit usaha dapat menghasilkan sesuatu yang sangat berbeda.  Hanya saja, saya tetap memberikan info-info yang saya tanyakan di grup sekolah karena terkadang saya juga bingung sama penjelasan si anak dan untuk memastikan bahwa karya anak saya tidak melenceng dari yang dimaksud. 



Sejak saat itu, saya mulai punya Pinterest. Untuk memberikan referensi terkait prakarya apa yang dapat dia ciptakan dengan materi yang diminta, dan kemudian memilih atau menciptakan sendiri bentuk yang dia inginkan. Youtube juga menjadi alat bantu agar dia bisa melihat cara sesuatu dibuat. Semata-mata agar dia mendapat wawasan tambahan, tanpa saya harus menunjukkan sendiri karena biasanya dia suka merasa terintimidasi. 


Yang menarik adalah ketika saya membantu, justru jadi menarik perhatian adik-adik yang lain. Saya rasa mereka hanya ingin terlibat dalam family project yang belakangan sudah jarang kami lakukan. Jadilah mereka ngiri, karena merasa saya hanya meluangkan waktu untuk si kakak.  I guess we should make another family project. 


 Family project dapat menciptakan hubungan. Komunikasi yang terjalin dapat membantu menyamakan visi misi, frekuensi, dan bahkan mengeluarkan cerita-cerita atau rasa-rasa yang tidak pernah dikemukakan sebelumnya. Tentunya jika situasinya semua setara ya, kalau ada pihak-pihak yang hendak mengatur, pasti hasilnya hanya menjadi mengerjakan tugas dalam keadaan tertekan. Itu baru saya simak kata-katanya pas mengetikkannya. I guess writing it in the middle of the night might works for this kind of reason. 


OK, kembali ke topik. Kesimpulannya, saya menggunakan momen prakarya anak itu untuk memperbaiki hubungan. Yah anggap saja itu family project, bukankah itu keuntungan legal dari sebuah PR? Lagipula, saya jadi bisa melihat sebaik apa si anak dalam ketelitian, ketelatenan, cara dia melihat keindahan, kerapihan. Cuma lihat dan nilai dalam diri sendiri sih. Soalnya anaknya baperan. Jadi saya bisa ada ide, apa lagi yang bisa saya tunjukkan ke anak-anak guna meningkatkan berbagai aspek yang saya sebut di atas. 

Jadi membantu itu tidak sama dengan mengerjakan sepenuhnya. Namanya juga membantu, ya porsi keterlibatan bintang tamu tidak sebanyak porsinya bintang utama. Soal nilai? Nilai si sulung untuk keterampilan termasuk yang nilainya lebih kecil dibandingkan nilai-nilai dia yang lain. Tapi saya biasa-biasa saja. Orang yang kreatif sekaligus pintar juga sangat atletis itu jumlahnya cuma sedikit, jadi tidak bisa dijadikan acuan hidup, bisa gila nanti. Nah, itu kembali ke masing-masing sih. Melihat nilai sebagai acuan diri, atau sebagai acuan peringkat semata di rapor? 

Selasa, 20 Februari 2018

SELASHAring: Demi Perayaan Ulang Tahun Si Kelahiran Juni



Bagi anak SD, saya waktu itu, merasa perayaan ulangtahun itu penting. Karena jadi momen ketika saya dapat mengundang kawan-kawan saya, menyuguhi mereka makanan lezat, dan kemudian saya mendapat tanda mata dari mereka. Maklum, kedua orangtua saya bekerja, sehingga kalaupun saya membawa satu-dua teman ke rumah, saya hanya bisa menyediakan telur dadar karena makanan yang di meja sudah dijatah untuk orang rumah.

Namun, membuat perayaan ulang tahun itu tidak mudah. Bahkan untuk sekadar menerima ucapan ulangtahun saja, sulit. Apa sebabnya? Karena saya terlahir di pertengahan bulan Juni. Pada zaman Orde Baru, pada saat itu selama berpuluh-puluh tahun pastilah sedang libur panjang sekolah. Tidak ada kawan yang ingat, apalagi mengucapkan selamat. Terkadang saya berharap saya lahir di bulan yang berbeda ....

Bukannya tidak pernah diistimewakan. Mama punya tradisi menggorengkan ayam ala KFC dalam potongan besar dan boleh makan sesukanya, setiap akhir pekan ulangtahun anak-anaknya. Dan tak lupa, mama akan mengulang kembali kisah detik-detik kelahiran anak yang ulangtahun saat itu. Tapi ... Tetap saja, I want to invite all of my friends.

Hingga kemudian entah apa yang merasuki saya. Hari itu saya ulangtahun. Dan tentu saja sedang libur panjang di rumah saja. Dan tiba-tiba ... Saya bangkit dari kasur, lalu keluar rumah. Mendatangi satu per satu rumah kawan saya dan menyampaikan pesan, “Datang ya ke pesta ulang tahun saya, jam 4 sore.”

