Sabtu, 06 Desember 2014

Festival Pembaca Indonesia, Akhirnya ke Museum Nasional

Akhirnya ... Oh akhirnyaaa ... Setelah beberapa kali gagal ke Museum Nasional dan melewatkan berbagai acara keren di sana, hari ini dengan tekad bulat akhirnya berhasil. Tumben. Iya, soalnya seharusnya saya liburan ke puncak sama teman-teman, eh gagal. Dan kedua, karena suami ke luar kota jadi ga butuh banyak kepala buat mewujudkannya. Yang penting dah dititipin duit hihihihiy ....

Acaranya lihat dari facebook, tumben teman saya ngeshare hehehe. Soalnya ada workshop foto buat para traveller blogger. Begitu saya baca posternya, ada pojok anak. Yes. Lumayan deh buat alasan bawa anak-anak ke situasi baru.

Dari hari Jumat anak-anak sudah di-briefing kalau mau ke Museum Nasional. "Ada festival, ya?" "Ada panggung?" "Ada tempat main, ga?" dan masih sederet pertanyaan lagi dari si sulung. Saya sendiri sudah lupa apa isi Museum Nasional atau dulu saya lebih tahu dengan nama museum Gajah.

Begitu keluar dari taksi,  beli tiket dulu. Saya cuma dikenakan satu tiket dewasa seharga Rp5000,- bocah-bocah ga dihitung. Mahalan taksinya hahaha ....

Begitu masuk, anak-anak langsung menghambur ke arah dalam yang membawanya ke sebuah taman di tengah-tengah gedung tersebut. Sebelum menapaki taman, anak-anak dah sibuk dengan banyak sekali patung di lobi belakang. Patung dewa dewi dari masa kerajaan ratusan tahun silam jadi sesuatu yang baru buat mereka. Pada bagian ini memang lebih banyak patung dewa dewi, sayang keterangan tidak lengkap sehingga saya kesulitan menjelaskan alasan kenapa dewa ini menginjak orang, kenapa dewa itu injak kerbau, kenapa ada kerbau di balik patung dewa itu, dll.

Sampai di taman, anak-anak lebih bersemangat lagi sehingga beberapa kali harus saya ingatkan untuk tidak injak rumput dan manjat-manjat. Pada taman yang disebut taman patung oleh Malika itu lebih banyak patung hewan, lingga, prasasti, bagian dari wadah air untuk pemandian raja atau ratu dan sejenisnya. Banyak pula patung yang tidak terdefinisikan. Sebenarnya di sekitar itu ada beberapa ruang koleksi tapi saya bawa ransel bocah dan dianggap terlalu besar, jadi ga boleh masuk. Bagi pengunjung museum sih memang sejatinya menitipkan tas di samping konter pembelian tiket masuk tapi karena saya mau ikut ke acara Festival Pembaca Indonesia, jadi boleh dibawa. Makanya, saya sadar diri saja.

Menuju ruang baru Museum Nasional tempat Festival Pembaca Indonesia digelar, masih ada ruang koleksi. Di sini koleksinya mungkin lebih maju dari masa kehinduan atau beda aliran sama sekali. Diambil dari berbagai daerah di Indonesia. Itu juga hanya lihat bagian depan karena bagian lebih dalam sudah ada satpam. Malah ada yang dijaga tentara juga loh. Maklum, pernah ada peninggalan yang terbuat dari emas yang hilang di sana. Tapi Malika memang lebih suka lihat patung-patung yang tidak masuk lemari kaca, biar bisa dipegang-pegang kali ya.

Keluar dari situ ketemu komputer interaktif yang memberikan berbagai informasi tentang patung-patung yang ada di Museum Nasional. Harusnya sih ini wahana yang menyenangkan tapi karena hanya ada 10 item dan suka hang, jadi kuciwa akhirnya =). Lumayanlah, akhirnya yang ditanyain anak-anak ada yang bisa dijelaskan di sini. Ada game-nya juga loh.

Tiba juga di tempat Festival Pembaca Indonesia. Saya sih sudah incar Pojok Anak. Sudah saya duga stannya tidak penuh pun banyak, jadi bisa saya perhatikan sambil jalan. Di Pojok Anak itu sendiri sudah ada beberapa panitia yang siap menyambut anak-anak dengan kegiatan membaca, mewarnai, melipat kertas, dan merangkai puzzle. Inginnya siy, si pojok ini bisa lebih besar lagi dan dibuat beberapa bagian sesuai kegiatan, terus tiap anak dikasih semacam passport buat dicap. Jadi kerumunannya mobile, ga macet. Next time lah ya. Panitianya juga hangat, Safir setelah beberapa lama jadi berani cerita-cerita dengan kakak Citra, salah satu panitia. Kami diberitahu akan ada dongeng pada pukul 12 siang, tapi sayang sudah lapar hehehe .... Dan di sana ga buka stan makan. Mau jajan di luar, keder di pinggir jalan, nanti bocah2 pada ngibrit, gue keselek bakso.

Stan komunitas pencinta buku ini juga lumayan bervariasi. Catatan dari saya sih, stannya mungkin bisa lebih interaktif. Dihias kek sedemikian rupa. Ga sekadar pajang buku. Ada namanya komunitas Indonesia Hogwarts, kan kebayangnya penuh kostum ala Harry Potter, stan foto-ah ini mah keseringan foto di kondangan hehehe ... Game yang berhadiah pin sesuai tema atau rekruitmen member dengan promo kegiatan. Sayangnya ga begitu. Datar aja. Yang jualan buku juga lagi jenuh habis Book Fair kayanya, terlihat lelah hehehe ...

Yang rame malah sesi talkshow dan workshop. Untuk hari Sabtu ini workshop menulis resensi buku dan foto untuk traveller blogger. Lebih condong ke blogger. Sedangkan jadwal workshop Minggu, 7 Desember, Serunya Dongeng dari Buku, Bermain Kata dengan Tema Kuliner, Penulisan Kisah Remaja, Penulisan Karakter Komik. Untuk talkshownya ada Sejarah di Pulau Kiddo dan Erstwhile: Inspirasi Museum Nasional untuk Dunia. Oh iya, selain itu ada nonton bareng film-film yang diangkat dari novel. Untuk hari Minggu ada Catching Fire bareng Indo Hunger Games dan Breakfast at Tiffany's.

Nah, yang mau datang hari Minggu, jangan lupa keliling museumnya yaaa ....

Senin, 01 Desember 2014

Jelang Final Olimpiade Cerdas

"Indonesia Tambah Pinter di Oktober". Itulah slogan bulanan Rajawali Televisi dan menandakan dimulainya seri pertama Olimpiade Indonesia Cerdas. Kami (baca: saya dan dua anak balita) sudah mengikuti sejak pertama, walau dipertengahan sempat absen karena anak-anak jadi ngejogrok kelamaan di depan televisi dan baru main lagi jam setengah 9 malam. Kebayang dong baru mau tidur jam berapa ^^'.
Malam ini sudah babak final, jadi izinkan saya bernostalgia sedikit.
1. Acara
Acara ini dari episode ke episode terlihat berusaha membenahi diri untuk menjadi semakin baik. Cerdas cermat modern ini juga disesuaikan dengan rasa modern.
Penggunaan tablet bagi pembawa acara dan layar sentuh juga sistem barcode untuk babak kotak katik. Dalam setiap episode memang ada tiga babak besar, yaitu pertanyaan rebutan, kotak katik, dan apalagi ya lah lupa, jadi semacam menyusun tiga kotak benar dari 25 kotak yang tersusun.  

Pesertanya terdiri dari dua, yaitu pemain dan suporter. Pemain terdiri dari tiga orang sedangkan suporter kayanya 15 orang. Suporter ini bertugas melakukan yel-yel utama, lalu teriakan semangat ketika setiap kali benar atau salah menjawab. Pada akhir acara akan ada yang namanya suporter terbaik. Nah biasanya yang menang suporter terbaik adalah tim yang tidak lolos ke babak selanjutnya.

Memang, dari tiga tim yang bertanding hanya dua tim dengan nilai tertinggi yang lanjut ke babak kompetisi selanjutnya. Untuk musim pertama ini, pesertanya masih di wilayah Jabodetabek. 

Hadiah pun berkembang. Kini suporter terbaik mendapat uang satu juta rupiah. Lalu bagi penonton di rumah ada kuis via twitter.

Bobot pertanyaan pun kian sulit tiap babaknya. Pada babak pertama, saya masih sering ikutan jawab. Begitu sudah babak penyisihan kedua, mulai keder. Malika dan Safir terpaksa menerima kenyataan bahwa Amynya tidak selalu benar. Hahaha ...

Oh iya dengan kenyataan bahwa MAN Insan Cendikia masum final bersamaan dengan SMAN 28 dan SMAN 1 Depok, saya mengubah pandangan saya terhadap institusi madrasah.  Maklum, pada zaman saya madrasah lebih sering jadi 'buangan' bagi mereka yang tidak masuk negeri. Jadi yaaah gitu deeeh. Tapi melibat anak-anak Insan Cendikia ini, saya salut banget. Kaya anak pesantren pinternya =D

Oh iya, melihat para pemain ini saya jadi punya semacam catatan. Adalah lazim menempatkan orang-orang pintar sebagai wakil, nah seringkali orang yang pintar bangetnya ada satu, jadilah dominan menjawab sedangkan kiri kanannya jadi hiasan. Yang repot adalah ketika si orang pintar banget over confidence lalu salah jawab berkali-kali hingga down, si pendamping itu tidak bisa berbuat apa-apa.

Atau ada juga yang sifatnya spesialisasi. Jadi ketika ditanya, "kenapa ga tahu kalau alpukat itu mengandung vit. C?" dijawabnya, "saya ga menguasai biologi." Hadooooh ...
Strategi juga perlu di sini. Lama berkutat di pertanyaan yang sama dan salah melulu itu selain buang waktu juga buang nilai.

2. Pembawa Acara
Pembawa acaranya adalah ibu Nirina Zubir. Eks VJ MTV ini didapuk jadi pembawa acara acara cerdas cermat versi 2014. Awalnya sempat ragu, kok kayanya profilnya ga pas, harusnya jadi presenter acara parenting, dsb. Namun seiring berjalannya waktu, Nirina ini semacam pelepas ketegangan, biar tetap ceria pesertanya. Apalagi kalau sudah memberi ide untuk 'punishment' di sesi ask friends.

Toh pada awal kemunculannya ada saja yang ingin saya kritik. Ya basket lah, ya underwear kekecilan lah-jd nyiplak di short dress yang ketat >.< Sekarang sih setidaknya dah 'pas' walau tidak bisa dibilang syar'i.

Dengan sedikitnya waktu, Nirina juga masih harus beradaptasi kala membacakan pertanyaan. Maklum, kalau sudah soal MIPA, masih suka keserimpet. Kadang sih saya pikir suka ada pertanyaan yang terlalu panjang.

3. Juri
Ya, ada juri. Apa sih kegunaan juri ini? Apa ya, sebagai pemberi kebijakan. Walau sebenarnya sempat agak tricky juga, antara kasih 'clue' atau bikin bingung peserta. Yang pasti di akhir pertandingan setiap tim mendapatkan umpan balik dari para juri. Juri utamanya adalah Ira Kusno yang ditemani bergantian antara Erwin Parengkuan, Shahnaz Haque, dan Alya Rohali.

Kalau mau berpendapat, awalnya saya pikir ibu Ira ini rada lebay. Macam guru galak gitulah. Seiring berjalan waktu saya harus belajar menerima dirinya apa adanya hehehe ...

Ya gimana dong, mungkin dia orangnya memang perfeksionis bin ambisius. Sehingga pernah memberi kritik pada yel-yel suatu sekolah yang menggunakan kalimat: menang kalah sama saja. Lalu ditanggapi oleh Ira, "itu bukan mental juara. Seharusnya, kita harus menang! Makanya kalian kalah."

Atau ketika ada peserta yang tidak bisa jawab, dia akan kritik, "harusnya kamu bisa jawab ini!"

Pernah juga dia lebih keras lagi, ketika satu tim diberi pertanyaan berupa video Slank menyanyikan "Juwita Malam" nah pertanyaannya adalah, siapakah penciptanya?

Saat itu keadaan sedang tegang dan dalam ketegangan itu si jubir tim menjawab, "bukan saya". Doeeeeng!!!!

Mba Ira pun bereaksi, "ini etalase orang cerdas. Kalau tidak tahu lebih baik diam." beuuuh ....

Untung timnya masuk final, hahahaha ....

Ya suds, nanti malam jangan lupa nonton yaaa. Jam 19.00 di Rajawali Televisi or rtv. Habis nonton ini terus lihat lanjutan acaranya yang isinya kuis selebritis berasa koslet deh otaknya. Hahaha ....

Rabu, 26 November 2014

Amy's Story: Dan Safir berkata, "aku mau jadi cewe!"

Pada suatu hari, Malika menemukan bando miliknya yang sudah lama tidak kelihatan. Melihat itu, Safir langsung mendekati kakaknya dan memaksa kemudian merengek ingin meminjam.
"Jangan dek, ini punya cewe." jawab si kakak.
"Nanti adek udah gede baru boleh pake itu?" sahut Safir.
"Ya ga lah de, kan adek tetap jadi cowok." balas saya.
"aaah, adek kan mau jadi cewek," jawab Safir bersikukuh dan kemudian merengek.

Mengalami adegan itu plus saat itu sedang ramai-ramainya berita transgender, saya jadi teringat episode-episode di Oprah Show. "Apakah Safir sedang berada di usia ketika dia memertanyakan kelaminnya?" ngeri-ngeri gimana gitu ketika membayangkan pertanyaannya. Maklum di banyak wawancara Oprah, kebanyakan LGBT merasa sudah berbeda di usia 4 tahun. Nah rada miriplah dengan Safir yang tiga tahun.

Belun lagi, Safir ini berparas perempuan dengam bulu mata lentiknya. Dan tak jarang dia ikut memegang mainan awal kakaknya yang serba pink dan hellokitty. Namun karena ayahnya parno, kami mulai membelikan mainan netral. Biar bisa dimainkan bersama. Dan melihat Safir yang mulai suka superhero, harusnya sih lebih kelihatan cowo. Kecuali tentu saja ketika dia memilih menjadi princess Anna karena ingin memainkan adegan "do you want to build a snowman". Kakak Malika jadi queen Elsa, adiknya ya jadi adeknya Elsa lah. Begitu kira-kira. Yah daripada kakaknya jadi Anna, Safir jadi Kristoff, jadi ciuman mereka. Hadoooh ...

Lalu adegan seperti ini berulang lagi. Kali ini objeknya bandana. Dan ada ayahnya turut menyaksikan.
"manusia itu kalau dilahirkan cowo ya cowo terus sampai tua," kata saya mencoba memberi pandangan.
"gak, adek mau jadi cewe kalau sudah gede!" kakinya dihentak-hentak.
"ya, ga boleh, de," jawab kami mulai putus asa.
"adek kan mau jadi kakak!"
Tiba-tiba seperti tanpa sengaja menemukan pasangan puzzle yang pas.

Sejak positif dinyatakan hamil lagi, saya memang sudah sejak awal memberi tahu Safir bahwa dia akan punya adik.
"wah safir sebentar lagi mau jadi kakak."
Safir menolak.
"ga mau. Safir mau jadi adek."
Lalu kami ganti.
"wah bentar lagi dipanggil abang Safir dong."
"ga mau, maunya dipanggil adek Safir aja!"