Seperti yang sudah diduga banyak kawan yang tengah pergi berlibur. Ketika saya kembali ke rumah, saya tidur-tiduran lagi (atau mungkin menonton televisi). Menunggu. Tak bicara sepatah kata pun pada orang rumah. Apalagi itu hari kerja. Saya lupa apa yang saya rasakan saat itu. Dan kemudian jam 4 sore pun tiba, tidak terjadi apa-apa. Lalu jam semakin lewat dan tak lama ada suara kecil memanggil dari luar pagar. Bukan satu tapi dua ... kawan yang rumahnya paling dekat dengan saya sudah datang. Berpakaian apik. Membawa kado.

JEEENG!

Kakak saya yang kemudian akhirnya tahu bahwa saya mengumumkan pesta ulang tahun ke teman-teman (dan tentunya bukan dari saya), sontak kelabakan menyediakan suguhan. Sedangkan saya pura-pura mandi ^^

Ya ampun, mau dikasih apa anak orang?

Ada yang beli mie instan. Bongkar-bongkar lemari cari kue.  Wakakaka heboh lah. Belum lagi, kemudian orangtua saya pulang. Dan terbengong-bengong.

Pada akhirnya, dua kawan itu bukan jadi tamu undangan tapi lagi iseng aja mampir pakai baju bagus. Tidak ada lagi soalnya yang datang. Disuguhi mie instan dan kue kaleng biru. Mereka juga sama bingungnya. Tapi melihat muka saya yang cengar-cengir saja, kayanya tidak ada harapan mencari keterangan dari saya. Papa sempat mengabadikan momen itu, tapi fotonya di rumah orangtua saya hehehe ....

But, I was happy actually.

Jarang-jarang saya spontan begitu. Sering ngerepotin memang gaya saya, tapi biasanya bukan karena ide spontan hehehe ...

Dan hingga kembali masuk sekolah dan kawan-kawan mengeluh soal pesta hoax itu, saya tetap senang.

Serius, bahkan hingga sekarang saya tidak habis pikir dengan motivasi saya.

Saya baru berhasil mengundang kawan-kawan ke rumah saat ulangtahun dengan tata tertib yang baik, selepas kuliah. Yang diundang kawan-kawan kuliah. Sekitar 10 tahun kemudian. I finally have cake with candles to blow hahahah ... Saat itu rasanya, okeh, mission accomplished.

Ulangtahun sendiri kemudian menjadi makna yang personal bagi saya. Saya yang kemudian belajar menerima keadaan bahwa akan selalu kena liburan sekolah, menikmati ketika ketiga kakak saya menyeruduk masuk kamar di pagi hari dengan muka gembira dan menyanyikan selamat ulang tahun dengan gaya lucu-lucu-padahal saya sudah SMA. I guess, selain orangtua saya, merekalah orang-orang pertama yang menyambut kelahiran saya secara real time. I feel like, for better or worse, I'm still their little sister. So it means alot.

Seringkali, ketika saya begitu tidak percaya diri hendak melakukan sesuatu (banyak sih sesuatunya), mengingat kenekatan saya ini seperti motor semangat yang menyala kembali. Dan peristiwa itu membuat saya memahami bahwa bagi saya yang penting bukan hasilnya, melainkan apakah proses perjalanannya membuat hati saya senang. Kalau sudah senang, walau gagal, pasti mau mencoba lagi.

Kalau dipikir-pikir ada sekian banyak kenekatan saya, yang terutama tertumpah dalam hal menggebet cowo ^^ tapi walau sering memalukan, selalu ada sisi saya yang bangga dengan keputusan itu. Cause you’ll never how far you will go, if you don’t go through it ...


Selasa, 13 Februari 2018

SELASHAring: Tiga Tahun Lagi Setelah Tiga Dekade, Lalu Apa?



Usia 30-an bagi saya berlalu seperti angin. Rasa-rasanya saya tak bisa mengkorelasikan usia dengan peristiwa tertentu di dekade ke-3 ini. Tahu-tahu saya sudah dihadapkan dengan kalender baru dengan tahun yang baru. 2018, itu artinya sebagai kelahiran 1981, saya akan menginjak usia 40 tahun dalam tiga tahun lagi. Itu pun kalau masih diberi napas. Saya pernah iseng-iseng meng-google dan ternyata usia kepala 4 ini terbilang istimewa sehingga ada doanya segala. Ga tahu deh itu doanya sahih atau ga. Apa pun, itu menunjukkan bahwa ada sesuatu di usia yang katanya saatnya kehidupan dimulai.

Di antara pesatnya laju 30-an, saya mencoba mengerem pelan-pelan. Tiga dekade ini .. .saya sudah berbuat apa? Saya sudah jadi apa? Dan ada hal yang menarik tanya dalam diri sendiri adalah, betapa nama saya mengalami metamorfosa setiap dekadenya.

0-12 tahun
Inilah usia saya lahir dan kemudian bertumbuh. Jenjang pendidikannya hingga lulus SD.  Panggil saya, Ati. Ati, bisa dikatakan nama kecil saya. Asli tercetus dari mulut orangtua saya. Dipenggal dari nama belakang saya, Melati. Ati si bontot, yang mudah ngambek, juga sangat manja. Namun, masa kecil tak selalu indah di angan itu, menjadi dasar kehidupan saya selanjutnya.