Saya rasa Safir agak bingung dengan konsep kakak-adik ini. Dia mungkin bertanya-tanya kok bisa ganti-ganti dari adik jadi kakak. Mungkin. Makanya dia menolak.

Nah pernyataan Safir itulah yang mengingatkan saya akan hal ini. Jangan-jangan dia pikir menjadi kakak itu berarti menjadi seperti kakak Malika termasuk gendernya.

"ya ampun de, jadi kakak itu bukannya jadi cewe. Itu loh jadi mamas. Kaya mamas Aldi, mamas Dipta..." saya menyebutkan nama para sepupunya. "mereka kan tetap cowo."

"adek ga mau dipanggil mamas!"
"ya udah deh, abang."
"ga mau!"
"kalau uda?"
"udah? Udahan? Udah ngapain?"

Jiaaah ....

Selasa, 25 November 2014

Membaca Iklan di Singapura

Ini sedikit oleh-oleh dari kunjungan singkat saya ke Singapura beberapa bulan lalu. Cuma dikiiiit ... Soalnya memang ga pergi ke banyak tempat.
Sebenarnya kebiasaan membaca iklan atau himbauan ini suka saya lakukan kalau pergi ke mana pun. Hanya saja karena tujuannya domestik jadi saya sering terkendala bahasa, alias bahasa daerah. Nah kalau di Singapura kan pakai bahasa Inggris jadi masih bisa dimengerti lah. Himbauan-himbauan semacam ini bagi saya seperti memberi informasi lebih terkait situasi kondisi masyarakat di sana.
Kali ini saya hanya bicarakan soal iklan atau himbauan yang terletak di sekitar MRT atau Singapore Indoor Stadium, yah soalnya cuma di situ-situ aja siy saya hehehe ... Sayangnya, insting reporter saya masih kurang, jadi tidak satu pun yang sempat saya foto.


1. Help Them to Get There
Ini adalah sebagian kalimat dari iklan layanan masyarakat yang tertempel di atap MRT. Subjek utamanya adalah terkait para penderita cuci darah. Biasanya penderita cuci darah ini harus menyandang status ini hingga akhir hayat, sehingga bisa dibayangkan berapa kali dalam sebulan mereka harus ke klinik cuci darah. Nah, iklan layanan ini adalah himbauan memberikan bantuan materiil atau nonmateriil agar mereka tidak terbebani.

hmm ... Ga tahu ya, mungkin di sana juga semua sudah ditanggung asuransi, kecuali ya ongkos =) Sedangkan di Indonesia sendiri kayanya baru agak lega sejak BPJS, biaya cuci darah ditanggung. Belum sampai ke detail. Seperti yang pernah saya dengar dari saudara bahwa oleh karena proses cuci darah yang membutuhkan waktu berjam-jam, para pengantar dilanda kejenuhan sehingga kemudian menciptakan kesibukan bersama.


2. Put Down Your Bag, So There are More Room for Others
Saya lihat stiker ini ketika kebetulan masuk gerbong MRT yang khusus orang berdiri semua alias ga ada bangkunya. Saya jadi teringat julukan seorang petinggi perusahaan pada manusia beransel alias dinosaurus modern. Yang paling berasa kalau di lift, sedangkan di kereta kita orang cenderung menaruh ransel ke dada demi keamanan.

Nah kalau di Singapura malah disuruh taruh di bawah. Ya wajar, di sana orang berdiri sesuai jalur pegangannya. Ga bisa dibandingkan dengan CL kita yang bisa tiba-tiba berada di tengah-tengah gerbong tanpa tahu harus berpegangan ke mana.


3. Put Your Tray Back
Label ini tertempel di meja tempat saya makan di foodcourt mal di seberang SIS. Jadi, habis makan taruh lagi baki beserta isinya ke station khusus untuk itu.

Hmm entah karena foodcourtnya kecil atau apa, tapi himbauan ini cukup efektif sehingga para pelayan cukup berjaga di sudut yang cukup besar. Jarang deh lihat tumpukan sisa piring minta diambil dari meja. Jadi ga jorok juga kelihatannya.

Dan sudut khususnya pun sudah dipisah antara baki halal dan nonhalal. Coba tuh. Ah, kita kapan yak?


4. Stand Up Lucy
Sebenarnya pakai hastag tapi saya ragu benar atau tidak tulisannya. Saya tidak sempat baca dengan saksama karena baru terlihat saat hendak turun dari MRT. kayanya sih berkaitan dengan gender, alias ajakan bagi para wanita agar mau memberikan tempat duduk pada kaum prioritas.

Yang anak kereta or transjakarta pasti tahu dong, persaingan tempat duduk di bagian khusus wanita itu cukup sengit karena semua merasa paling berhak. Sering mereka lupa, bahwa menjadi wanita ga berarti jadi prioritas (itu hanya berlaku buat cowo) apalagi difabel. Di bagian ini memang diuji sangat siapa yang paling gentle(wo)man.


5. Watch Your Step
Ini ada lagi sambungannya, lupa. Ini himbauan bagi para pengguna gadget dan headphone agar lebih peka pada sekitar biar ga tabrakan. Oleh karena sistem MRT yang sudah demikian teratur sehingga bagi pengguna rutin tentu sudah hapal jalannya, makanya sering abai.

Kalau di Jakarta bisa dilihat di area perkantoran atau mal, kalau di jalan raya masih belum berani, ntar tahu-tahu disamber motor yang lawan arah lewat trotoar (duh).

Saya saja suka gemas sama mereka yang sudah sibuk sama gadget dari sebelum masuk lift sampai keluar. Main keluar aja, ga lihat ada ibu-ibu bawa stroller di barisan paling belakang dan kemudian harus buru-buru hold pintu lift dengan tangan gurita agar bisa keluar.

Yah semacam itulah. Dari sedikit yang saya lihat, setidaknya topik himbauan ini rada move on dari di Jakarta yang dari tahun ke tahun isinya 'jangan buang sampah sembarangan' ^^' Soal tingkat kepatuhan, hmm ga tahu ya. Kurang lama di sananya hehehe ...

Kalau ada salah-salah kata mohon dimaafkan, memang harusnya difoto, mianhae ^.^ Yang mau memberi info lebih terkait himbauan ini silahkan, saya juga cuma laporan pandangan mata, ga pakai investigasi hehehe ...
Permisiii ....

Senin, 24 November 2014

Ketika si Kidal Terkunci di Kamar Mandi

Suatu hari Safir tengah dimandikan Amy, tapi kemudian dia lebih banyak rewelnya sehingga menghambat mandinya. Akhirnya, Amy tinggalkan di kamar mandi agar dia bisa terserah melakukan apa saja yang dari tadi dia ributkan. Pintu ditutup supaya ga becek-becek keluar. Eh, si bocah malah tambah rewel, berusaha membuka pintu tapi gagal dan akhirnya terkunci.

Kenop kamar mandi kami yang bulat dan tidak pernah ada kuncinya sejak awal kami serah terima. Kalau terkunci dari dalam sebenarnya ga masalah kalau ada orang, tapi kalau Safir yang di dalam kayanya sama juga bohong. Biasanya saya gunakan obeng untuk membuka pintu yang terkunci dari dalam, tetapi kali ini taktik tersebut tidak berhasil. Kunciannya dol.
Sudah keringetan, Safir di dalam yang tadinya gedor-gedor dengan semangat pun kini hanya terdengar tangis pelan-pelan. Saya menyerah dan akhirnya memanggil teknisi ke customer service.

Butuh beberapa saat juga bagi teknisi itu untuk membuka pintunya. Dan ketika terbuka, Safir sudah duduk sedih di kloset.

Usai kejadian tersebut, saya bertanya-tanya sendiri kenapa Safir sulit sekali membuka pintu kamar mandi. Padahal kamar yang lain juga menggunakan kenop bulat dan ketinggiannya pun sama, apa yang membedakan?