13-19 tahun
Inilah yang saya anggap masa ‘teen’ (karena memang baru dimulai di thirTEEN). Usia SMP dan SMA ketika masih labil, pencarian diri dkk. Dan ternyata berpengaruh pada panggilan saya. Macam-macam panggilannya. Saya menjadi banyak hal. Di sinilah saya membentuk alur kehidupan saya. Mungkin bentuknya tak sempurna, penuh coba-coba.  Dan berjilid-jilid buku harian menjadi saksi, bahwa saya pernah menjadi Dilan. Hanya tidak pernah mengecap keberuntungan seperti dirinya. Eh malah curhat.




20-29
“Mulai saat ini, nama kamu HP Melati.” Begitu kata dosen saya ketika pada tahun 2000, nilai kuliah saya tidak keluar. Rupanya nama yang saya singkat demi alasan UMPTN tidak bisa diubah lagi. Padahal saya berencana sementara saja memakai singkatan seperti itu, terlebih singkatannya, walau dari nama saya sendiri, serupa dengan singkatan nama gebetan saya di SMA. Tapi alih-alih baper, saya seperti tengah mendapatkan legitimasi nama panggung saya. Entahlah, saya suka berkhayal menjadi orang terkenal. Lalu kemudian saya bermimpi, someday this name will be known globally, bersanding dengan karya-karyanya. HP Melati kemudian menjadi semakin paten, ketika saya kemudian memilih memperkenalkan diri sebagai “Melati” pada klien di tempat kerja saya. Biar kelihatan profesional hehehe ... Bukan Ati yang kekanak-kanakan, tapi Melati yang anggun.



30-sekarang
Lalu kemudian usia 30 pun datang. Ketika saya mengundurkan diri dari pekerjaan, saya pikir habislah sudah karier si HP Melati. Namun, ternyata saya dikejutkan dengan kenyataan bahwa sejak itulah cikal bakal saya kemudian dipanggil oleh para tetangga dan anak-anaknya dengan  sebutan  “Ami” . Panggilan anak-anak ke saya. Dan lagu hidup saya pun kini tak lepas dari status saya sebagai Ami beranak tiga. Ami yang galak dengan anak-anak yang chaos. Sungguh, deretan postingan blog dan foto-foto di medsos terwujud lebih karena saya seorang Ami. I guess my life is not so bad at all.




Dari tiga dekade itu, saya merasa seperti tengah memasukkan beberapa sendok susu bubuk dengan aneka rasa dalam gelas yang berbeda. Akankah beberapa gelas itu menjadi satu gelas minuman yang benar-benar berbeda dari bahan awalnya?

If I die, apa yang akan orang-orang ingat akan diri saya? Selain bahwa saya kidal dan buta warna? Sesuatu yang akan diingat anak-anak jika melihat atau memikirkan sesuatu ketika aminya sudah tiada. Maunya sesuatu yang indah, yang menginspirasi. Bukan rentetan omelan seperti tengah ospek di setiap pagi.

Yes, I’m kinda monster mom.

Namun, lucunya, hal yang paling sering saya khayalkan adalah melakukan perjalanan panjang bersama anak-anak. Ah, mungkin saya hanya ingin jalan-jalan ^^

Entahlah ... saya beberapa kali pernah menonton film tentang orangtua dan anak yang melakukan perjalanan panjang. Oprah bahkan melakukan tantangan melakukan perjalanan panjang bersama sahabatnya, sesuatu yang sangat dia hindari karena tahu biasanya suka ada drama. Namun ketika melihat berita tentang sepasang kakek nenek keliling Eropa dengan mobil ber-plat B, saya merasa mimpi saya mungkin tidak sejauh itu.

I want to create our journey, our story.

Create atau cipta sebenarnya adalah motivasi yang sudah lama saya pendam atau lebih tepatnya lama saya tunda-tunda. Selama ini, hanya seperti memanaskan mobil di akhir pekan tanpa benar-benar mengendarainya. Hanya berkutat di blog yang juga tidak ambisius.

Menulis dan menyanyi adalah dua-duanya yang dapat saya lakukan secara alami. Dan sudah sejak lama sejak terakhir kali saya menuliskan ‘nyanyian’ saya. Dalam puisi, dalam larik, dalam prosa ... Maka saya rasa waktu tiga tahun lagi itu adalah saat yang tepat untuk comeback. Dan jejaknya dimulai dari sekarang. Saya mungkin bukanlah sosok yang cocok menjadi seorang influencer, tapi saya tak pernah keberatan jika dapat menghibur. Saya memang galak, but I love to tell stories ...

Lalu apa kesimpulannya?
Jelang usia 40 tahun ini akan menjadi sebuah perjalanan hidup bersama keluarga yang diiringi dengan nyanyian dan sebuah cerita yang tercipta di setiap belokannya. Saya kan mengisahkan lagu dan melagukan kisah ... dan akan saya bagikan kepada dunia. Tunggu saja tanggal mainnya. Insya Allah.

Minggu, 11 Februari 2018

hoMYNGGU: Pilihan Olahraga (Saya) di Rumah



Sejak pertengahan tahun lalu, saya memutuskan untuk memasukkan jadwal olahraga ke rutinitas saya. Walau masih up and down moodnya, tapi posisinya semakin pasti dalam kegiatan saya. Karena saya ga mampu secara uang dan waktu untuk nge-gym di tempat gym di mal, maka saya gunakan berbagai support system yang murah meriah, baik itu outdoor maupun indoor. Banyak yang saya coba, secara saya bosenan juga, tapi akan efektif kalau konsisten dilakukan minimal 3 kali seminggu. Badan sudah mulai jompo, jadi harus banyak bergerak biar fit.