Setelah beberapa kali ujicoba, saya akhirnya mengerti. Sesuatu yang sudah lama saya pindahkan dari otak sadar saya, kenop di kamar mandi memiliki perputaran berbeda untuk membuka dan menutup ketimbang kenop di kamar lain. Penting, ya? Buat para kidal ini penting. Tidak ada buku panduannya, tetapi kami mengalami banyak sekali penyesuaian untuk bisa hidup di dunia 'kadal' ini.

Safir memang punya kecenderungan kidal. Saat mewarnai, dia pernah sesekali menggunakan tangan kanan tetapi kemudian cepat lelah. Dan di usianya yang tiga tahun, konsep ruang masih menjadi pe-er baginya. Sehingga wajarlah untuk mampu membuka pintu kamar mandi sepertinya dia masih harus berusaha lebih keras lagi.

Para kidal memang memiliki konsep atau definisi soal ruang dan arah. Titik kemiringan kami berbeda, sudut pandang kami berbeda. Kami lebih suka keluar lift dari arah kanan dan masuk dari arah kiri. Kami lebih suka berputar berlawanan arah jarum jam, dsb. Ini jika kami membiarkan otak bawah sadar kami yang bekerja. Jangan tanya soal mouse komputer, kursi kuliah, atau sekadar memilih ujung bangku sekolah jika berbagi meja kala SD. Tapi seringkali, kami harus menyesuaikan. Yah mau bagaimana lagi =P.


Yah dan sepertinya Safir baru mengalami beberapa hal baru ini. Bertahanlah, nak, kita pasti bisa =D

My Story: Sendirian, Semalam, di Singapura #2


THE CONCERT, BABY ....

Ketika Ditta datang, VIP mode on. Baru deh kelakuan diatur sesuai pengunjung konser hahaha ... Ngantri di stan samsung, rela dengerin tiga info produk demi pin-pin member YG Family. Berfoto dengan latar poster konser itu hingga akhirnya mengantri masuk.

Ketika mengantri, saya baru sadar. Saya sudah kadung beli banyak snack untuk sekadar oleh-oleh buat anak-anak, karena tahu ga bakal bisa ke mana-mana. Lha, di konser kan ga boleh bawa makanan. Akhirnya saya bongkar tas saya, masukkan kantung besar snak di bagian dasar lalu sumpal dengan baju n bantal travelingku. Begitu dibuka, keamanannya dah males lihat bantal pink itu hehehe...

Sayang saya dan Ditta juga satu temannya berbeda lokasi nonton. Saat terpisah, saya menyempatkan selfie di salah satu balkon yang menghadap panggung. Saya agak malu-malu ketika ada yang menawarkan diri membantu selfie padahal bukan panitia juga. Kasihan kali lihat betapa jadulnya niy hp ga bisa mirror hehehe ....

Sebenarnya dari posisi, mungkin posisi saya paling sial. Lantai tiga di baris terakhir. Itu ujung banget. Dibanding dua tahun lalu, posisi sekarang itu berpuluh-puluh kali jauhnya. Tapi itulah yang terbaik, terlebih waktu itu saya belum tahu sedang hamil, kan. Jadi ini aman juga nyaman. Saat konser dimulai saya menggabungkan pandangan 4 meter dua tahun yang lalu dengan euforia yang saya rasakan di balkon teratas itu.

Serius deh, dua tahun lalu itu saya kaya salah mau joged karena semua orang berebut merekam. Di atas sana, puas-puasin deh joged, istirahat pada grup-grup atau lagu tertentu-inget perut, tapi ga pernah diam kalau Bigbang muncul. Kebetulan saya punya tetangga yang keren. Orang di sebelah saya juga ga berhenti joged dan turut bernyanyi sekeras mungkin. Dia keren banget.

Dan selagi konser itu saya sempat-sempatnya garuk-garuk kepala saat beristirahat dan melihat penonton di depan saya merekam konser tersebut. Itu mah biasa. Yang ga biasa adalah dia langsung share ke youtube. Oh my God, secepat apaan siy internet di sini? Gue unggah video nyanyi di warnet aja kudu tunggu 15 menit. Lha dia dari handphone! Pantaslah banyak yang sutris pas balik ke Jakarta kalau habis tinggal di luar negeri.

Konser itu sendiri? What can i say? Bisa lihat Bigbang plus 2Ne1 plus Psy plus Epic High plus Winner itu dah menu banyak buat saya. Pokoknya closure yang tepatlah. Sesuai judulnya, Family Concert, saya terharu dengan cara setiap grup berkolaborasi atau menyanyikan single grup lain tanpa kehilangan greget. 2Ne1 ga Cuma bikin yang cowo-cowo keringetan tapi juga penonton cewe. Energik binti seksi. Angkat jempol buat Psy yang walau hanya dua lagu yang kita kenal, dia tetap cool n confident, bahkan aksi para dancernya yang paling keren. Inilah namanya entertainer.  Tentu saja saya paling ngakak ketika Bigbang nyaris memarodikan lagu 2Ne1. Serius tapi ga serius. Suara TOP ga ada sumbang-sumbangnya padahal I mean itu TOP kok ya joged gemulai gitu tapi ga asal-asalan. Formasi Bigbang ini sebenarnya ga lengkap karena di malam seharusnya pergi ke Singapura, Seungri mengalami kecelakaan mobil usai menghadiri acara. Inilah risiko jadwal padat n ga pakai sopir. Ada-ada aja dah, untung bukan bias gue. Karena mepet waktunya, jadi bagian nyanyinya digantikan bergantian oleh Taeyang dan Daesung, atau kadang dibiarkan saja. Saya pikir ga ada bedanya tanpa Seungri, tapi ternyata  berasa juga. Aih jadi kasihan, mana jadi tersangka lagi.

Walau Cuma dari bigscreen, I was happy.  Tiga jam konser ga beranjak sama sekali saya dari bangku. Dan yang lebih menyenangkan lagi adalah ketika ada teman untuk berbagi cerita konser yang terjadi barusan. Konser pertama dan kedua saling melengkapi menurutku. Dan saya bersyukur bisa mengalaminya. walau kalau ditengok dari usia rada telat hehehe.

Ada untungnya juga saya bareng Ditta, karena jadi punya pengalaman nungguin para performer itu keluar dari gedung di pintu belakang. Maklum dia stalker. Cuma karena bawa buntut jadi rada ga sukses stalkingnya hehehe maaaaaf ....  Awalnya grup Winner yang lewat, trus 2Ne1, baru kemudian Bigbang. Kelihatan sih, yang senior diantarnya pakai sedan mewah. Yang junior pakai van. Tapi vannya juga mewah sih. Ada sedih tapi gimana gitu ketika melambaikan tangan pada mobil yang diisi TOP. Pengennya sih lari-lari gebukin mobilnya sambil teriak, “this is your baby!!!” ah tapi ga usahlah ya. Ntar yang di rumah gimana dong?


MALAM DI SINGAPURA

Saya memang akhirnya memutuskan mengikuti ke mana Ditta dan temannya pergi karena saya batal bertemu teman SMU saya yang memang menetap di Singapura. Awalnya ingin mampir ke Gardens by the Bay di dekat Marina Bay tapi ketika mampir di Clarke Quay untuk mengambil tas teman-teman saya itu di sebuah penginapan, kami menghabiskan waktu lebih lama karena mereka lupa jalannya, hahahaha ...

Senangnya jadi blogger adalah ketika terjadi sesuatu yang tidak sesuai rencana otaknya langsung berteriak, yes another story in my blog! Jadi walau langkah saya lebih lambat karena lelah dan lapar dan kaki yang sakit karena sepatu yang salah beli, saya menikmati saja berjalan-jalan di malam Singapura. Kadang teringat daerah Thamrin-Sarinah, lalu teringat daerah Mangga Dua-Kemayoran. Malah walau tertinggal jauh, saya sempatkan berhenti untuk mengambil gambar, setelah itu segera berlari karena angka di lampu merah kian menipis.