OUTDOOR
1. SENAM OTAK. Salah satu yang rutin saya lakukan adalah mengikuti senam warga setiap Sabtu jam 7-9 pagi. Dengan instruktur berusia 58 tahun dan sudah berpengalaman, ibu Iik memeragakan senam otak karena ada beberapa pelaku senam adalah ibu-ibu usia lansia. Berbeda dengan aerobik atau zumba, senam otak menggunakan hitungan 2-2 bukan 4-4, jadi kalau tidak fokus akan belibet kaki dan tangannya hehehe ....  Apalagi kalau yang sempat lama ga senam, pasti keteteran napasnya, walau kalau dilihat gerakannya tidak heboh.

2. JALAN KELILING KALCIT. Kalau saya cukup dengan berjalan, beda dengan suami yang lebih memilih lari keliling kalcit. Dua keliling Kalcit bisa 30 menit berjalan, sedangkan kalau lari bisa dapat tiga keliling Kalcit. Biasanya saya pakai rute ini, kalau teman CFD saya di hari Minggu sedang berhalangan. Maklum, ibu-ibu cuma bisa keluar olahraga pas akhir pekan. Kalau hari sekolah kan jadi petugas persiapan anak-anak sekolah. ^^

*Sebenarnya kalau tinggal di bagian Green Palace bisa berenang juga, tapi karena saya tidak tinggal di bagian situ dan tidak bisa berenang juga, jadi yaaah ... begitulah.  Sekarang, setiap Rabu di selasar taman Green Palace juga diadakan senam osteoporosis yang dimulai jam 10 pagi. Belum pernah coba juga sih. Walau belum usia lansia, kayanya ga ada salahnya ikut senam ini.

INDOOR
Olahraga indoor seringkali berarti olahraga di rumah. Waktunya mepet, cuma 30 menit, karena anak-anak kepo. Sedangkan kalau pas anak-anak sekolah, emak-emak cuma bisa olahraga di dapur.

1. SALSA. Ini senam loh, bukan maksudnya mau les tari salsa. Lagi-lagi ibu Iik sebagai instrukturnya dan memang ini spesialisasi beliau. Mulainya jam 4 sore sampai jam 5.30 di gym Green Palace setiap Selasa dan Kamis. Saya jadi harus nunggu barengan sih supaya bisa masuk ke sini. Hanya saja, karena barengan dengan jadwal ngaji anak-anak, yang sering terjadi adalah seusai senam saya tergopoh-gopoh ke masjid untuk menjemput sambil gendong yang bungsu, biar cepat. Nah, akibatnya, saya jadi suka flek darah. Makanya, saya belum ikutan lagi. Padahal ini juga sangat menguras keringat loh, baju bisa basah semua. Dan sangat bagus untuk pembentukan panggul ke bawah yang mulai berkibar-kibar. Saya pernah tanya ke Ibu Iik kenapa saya jadi flek, kata beliau ya sejatinya tidak ada yang boleh dilakukan secara terburu-buru. Mungkin juga karena rahim saya sudah turun, dipakai setengah berlari dan gendong-gendong, malah jadi tekanan di dalam perut saya. Jadi, ya sudah, saya senam di rumah saja.


2. YOUTUBE is MY PARTNER. Kalau di rumah tentu saja berteman dengan youtube offline ^^ ada beberapa channel yang saya suka.

a. AEROBIK dengan POPSUGAR. Channel ini mengusung aerobik yang ringan dan menyenangkan. Terkadang saya ikut senyum-senyum mendengar percakapan member popsugar-nya walau diulang-ulang. Nilai plus dari channel ini adalah, ia mencontohkan gerakan-gerakan sesuai level dan kemampuan. Jadi untuk satu gerakan, kalau ga bisa lompat bisa jalan di tempat, kalau ga bisa lurus kakinya, bisa ditekuk.  Jadi ga terintimidasi banget kita lihatnya.

b. ZUMBA dengan VIJAYA TUPURANI & LIVELOVEPARTY. Kalau lagi ingin nge-zumba, saya biasanya pilih dua channel ini. Tapi untuk Vijaya Tupurani ini harus pilih yang edisi group ya, kalau Cuma dia sendiri gerakannya susah banget. Kebetulan saya juga suka nuansa India jadi fun saja bagi saya dan ada gerakan-gerakan bahu yang khas. Sebenarnya saya pernah coba juga senamnya Bipasha Basu, tapi walau simpel tapi saya terintimidasi sama keseksiannya >.< Udah juga pakai jeans hotpants, tank top crop, rambut digerai berkibar-kibar dikasih angin-angin. Beuuuh ...

Sedangkan LiveLoveParty ini lebih terasa nge-dance-nya, teruus saya pilihnya karena dia juga ada cover lagu BIGBANG hehehe .... Ribetnya nge-zumba via youtube adalah sebentar-sebentar harus pilih mau video yang mana. Biasanya saya cuma nge-zumba lima belas menit, habis itu ganti olahraga yang lain.

c. YOGA dengan BOHO BEAUTIFUL. Saya hanya mengikuti yang seri mudah-mudahnya saja. Seringnya yoga bermanfaat untuk bikin badan enak ketika terkena pegal-pegal usai olahraga. Cuma terkadang suka baper lihat body intrukturnya yang kuruuuus banget.

d. AEROBICS ala FIGUREROBICS. Ini yang lagi saya tekuni sekarang. Masih belum bisa setiap hari sih. Figurerobics menawarkan olahraga yang tidak membutuhkan banyak space. Penting ya buat kami yang tinggal di unit yang super ‘luas’ ini. Walau tidak memakan tempat banyak, tapi dalam 30 menit, keringat maksimal keluarnya. Instrukturnya orang Korea jadi sembari ngikutin hitungannya terkadang saya merasa tengah wajib militer hahahaha ...

 Pertama kali ngikutin, kaki lemes. Selalu merasa ingin menyerah di menit ke-20, tapi belum pernah menyerah. Dua-tiga kali absen, kaki nyut-nyutan lagi. Figurerobics ini juga ada levelnya, tapi belum nyoba sih, wong yang level satu aja ga lulus-lulus kok ...


3. TABATA dengan Aplikasi
Saya pernah diberitahu sama tetangga soal workout di Youtube dengan tajuk Tabata. Ketika saya lihat, workout-nya mirip dengan aplikasi Leap Fitness Group, Tantangan Kebugaran 30 Hari-Latihan Rumahan.  Minus musik saja. Aplikasi ini saya pakai buat variasi setelah ngezumba. Cuma butuh 15 menit sih, tapi isi workoutnya alamakjaaan. Memang ada level-levelnya dan bisa memilih mau workout perut, lengan, kaki, atau seluruh tubuh. Kata yang memberi komentar sih disarankan jangan mulai dari level pemula banget, biar nendang. Biasanya ada 10-15 gerakan dan diakhiri dengan plank. Nah, plank ini yang ga nahan. Semakin hari semakin lama soalnya. Walau selalu ada hari istirahat setiap hari ke-5, tapi kalau sudah istirahat, posisi plank itu jadi susah lagi dikerjakan. Ini masih tantangan sih buat saya, ga kelar-kelar 30 harinya ^^ padahal sudah beberapa bulan lalu itu aplikasi nongkrong di ponsel.

Nah, kekurangannya olahraga di rumah adalah, ada risiko menginjak mainan anak hahahaha ... Pernah juga walau saya sudah di kamar tapi karena anak-anak dengar musiknya mereka olahraga-olahraga sendiri di depan pintu kamar, sambil cekakak-cekikik lalu jerit-jeritan. Sungguh mengalihkan konsentrasi ^^’


Hasilnya? Hmmm .... katanya sih jangan olahraga untuk menurunkan berat badan, tapi supaya badan sehat. Hehehe ... Ngeles banget yak.

Sempat dua bulan pertama, berat badan saya malah naik, minimal stagnan. Kata kawan sih, itu artinya jadi otot. Cuma kan bikin drop juga ya. Mau ga mau, pola makan emang harus diubah. Alasan emak-emak sebagai penghabis sisa makanan anak harus dikurang-kurangin. Jadi biasanya saya masak tiga cup beras untuk satu hari. Sekarang saya hanya masak 1,5-2 cup sehari untuk seluruh anggota keluarga. Ga makan malam, tapi makan sore. Dari pagi sampai sore ya sesuka saya makannya. Nah, makan sore ini juga ada syarat. Syaratnya jam 9 malam dah tidur. Kalau begadang ya berasa lapar lah. Anyway, semoga ikhtiar sehatnya semakin konsisten. Biar semangat menjalani hidup heheheh ... doakaan.



Jumat, 02 Februari 2018

JJS: Lebih Akrab dengan Bakari di Faunaland, Ancol




Kami duduk berhadapan. Saling menatap. Sesekali ia tolehkan mukanya. Ingin rasanya membelai wajahnya yang terlihat mengantuk tapi hanya bisa kutempelkan tanganku di pembatas kaca. “Semuanya baik-baik saja. You’re safe here.” Kataku dalam hati. Lalu bola matanya bergulir, kembali jatuh ke pandanganku. Kemudian hening mengisi jarak di antara kami.
“Eh, lihat ada singa!” suara orang yang datang mengejutkanku. Ah, sudah ada pengunjung lain. Aku pun bergeser dan beranjak pergi.  Rindu sudah mulai merangsek dalam diriku.

Kami sedang berada di Faunaland yang terletak di dalam area Allianz Ecopark, Ancol. Jalan-jalan bersama keluarga suami. Taksi online mengikuti rambu-rambu petunjuk dan kemudian menurunkan kami di pintu samping Ecopark. Memang jadi jauh jaraknya menuju Faunaland yang kata tetangga saya serupa dengan Singapore Zoo. Ecopark sendiri tidak mengenakan biaya masuk, jadi dengan alam terbuka luas seperti ini, membawa sepeda dan perbekalan pasti akan menjadikan piknik kami berlangsung seharian. Sayangnya, hari ini tidak bawa sepeda. Tapi tak apa, bagi-bagi anak-anak outdoor seperti anak-anak saya, lahan terbuka ini sudah sangat menggoda bagi mereka untuk berekspresi.