Akhirnya ketemuu ... dan kami ikhlaskan tidak ke taman. Langsung ke bandara aja. MRT masih penuh orang saat itu. Makanya tidak disangka-sangka ketika berhenti di Tanah Merah untuk kemudian transit, eh keretanya sudah ga ada. Jiah, dua stasiun lagi. Ya suds, naik taksi. Lumayan dapat pengalaman naik taksi. Taksinya bukan taksi fancy, kaya udah lama, kalau di Jakarta mah dah kena blacklist. Dengan hiasan-hiasan patung di dashboard dan supir dengan rambut putih berkuncir, kami aman tiba di Changi.

Tiba di Changi belum bisa melakukan imigrasi. Tutup. Jadi kami segera mencari tempat makan. Sudah jam setengah satu dan saya belum makan dari jam 3, kebayang laparnya. Ngejogrok lah kami di McD. Makan paket burger seharga SGD5 dan belum sempat otak memberi sinyal kenyang, saya sudah ngantuk luar biasa.

Setelah beberapa lama di sana, bosan melihat para wajib militer berkeliaran bawa senapan gede-gede yang konon bertugas membangunkan orang-orang yang bobok di bangku, kami agak masuk ke dalam, mendekat ke bagian tiket. Rupanya di dalam sana banyak juga yang menginap dan sudah meringkuk di balik bangku-bangku panjang dengan selimut tebal. Mereka lebih pengalaman kayanya.

Saya ga pede kalau harus ke balik bangku, jadi yah di atas bangku panjang itu saja saya sekadar mengistirahatkan mata hingga pukul 4. Saya baru tahu loket tiket dibuka 4 jam sebelum penerbangan. Begitu dapat tiket baru deh bisa merasakan fasilitas yang lebih manusiawi. Pijat gratis sama Lee Min Ho, eh ga deng, Cuma mesin bergambar Lee Min Ho, sarapan di Kleeney dan mengecharge handphone. Kami sudah selangkah lagi menuju pulang. Sedikit demi sedikit menggeser folder memori konser ini ke suatu tempat istimewa yang mungkin akan sangat jarang dibuka.


PULAAANG

Yak saya pulang naik tigerair. Perjalanan pulang terasa singkat. Tak sesingkat kala menunggu Damri arah pasar minggu. Uang Singapura saya tersisa SGD10. Hei I made it! Cuma keluarin SGD50! Wuhuuu ...

Dan pulang dengan menebak tepat bahwa akan menemukan dua bocah yang lagi nonton di jam hampir makan siang tapi belum pada mandi plus cucian piring yang tak berubah tingginya di bak cucian hehehe ... Yuk, marii ....


PS: thank you suami, thank you yaw-yaw, n thank you Ditta :D

My Story: Sendirian, Semalam di Singapura #1


Seperti yang sudah diceritakan di postingan sebelumnya, saya sudah ada rencana menonton konser di Singapura pada 13 September lalu, lebih tepatnya YG Family in Concert. Yoi, perusahaan agensinya Bigbang, 2Ne1, Winner, Akmo, dll. Saya sih tentu saja ingin melihat TOP Bigbang (hohohoh....).

Ini sebenarnya rencana saya dalam rangka menuntaskan fantasi saya terhadap si Choi Seung Hyun alias TOP Bigbang. Sejak tahun lalu sudah berencana ingin menonton konsernya di luar Indonesia. KL adalah rencana awalnya, karena saya ingin bawa anak-anak ke Legoland Johor Baru. Sudah berhitung tetapi gagal menabung. Hingga kemudian terbitlah berita bahwa YG entertainment akan melakukan konser gabungan di Singapura. Ini seperti menepuk 2-3 nyamuk dalam satu tepukan!

Hari itu bulan puasa, iseng saya menghubungi salah satu rekan kerja junior saya di eks kantor. Saya tahu dia termasuk yang korean freak di mata saya. Gayung bersambut. Dan ketika saya kesulitan membeli tiket secara online, dialah yang membantu saya. Bukan tiket dengan harga paling mahal, dua tahun yang lalu saya sudah pernah melihat TOP dari pinggir panggung, jadi mundur sedikit ga apa-apalah, kudu realistis dengan bujet soalnya.

Lucunya, awalnya saya berniat tidak mau memberitahu suami terkait mau nonton konser di Singapura ini. Toh, saya hanya izin semalam, ga pake nginep di hotel. Bukannya ga mau bawa anak-anak, ga mampu bayarnya cuy.

Aih tapi rupanya, kartu kredit saya tidak bisa digunakan karena kodenya dikirim ke nomor handphone saya yang lama. Dan dalam keadaan terburu-buru juga kebelet, saya pun meminjam kartu kredit suami. Ketahuan deeeeeh ....

Walau kabar kehamilan ini agak bikin garuk-garuk kepala terutama karena hanya detik-detik menjelang keberangkatan, saya rasa keputusan ini pun dirasa paling tepat, karena saya tidak akan bisa menengok konser apa pun for the next 2 years! So i guess, saya harus benar-benar menikmatinya.


PERSIAPAN

Oke karena saya hanya sendiri berangkatnya, saya berencana hanya pergi dengan satu tas ransel. Hei, kapan lagi bawa ransel yang isinya bukan baju anak-anak? Saya tidak pergi bareng dengan teman saya yang disebutkan sebelumnya, dia pergi lebih dulu. Saya karena status ibu-ibu beranak dua harus menggunakan jadwal paling lambat pergi, paling awal kembali. Hehehe.

Dan jika terlihat dari paragraf sebelumnya, bisa dipastikan keuangan saya sebenarnya lagi ga bagus. Alias pas-pasan. Toh, saya tutup mata ketika memasukkan uang SGD60 ke dompet. Ya, saya hanya bawa segitu ke negara yang termasuk sebagai negara paling mihil di dunia. SGD10 saya minta dalam bentuk recehan alias SGD2, untuk biaya transportasi. Tapi tenang, suami secara sepihak membekali saya uang sejuta pas. Untuk jaga-jaga. “Daripada kamu nanti tiba-tiba telepon nangis-nangis karena ga punya uang.”

Rasanya ingin saya getok dia, tapi yah ada benarnya juga hehehe....

BERANGKAAAT

Pesawat saya berangkat pukul 9 kurang, tapi saya putuskan keluar dari rumah usai subuh. Menghindari anak-anak bangun yang kemungkinan akan menimbulkan drama. Suami sudah memanggil keponakannya sebagai bala bantuan. Kaos bergambar dua kartu King Queen dengan wajah saya dan TOP pun sudah diprint dan dipakai. (thanks to my big bro yang bersedia melakukan digitalisasinya walau sang istri lagi sakit).


Hari masih gelap begitu keluar Kalibata City. Saya menghentikan mikrolet yang berjalan cepat menuju lampu merah dan di sanalah saya menunggu damri. Saya baru tahu bahwa di jam segitu pun ada orang yang menawarkan tumpangan, yah ga tahu deh ini tawaran baik atau tidak. Toh saya hanya butuh damri. Sekitar 10 menit kemudian, damri itu pun datang dan membawa saya tiba di Soetta terminal 3 dalam waktu 45 menit.

Bandara. Rasanya saya tidak bisa dan tidak boleh berputar haluan. Saya bukan orang yang sering  menggunakan pesawat. Jika dihitung-hitung, saya baru menggunakan pesawat selama 4 kali dalam hidup saya. Jadi saya kurang pede dengan sistematisasi bandara. Maklum, bisa dikatakan saya jarang sekali bepergian jauh sendiri. Ke luar kota yang saya jalani sendiri adalah ke Bandung, itu pun selalu dijemput teman di stasiun. Saya selalu nyasar. Saya mudah melupakan sesuatu. You know, clumsy little sister. Ini seperti pengalaman yang tertulis di buku 30 Paspor (dan kebetulan saya mengedit seri keduanya hehehe). After this, saya benar-benar ingin mengajarkan anak-anak saya untuk berani dan pintar saat bepergian sendiri sedini mungkin.