Ada untungnya juga kami lewat samping, karena di tengah perjalanan kami melihat beberapa burung sejenis pelikan tengah bersantai di pinggir sungai. Burung yang sejatinya tidak akan kami lihat nongkrong begitu saja tanpa pengawalan ini tentulah menarik perhatian. Anak-anak berusaha mendekat, tetapi melihat reaksinya yang tidak terlalu suka didekati manusia, maka anak-anak hanya berjongkok melihat burung itu, sambil sesekali orangtuanya berfoto.




Akhirnya sampai juga di pintu masuk Faunaland. Tiap-tiap orang di atas usia 3 tahun dikenakan biaya masuk sebesar Rp. 50000,- kalau bundling tiket dengan naik perahu, cukup bayar Rp.70000,-. Sedangkan tiket perahunya sendiri kalau eceran sebesar Rp.30000,- Tiket ini berlaku seharian, jadi kalau mau keluar masuk cukup perlihatkan bukti pembayaran dan cap. Tapi capnya agak mudah pudar, makanya simpan baik-baik bukti pembayarannya ya.


Sayangnya, begitu kami tiba, pertunjukkan burung baru saja selesai. Bird Show ini hanya ada di pukul 10 dan 14.30. Nah, kalau mau nunggu bird show ya kira-kira harus nunggu sekitar dua jam lebih. Hmmm bisa ga ya?


Adalah dua singa betina yang menyambut kami pertama kali. Singa-singa ini terlihat tidak agresif walau tengah rebahanan persis di samping pagar kawat. Jadi anak-anak pun bisa duduk manis menatapnya. Saya sudah ingatkan mereka agar tidak bersikap agresif, karena insting singa apalagi betina ya agresif. Secara ia kan pencari nafkah. Sebenarnya ada juga sisi kandang kaca, tapi singanya ga lagi di situ. Pembatas kaca ini memungkinkan pengunjung lebih dekat ke singa tapi tetap aman. Di samping kandang singa, ada kandang monyet putih. Terus saya mikir, apa si singa ga ngiler ya lihat monyet?



Setelah itu ada beberapa kandang-kandang kecil yang hewannya menarik. Tapi yang membuat saya senang adalah akhirnya bisa melihat tapir betulan. Tapir seperti halnya zebra masuk dalam kategori hewan ajaib menurut saya. Dan bisa melihatnya dengan tubuh tambun  dan bukan hanya di gambar yang selalu ada di peta-peta menunjukkan bahwa ia adalah hewan khas sulawesi, buat saya itu amazing banget. Sayang sendirian, mudah-mudahan si tapir bisa segera dapat pasangan.






Lalu ada juga hewan ternak yang bisa diberi makan dengan membayar Rp.10000,- seperti kuda poni dan kambing. Kuda poninya bisa dinaiki loh. Tapi bayar lagi.




Nah, bintang utamanya adalah another singa putih, namanya Bakari. Tapi kali ini ada jantannya, ditemani dua betina. Konon, singa putih ini hanya ada 10 di dunia. Bakari terlihat tenang dan ngiler lihat anak-anaknya. Surainya bergoyang lembut, memancarkan auranya.

Kandang Singa yang didatangkan khusus dari Afrika ini, hampir sepenuhnya dari kaca. Kecuali bagian yang tidak memungkinkan kontak dengan pengunjung. Areanya lebih luas. Dan tidak hanya bisa tatap-tatapan dengan singa putih dari dekat, kita juga bisa kasih makan. Gimana caranya? Ada sebuah corong yang berbentuk kayu tempat mentransfer daging ayam yang sudah disediakan petugas. Seru kaaan.... Kapan lagi bisa kasih makan singa?



Ga mungkin ada bird show kalau tidak ada koleksi burung. Dan burung-burung ini walau dirantai tapi nangkring di tempat terbuka. Tapi ada juga yang tidak dirantai seperti beberapa burung kakaktua. Kalau burung rangkong ya iyalah, kalau ga, bisa diculik orang nanti. Kan sudah mulai masuk hewan langka. Kakaktuanya juga ada yang cukup komunikatif sehingga mengundang tawa anak-anak. Karena berada di alam terbuka, saya tergoda memunguti bulu-bulu burung yang warna-warni itu. Masya Allah, rajin banget yang ngewarnain. Tak hanya itu, kami juga bisa berfoto dengan burung-burung nuri yang jinak banget. Gratis. Foto sama burung elang juga gratis. Sensasinya beda ya kalau sama burung elang.



Memang koleksi hewannya tidak banyak, tapi kemudian tempatnya yang asri dengan penataan kebun yang ciamik membuat tempat ini ga semudah itu ditinggalkan. Kami yang membawa bekal, menikmati makan di sana karena memang tidak ada yang jual makanan di dalam situ. Jangan lupa bawa salep antinyamuk. Selebihnya, anak-anak main bebas berkeliaran.  Dan selalu ingat jaga kebersihan.