Oke, hanya ada saya dan print out tiket. Use your eyes and ears, Ati. Saya mengantri tiket, imigrasi dan kemudian akhirnya duduk di ruang tunggu. Fiuuuh .... Saya naik Lion Air saat itu. Usai mendapat kursi yang persis di samping jendela (alhamdulillah), saya pun menunggu. Peringatan untuk mengenakan sabuk karena pesawat akan terbang sudah terdengar. Saya keluarkan sebatang kumpulan sugus untuk menghindari sakit kuping saat pesawat lepas landas dan mendarat. Dan rupanya itu pilihan yang salah. Harusnya saya beli permen karet saja. Untuk lepas landas pun pesawat mengantri, saya sudah kadung mengunyah sugus yang cepat sekali larut di mulut. Entah berapa sugus yang akhirnya saya makan hingga pesawat benar-benar lepas landas.

Sebenarnya saya tidak berhenti khawatir hingga kemudian  saya melihat catatan yang dibuka seorang bocah yang duduk di samping saya. Singapura adalah negara yang disiplin dan teratur. Okehlah, teratur, setidaknya ketika saya tersesat, saya tidak tiba-tiba berada di negeri antah berantah. Toh, saya ada teman yang hendak dikunjungi di Singapura dan tentu my partner in crime si sesama korean freak.


SINGAPURA, AKU DATANG

Yeah, like who care?

Dipijak juga bandara Changi ini. Saya tiba sekitar pukul 11 waktu Singapura. Ada sedikit sedih ketika turun dan melihat penumpang lain berfoto-foto dengan teman atau keluarga, sedangkan saya? Sepertinya terpaksa selfie, saya butuh dokumentasi untuk laporan saya hehehe....

Tentu saja tujuan utama adalah kloset. Mumpung masih di tempat yang jelas segala sesuatunya, mending dituntaskan saja di sini. Keluar dari restroom, senyum saya merekah lebar melihat deretan komputer. Oh yes baby, free internet. Ah, noraklah saya. Ya, gimana dong, pulsa saya hanya diisi Rp100000,- dan akan berada dalam flight mode hingga saya kembali ke Jakarta. Free internet adalah bentuk penghematan. Nah biar ga terlalu kelihatan ngiler, saya mampir ke sampingnya, ada rak brosur bandara. Bandara Changi kan memang terkenal memiliki hiburan yang lebih lengkap ketimbang Soetta, jadi yah pantaslah ada buklet yang menerangkan berbagai tempat kebanggan Changi. Saya duduk manis di sebuah bangku panjang sambil lama memerhatikan buklet tersebut. Barulah setelah itu, saya berjalan sok cool ke deretan komputer itu.

Halah, siapa juga yang liatin sih?

Komputer itu bisa digunakan selama 20 menit secara gratis, setelah itu mati dengan sendirinya. Kok bisa? Bisa dong, pasang kompi tersebut di meja dengan ukuran tinggi yang aneh dan tanpa bangku, maka Anda tidak akan mau berlama-lama di kompi itu hehehe ....

Saya gunakan saat itu untuk menghubungi teman saya, sekadar mengkonfirmasi apakah kami jadi ketemuan. Mengingat teman saya itu juga ada acara di tempat yang jauh dan konser yang saya datangi usai cukup larut. Mengirim pesan pada si korean freak, aih kusebut saja namanya, Ditta. Pegel pula awak nih. Pasang status norak yang menunjukkan lokasi. Dan sebenarnya itu cara saya mengatakan pada orang-orang yang memikirkan saya bahwa saya baik-baik saja.

Setelah itu, saya menyempatkan diri berkeliling Changi. Sekadar meluruskan kaki sekaligus pemanasan sebelum melakukan banyak aktivitas jalan kaki di Singapura. Yah overall, kaya mall lah Changi ini. Pemandangan luarnya biasa saja, cenderung gersang, tapi mereka membuat gemerlap di dalam, yah bolehlah. Ini namanya meningkatkan kualitas hidup secara mandiri.

Saya sebenarnya tertarik dengan tur gratis keliling Singapura selama dua jam yang ditawarkan Changi. Namun, sayang hanya berlaku bagi yang melakukan transit di Singapura selama 5 jam. 

Hanya berjalan-jalan sebentar tapi waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Saya setidaknya harus sudah ada di venue di Singapore Indoor Stadium pukul 4. Jadi, kalau mau jalan-jalan, kayanya harus keluar segera dari bandara.  Lalu saya berkeliling lagi, bukannya apa-apa, saya tidak tahu ke mana jalan keluarnya. *tepok jidat

Yah sudahlah, tanya saja.

FYI, saya itu rada parno sama segala bentuk pegawai semacam SPG, SPB, pegawai informasi, customer service, dan semacamnya. But i have to ask, kalau tidak mau ngider-ngider ga jelas. Yah sudah, saya tanya, “How do I get out of here?” oh Amy, tidak adakah kalimat berbahasa Inggris yang lebih baik dari itu?



Antrian di imigrasi cukup panjang dan lama. Saya lama menghabiskan waktu berdiri sambil melihat peta promo tempat wisata di Singapura, yang tadinya mau ke taman ini itu akhirnya fokus ke SIS saja mengingat sudah lama sekali saya mengantri dan ini sudah jam setengah 1. Perut mulai lapar. Bumil harus sering ngemil tapi diingatkan teman bahwa tidak boleh makan sembarangan di Singapura. Hadooooh.

Akhirnya saya tiba di hadapan petugas imigrasi. Cewe keturunan India. Baru ganti shift jadi segar banget. Sesegar pertanyaan tegasnya soal alasan saya tidak menuliskan alamat di Singapura. Yah, saya bilang saja, “konsernya baru selesai jam 10 malem kali neng. Pesawat berangkat jam 8. Ngapain juga bobok di hotel.” Hehehe, ga gitu juga sih ngomongnya. Lalu dia minta bukti tiket konser. Syukur ga lupa di print tuh tiket. Akhirnya saya boleh pergi asal meninggalkan nomor handphone, dan kayanya saya salah menuliskan nomor :p


DEBUT di MRT

Perlu bertanya pada satu petugas informasi lagi untuk akhirnya menemukan stasiun MRT yang memang terhubung langsung dengan bandara. Ini adalah sesuatu yang sangat praktis. Saya yang sudah girang ada transjakarta yang berhenti di Ancol dekat Dufan ini tentu kaya ketemu sebuah solusi paling cihuy ketika ketemu MRT. Apalagi saya menghabiskan banyak tahun menjadi anak kereta.

Namun yang pertama kali harus saya lakukan adalah, beli tiket. Saya sudah diberitahu soal mesin tiket, nah masalahnya saya tidak tahu cara menggunakan mesin tersebut. Mana tangan gue bau. Nanti saya digalakin pula sama orang Singapura yang dalam otak saya cukup galak jika menyebabkan antrian panjang.

Jadi saya lihat satu pasangan tengah mencoba menggunakan mesin tersebut. Kayanya mereka juga bingung. Ah mumpung sepi, saya coba mesin di sebelahnya. Daaan saya bengong. Dari pantulan mesin itu saya melihat ada yang mengantri di belakang saya, saya pun menyingkir dan membiarkan lelaki berbackpacker itu menggunakannya terlebih dahulu, sedangkan saya mengamati dari samping.

Tentulah lelaki ini sadar saya memerhatikannya dan usai dia dapatkan tiket, dia tanya pada saya apakah saya tahu cara menggunakan mesin tersebut dalam bahasa melayu. Saya menggeleng. Lalu dia pun menjelaskan. Which was pretty easy. Layar awal tekan pilihan “tiket regular”, lalu akan muncul rute MRT. Pilih lokasi, terlihat digit nominal di kiri atas, masukkan uang, lalu keluarlah tiket beserta kembalian.
lelaki bercelana pendek paling kanan adalah orang yang membantuku menggunakan mesin tiket MRT

Saya baru tahu belakangan ada cara yang lebih mudah lainnya dari Ditta. Dia pakai flazz card kalau ga salah. Jadi tinggal tap dan tap, ga perlu antri mesin tiket. Lain lah kalau sudah pengalaman.

Berbekal aplikasi MRT di handphone dan peta kecil di tangan, saya naik MRT menuju station Stadium.

Use your eyes and ears. Terngiang-ngiang di kuping saya, hingga kemudian saya sadar terlalu banyak menggunakan eyes ketimbang ears ketika MRT yang berhenti di Tanah Merah melaju mundur, kembali ke stasiun Expo. Kupingnya, Ti. Udah ada yang ngomong nih kereta Cuma sampe Tanah Merah, habis itu kudu transit.

Yah sudah, naik dari Expo, bisa juga kok. Yah lumayan lihat langit Singapura lagi, namanya juga MRT, sebagian besar di bawah tanah dan tertutup, ga ada pemandangan.  Cuma di Expo kita bisa lihat deretan apartemen macam Kalibata City Cuma dengan jendela lebih besar, tingkat lebih rendah, dan ga ada mobil yang parkir di bawahnya. Ah teringat mumetnya parkiran di Kalibata City. Orang sini jarang punya mobil kali ya?

Di MRT itu saya jadi punya kesempatan melihat bermacam-macam orang. Melihat aturan-aturan yang berbeda dengan di Jakarta. Bayangin, denda makan di tempat yang dilarang itu SGD5000, beda berapa nol tuh sama SGD50 yang saya selip di dompet?

Nyengir sendiri melihat oma-oma masuk MRT, lalu berdiri dan ... ngapain coba? Nonton film di smartphone-nya. Dia ga pake tablet segede gambreng loh ya. Smartphone-nya ga beda jauh dari milik saya. Kaya sinetron dokter-dokter gitu.


TIBA DI TKP

Station Stadium. Akhirnya sampai juga. Berpapasan juga dengan alay-alay berkaos beragam member YG Entertainment. Yak emak hamil di tengah alay Singapura (dan ternyata banyak juga yang dari Indonesia hehehe ... ga heran yak). Menurut blog review yang saya kunjungi sebelum ke Singapura, jarak stasiun dengan stadium itu 30 menit jalan kaki. Tapi dalam sudut pandang saya, begitu keluar stasiun, itulah stadiumnya. Haiyah ini mah deket. Langsung terhubung dengan Sports Centernya. Semacam Senayan kalau di Jakarta.

Tentu saja kali ini yang saya cari adalah tempat makan. Setelah memastikan di mana Singapore Indoor Stadium, saya menoleh ke arah seberangnya, ada mal. Yes, pasti ada tempat makan. Soalnya ga keliatan ada gerobak-gerobak penjual makanan. Padahal kan ada konser di sini.

Mal itu sendiri ga besar sih menurutku, hanya tiga tingkat tetapi memang masih mengusung tema sporty. Jadi di sana ada indoor wall climbing dan di lantai teratas ada arena main air. Saya sih mencari food court yang ternyata pendek saja. Kirain bohongan.

Dan seperti yang saya alami di Semarang, saya ’terpaksa’ cari yang halal. Kebanyakan konter pasti ada menu babinya, jadilah saya pilih yang hanya menyediakan makanan melayu. Nasi dengan ayam kuah kuning. Dan apa nama tempatnya? “Warung Padang”. Haiyah, emang ga bakat wisata kuliner gue. Menu seharga SGD4 sajah. Lumayan.

Minumnya belum beli. Saya lihat ada konter jus, tetapi konter jus ini terlihat lebih dinamis ketimbang di Jakarta. Bisa jadi karena di Jakarta kebanyakan konter penjual makanan pun menjual minuman. Saya pilih tropical juice seharga SGD4, yang disuguhkan dalam gelas toples besar. Secara kuantitas mungkin tidak akan cukup hingga konser usai nanti, but I need these vitamin C, ada nanas, jeruk, dan apalagi ya ... oh mangga. Rasanya segar di bawah terik matahari.

Usai makan minum yang cepat itu, waktu menunjukkan pukul 3. Mengecek posisi Ditta via FB (bahkan sampai sekarang aku ga tahu nomor hp-nya), lalu berjalan melihat sekitar. Sebentar saja memerhatikan dari balkon mal, sekelompok orang berlatih voli pantai sambil dibelakangi danau. Sambil mikir, kenapa di Senayan ga ada tempat buat voli pantai ya? Sepertinya luasnya ga kalah, yah mungkin bisa saja saya salah.

Nah dasar ibu-ibu, saya akhirnya lebih tertarik mendekat ke mana banyak anak-anak berkumpul. Sedang ada acara family event gitu di sana, jadi ada beberapa atraksi tambahan. Saya duduk di antara mal dan stadium hingga Ditta datang.



bersambung .... 

Minggu, 09 November 2014

My Story: Double Stripes, Again?



Setelah lebih dari dua bulan blog vakum, akhirnya mulai ada selera buka laptop. Emang kenapa sih, cyiiin? Yah seperti yang telah tertulis di judul. Tanda dari tongkat ajaib yang akan mengubah banyak hal.


Semua berawal sejak kepulangan saya dari Semarang. Saat itu saya dilanda lelah luar biasa, malas luar biasa, rumah jungkir balik, rasanya tangan tak kunjung sampai membereskan rumah yang seringnya lebih kecil dari ukuran kamar deluxe sebuah hotel. Belum lagi malas itu usai, saya merasa kembung. Saya pikir, oh mungkin ini efek mau datang bulan. Namun setelah lewat jadwal datang bulan, kembung itu selalu ada, dan si bulan ga datang-datang.

Saya bicarakan ini ke mama saya, apa pendapatnya saudara-saudara? “Menurut ilmu yang pernah mama pelajari, kembung berkepanjangan itu adalah tanda-tanda kanker usus.” JEENG JEEENG.

Segeralah saya dijadwalkan untuk bertemu dokter penyakit dalam langganan sekaligus favorit mama. Rasanya malas sekali ketemu dokter ini. Bukannya apa-apa, jadwal praktiknya jelang magrib dan dia bahkan masih harus bertatap muka dengan pasiennya hingga dini hari. Untung ganteng dokternya.

Nah selagi menunggu hari ke dokter, saya berkaca, kayanya ada yang aneh dengan perut ini. Bentuknya berubah.  Mancung. Oh, no.

Dalam curiga yang penuh ketidakpercayaan, saya belilah test pack. Ah, kayanya baru kemarin beli testpack. Baru kemarin bersorak sorai Safir lepas ASI. Baru kemarin menghapus popok dalam daftar belanjaan. Pokoknya semua baru kemarin deh.

Dan ternyata benar. Tak perlu menunggu dua menit, tongkat itu sudah menunjukkan dua garis bahkan saat masih dalam keadaan tercelup.

Are you kidding me, God?

Well, ga benar-benar saya ucapkan sih, tapi karena Tuhan Mahamengetahui saya yakin Dia pun tahu niatan lidah saya.

Sebelum berkomentar tentang niatan saya itu, biar saya ceritakan dahulu apa pasal saya ingin bertanya seperti itu.

Pertama, I don’t consider myself as a good mom. Maka dari itu, walau saya sudah punya rancangan nama untuk empat anak, saya memutuskan belakangan bahwa dua anak itu cukup. Because I’m not good enough. Masih ibu yang galak. Kebayang dong ditambah satu lagi. Ini tuh kaya lagi mumet kerja overload di kantor terus masih dikasih lagi kerjaan sama bos yang berlalu sambil senyum-senyum.