Saat hendak shalat, kami keluar Faunaland dulu dan menemukan tempat shalat berupa pendopo kecil di samping. Sebenarnya di lobi juga ada musolla, dan pendopo tempat kami shalat itu sepertinya untuk karyawan pengelola. Tapi karena di situ, saya jadi ngeh dengan suara bising khas siamang. Rupanya ada semacam pulau kecil di antara sungai itu. Jerit-jeritan siamang itu jelas menarik perhatian pengunjung yang mungkin juga ga ngeh kalau ada mereka di sana. Dan dengan adanya  semacam dermaga, orang-orang pun jadi punya pertunjukkan yang bisa dilihat sambil duduk-duduk. Dan tidak hanya melihat siamang. Ikan-ikan cantik sudah berkerumun di sekitar dermaga. Warna merah, orange, putih, memadu cantik. Dan mulut-mulutnya seolah tak berhenti merasa lapar. Pakan ikannya juga bisa dibeli di petugas yang duduk tidak jauh dari peminjaman sepeda.



Tidak terasa sudah menit-menit menjelang pukul 14.30, kami berhasil berada di sini dua jam lebih. Tapiiiiii ... anak-anak sudah keburu ingin ke laut. Namanya juga ke Ancol ya, masa ga basah-basahan. Ya udah, skip deh bird show-nya. Dan pantai Ancol pun hanya selurusan dengan pintu masuk Ecopark, jadi kami cukup jalan kaki sebentar dah sampai.

Sementara anak-anak main air, saya sudah kangen mau ke Faunaland lagi. Mungkin bawa sepeda. Mungkin di jam yang lebih tepat. Suatu hari nanti .... Karena rindu itu berat, kasihan Bakari, biar saya saja yang datang lagi


Jumat, 19 Januari 2018

JJS: Yang Tertinggal di Pulau Pari




“Bismillahirramanirrahiim.” BYUUUUR!!
And there she goes. To the water.
Mungkin inilah rasanya liburan ‘syariah’. Pikir saya saat melihat satu per satu pengajar mengaji anak-anak saya lompat ke laut dari perahu dengan pelampung dan ... Gamis plus kaos kakinya.

“Subhanallah” dan “Masya Allah” berganti-gantian terucap ringan seperti air dari sekitar 15 pengajar Kalibata City Tahfidz Club yang ikut rihlah ke Pulau Pari dalam rangka ‘rebounding’. Gayanya sih sama saja dengan remaja zaman now, sibuk foto-foto juga, cekikikan juga, tapi ya masing-masing kelompoknya. Saya jadi teringat masa-masa saya masih langsing, saya ga begitu hahahaha ....


Awalnya saya agak ragu ketika mengajukan lokasi rihlah yang berbau laut. Yah, maksudnya nanti kasihan yang perempuan ga bisa ikutan snorkling karena kan baju nya nanti lepek. Tapi merekanya malah lebih prefer dapat vitamin sea, jadi ya sudahlah. Kebetulan dapat harga yang sesuai bujet, di bawah 6 juta utk 25 orang untuk 2 hari 1 malam.


Hari Jumat menjadi hari yang disarankan agen dari Kepulauan Seribunya, karena katanya Sabtu itu terlalu ramai. Dan memang, bertolak dari Kalibata jam 5.30, bisa sampai dengan lancar di pelabuhan Angke jam 6.00. Konon, di hari Sabtu, jalan menuju Angke itu macet parah loh. Terbayang, melihat kondisi jalanannya juga begitu, sempit.


Dari Angke menuju Pulau Pari membutuhkan waktu sekitar hampir 2 jam. Kami tidak pakai speedboat, perahu mesin biasa yang besar, tapi tetap dapat pelampung. Speedboat baru ada ketika akhir pekan, walau ketika di sana saya mendapat flyer terkait speedboat baru yang sudah standby sejak Jumat. Tentu harganya beda ya ...


Sesampainya di sana, sudah ada tur guide dengan gerobak dorong untuk membawakan tas-tas kita semua. Lalu kita pun dipandu menuju sebuah homestay. Penginapan di sana semuanya berbentuk homestay, mirip kaya waktu ke Dieng. Tapiiii ... standar kamar mandinya sederhana banget. Bersih sih, tapi keciiiil ^^


Sepeda menjadi transportasi utama di sana. Biasanya setiap rumah, sudah ada tempat parkir sepeda-sepeda yang bisa kita gunakan gratis sepanjang hari. Saya yang sudah lamaaa sekali ga naik sepeda harus mengalami serangkaian drama: setiap kali baru menggenjot pasti jatuh, ada yang menyapa langsung nabrak, ada yang menyalip langsung oleng dan nabrak. Tapi yah masa mau ditinggal di jalan sepedanya?



Pantai Perawan alias Virgin Beach menjadi destinasi pertama kami. Dan kemudian saya tahu kenapa Pulau Pari adalah tempat yang cocok untuk keluarga terutama dengan anak-anak yang masih kecil. Pantai yang landai menjadi andalan Pulau Pari. Pemandangannya buat saya pecinta laut tapi ga bisa berenang  tentu menyenangkan, karena airnya tenang tapi tetap luas dan bisa berjalan di air hingga jauh karena dangkal. Di sana sini disediakan spot foto seperti ayunan dan gazebo di atas air. Pasir putih dan tebaran rumah-rumah keong menjadi objek kesibukan anak-anak. Selebihnya mereka menikmati bermain air mumpung ga ada yang larang.



Pada kesempatan ini, saya hanya bawa si bungsu. Yang lain sama bapaknya hehehe ... Saya sih sudah kebayang, kakak-kakaknya pasti akan langsung menghambur ke air dan betah berlama-lama di sini. Di bagian pantainya juga banyak gazebo atau sekadar kayu untuk duduk-duduk di bawah pohon.


Usai shalat jumat di masjid yang persis di depan homestay kami dan menyantap makan siang yang sudah disiapkan katering di sana, kami melanjutkan kegiatan yaitu snorkling. Saya sih sudah niat mau nyemplung aja, ga mau snorkeling. Pengalaman diajarin snorkling di Pulau Umang ga berhasil karena kata instrukturnya saya berhalusinasi ^^ ya saya percaya aja sih, secara saya suka ngayal memang.


Perahu mesin membawa kami hampir setengah jam mencari titik yang tepat. Para peserta lain diberi briefing singkat terkait penggunaan perlengkapan snorkeling. Pengajar laki-laki langsung menyentuh air, sedangkan yang perempuan butuh waktu sejenak sebelum ikut nyemplung. Baju yang mereka pakai sepertinya sudah di-setting agar tidak berat saat terkena air walau mereka pakai celana panjang juga di dalamnya. Jarang-jarang kan lihat orang nyelam sambil pakai gamis lengkap dengan kaos kaki, ada yang puasa pulak.


Dengan dipancing potongan roti maka datanglah berbondong-bondong ikan-ikan cantik. Kegiatan lihat-lihat ikan ini mungkin terdengan sederhana tapi ga tahu kenapa, bisa lama loh mereka di air. Terkadang mereka naik ke perahu hanya untuk berjemur lalu masuk lagi demi dapat foto di bawah air oleh pemandunya. Saya? Nyemplung juga, tapi pegangan terus ke tangga hahaha .... demi konten.


Ada beberapa hal yang diingatkan pemandunya, seperti: Ga perlu lompat kalau mau masuk ke air, karena dangkal. Lalu ikan-ikan cantiknya ga boleh dibawa pulang yaaa ... waduh anak laki saya pasti kebelet mau ditangkap ikan-ikan cantik itu.


Rasanya ingin terperangkap di dalam laut lebih lama. Merasakan ekor-ekor ikan menggelitik tangan, tapi yah memang sudah waktunya kembali karena ada perahu lain yang datang. Terlalu ramai pun tidak akan menyenangkan bagi ikan-ikan itu.


Sekembalinya kami ke pulau pari, kami menolak beristirahat. Lanjuuut ke Star Island. Rupanya pantai ini banyak bintang lautnya. Bikin gemes ingin foto bareng. Namun perlu diingat, bintang laut itu ga bisa lama-lama diangkat dari air ya ... Ia makhluk hidup loh, bukan properti foto. Sayangnya di pantai ini kok ga terasa terlalu playful kaya di Virgin Beach ya... walau ada lebih banyak properti foto di sini. Tapi view menuju ke sananya lebih banyak hijau-hijau, bukan rumah penduduk. Kami pun tak lama di sana dan kembali ke Virgin Beach.




Di Virgin Beach kami mencoba naik perahu melintasi hutan bakau sambil menanti matahari terbenam. Amboooi .... Saya banyak berharap, baterai ponsel saya tidak habis di saat-saat indah itu... Sungguh menyesal tidak membawa power bank. Sesekali kami turun dari perahu dan nyemplung ke air karena mau foto-foto.




Malamnya kami kembali lagi ke Virgin Beach, hanya saja kali ini saya tidak mau lagi naik sepeda. Lecet sana-sini. Rupanya walau di kiri kanan jalan menuju Virgin Beach sudah bersiap tidur, tetapi di area pantai juga tidak sepi saat malam. Beberapa orang ada yang berkemah, sibuk bermain voli atau barbecue di sana. Suguhan ikan-ikan bakar juga berlimpah, bahkan kami dapat limpahan dari rombongan lain. Lumayan lah, buat menu sahur kawan-kawan yang masih lanjut puasa asyura nya.


Pagi pun menjelang dan saya mencoba menjelajahi sisi lain pulau Pari. Lebih ke arah matahari terbit. Adalah Bukit Matahari yang menjadi spot andalannya. Pantainya penuh sampah rumah kerang, sampah alami sih tapi kan sakit kalau terinjak. Namun, viewnya, luar biasa. Kamera ponsel jadi bisa menghasilkan foto bagus (menurut saya). Sambil menikmati matahari, saya melihat satu per satu pendatang baru bersandar di dermaga. Dan ternyata memang benar kata si agen, Sabtu menjadi hari yang ramai di Pulau Pari. Terlebih ketika kami melihat tidak hanya 2 tapi 6 kapal sekaligus datang, belum termasuk speedboat. Wow, sungguh kami lega bisa berkesempatan menikmati Pulau Pari tanpa harus berebutan spot.




Sengaja aku tinggalkan asa di pulau itu. Berharap bisa kembali sambil membawa anak-anak pecicilan yang tak ikut hari itu. They will love it. For sure.