Awalnya saya mengingatkan diri bahwa di luar sana ada pasangan yang bahkan menanti anak pertama pun masih waiting list, so sudah sewajarnya saya bersyukur. Namun belakangan saya ralat, ini Tuhan yang memutuskan. Bukankah saya diajarkan untuk percaya bahwa apa pun keputusan-Nya adalah yang terbaik? Yang diberi, belum diberi, tidak diberi, dan diambil oleh-Nya adalah yang terbaik. Nah, pe er manusialah untuk mencari tahu sisi terbaiknya.

Kedua, how did it happen? Sejak saya terakhir datang bulan belum ada investasi. Investasi terakhir justru ketika beberapa hari sebelum datang bulan. Dan itu pun harusnya tidak ada investasi, ah ribetlah mau ngomongnya di sini, vulgar sangat hahahaha ....

Lanjut cerita, Senin malam itu saya membatalkan jadwal ke dokter penyakit dalam di hari Selasa dan tertawa geli dengan dugaan awal mama (walau kemudian teringat ada orang-orang yang menderita kanker di luar sana and it’s not funny), lalu menjadwal kunjungan ke dokter kandungan di hari Kamis. Agak terburu-buru karena saya sudah ada rencana nonton konser Korea di Singapura sendirian. Yup, you can say that again. Makanya saya perlu semacam konfirmasi untuk mempersiapkan diri.

Jadwal hari Kamis diundur menjadi Jumat malam, padahal Sabtu subuh sudah harus cabut. Alamaaak.  

Hasil dari dokter loud and clear, sudah ada kantung, usia 7 minggu. Dihitung-hitung, berarti ketika saya datang bulan, ovarium saya yang satu lagi sudah mengalami pembuahan. Dan itu semua akibat investasi tidak langsung alias ejakulasi di luar. Jadi para pelaku seks di luar sana, inilah bukti ketika Anda tidak menggunakan pengaman dan ejakulasi di luar, tidak berarti Anda akan terbebas dari yang namanya pembuahan. Hanya butuh satu sel sperma, tuan-tuan.

Oh iya, dokternya pun dokter yang menangani Malika dan Safir, dr Botefilia, jadi yaaah agak malu-malu gimanaa gitu ketemu dokternya sambil bawa dua krucil.

So here I am, still pregnant (alhamdulillah), memasuki 17 minggu, hasil USG sudah menunjukkan SATU kepala, dua tangan, dua kaki, semoga memang isinya satu janin. Please don’t surprise me more, God. Masih mual-mual dan pusing berkepanjangan, dan malas yang berkelanjutan (tapi sudah mulai membaik dengan bukti postingan ini), masih ga tahu bagaimana saya akan mengatasi semua ini, sepertinya saya akan butuh banyak doa dan berdoa.

Selasa, 02 September 2014

KEPO: Perlu Ga, Sih?




Satu hal yang saya perlukan sebelum bertemu teman lama adalah KEPO. Awalnya saya tidak peduli, tapi kemudian saya kok jadi sering bring out a topic on a wrong table. Sering pula baru sadar ketika sudah ketemu faktanya.

Seperti wartawan infotainmen, setiap hari selalu ada pertanyaan lanjutan. Waktu kelar kuliah, pertanyannya gawe di mana? Setelah itu berlanjut, status apa? Single? Double? Triple?

Begitu semua sudah diketahui menikah, kayanya yang perlu diam-diam diketahui, masih nikah ga?

Nah, ga mungkin dong tanya langsung ke orangnya.

Pernah suatu kali saya bertemu teman SD (cewek), lalu pembicaraan kami ngalor ngidul membicarakan teman-teman SD yang lain. Begitu tercetus satu nama temen cowok yang tinggal di luar negeri dan katanya beberapa kali bertemu, saya lempeng saja. Setahu saya si temen cowok ini sudah menikah memang. Jadilah saya tanya, “si anu sudah punya anak blum?” Teman saya itu menggeleng. Eh rupanya beberapa bulan kemudian saya dapat undangan dari mereka berdua. Oalah rupanya teman saya yang tinggal di luar negeri itu sudah lama bercerai dan akhirnya malah nyangkut sama teman saya yang cewek itu.

Atau ada lagi keadaan canggung. Melihat teman saya yang diketahui sudah menikah datang bareng teman saya yang cowo ketika buka puasa bersama. Saya juga lempeng aja, toh kami memang akrab kalau berteman. Apalagi kalau masih teman sekolah (sebelum kuliah), pasti tinggalnya tidak jauh satu sama lain. Eh rupanya teman saya yang cewek itu sudah cerai juga dan lagi ‘dekat’ sama teman saya yang cowo—walau akhirnya ga jadi sih.

Atau ketika kita rajin nengokin FB. Suka ada pertanyaan, “perasaan kemarin unggah foto honeymoon sama orang yang begini-begini, eh tapi kok pas ketemu yang digandeng dan dikenalin kok beda ya?” Nah, loh.

Apalagi kalau punya penyakit hapal nama ga hapal orang, jeeeng! Bisa kejadian tuh sebut nama mantan pacar tahunan di depan suami yang sekarang. Haiyah.

Namun, ngulik-ngulik profl FB teman sebelum ketemu juga suka menimbulkan pertanyaan lain. Nah ini rada gosip karena suka nyentil SARA. Pertanyaan iseng “orang mana?” bisa merembet ke “agamanya apa?”. Nah yang terakhir ini biasanya saya tanya kalau emang mencurigai sesuatu. Bukannya mau diskriminasi, Cuma nanti kan ga enak kalau lagi ketemu saya ajak-ajak shalat terus orangnya ga mau karena emang beda kan jadi aneh. Belum kalau saya lagi keluar cerewetnya tiba-tiba ceramah pentingnya shalat berjamaah.

Ada pula pertanyaan yang maksudnya basa basi malah jadi bahan gosip. Misalnya ketika bertemu kenalan dengan anaknya untuk pertama kali, apa coba pertanyaan yang biasa muncul? “Mirip siapa ya?”

Ini kan pertanyaan iseng. Tapi bisa loh jadi bisik-bisik karena rupanya bukan anak kandung. Kalau di luar negeri mah biasa. Di sini? Padahal saya salut loh sama yang asuh anak.

Tapi kalau dalam kehidupan bertetangga, saya pikir perlu loh kepo. Apalagi saya yang tinggal di apartemen. Orang-orang yang tinggal di sini kan kadung berpikiran bahwa apartemen adalah area privat, padahal kenyataannya, kita hanya terpisah oleh dinding. Jadi ketika ada yang bertengkar, pasti terdengar. Dan bersikap acuh tak acuh malah bahaya. Siapa bilang karena yang bertengkar suami istri, kita ga boleh lerai atas nama urusan pribadi. Siapa yang tahu kalau ada kekerasan dalam rumah tangga? Makanya jika terdengar pertengkaran , terkadang saya pasang k uping. Ada yang pecah ga? Ada raungan kesakitan ga?

Kalau tidak berani ketok sendiri, telepon satpam. Menghindari hal-hal buruk. Kalau sudah bertengkar kan sahabatan sama setan, mana tahu ditutup matanya.

Saya malah pengen ada yang ketokin pintu kalau lagi cerewet banget sama anak. Biar ingat diri.

Well, anyway masih trial and error soal kepo ini. Terkadang memang suka lupa menahan diri ketika tahu salah teman bercerai, masih tanya lagi, “kenapa?”

Nah yang itu dah gosip deh.

Minggu, 31 Agustus 2014

Mama, Inspirasiku untuk Air Sehat dan Hemat


Walau tidak pernah benar-benar mengklaim diri sebagai keluarga pencinta lingkungan, banyak sekali hal yang dilakukan mama dalam rangka berhemat tetapi sekaligus memelihara lingkungan. Mama saya mungkin bingung dengan cara yang tidak menggunakan kantung plastik saat berbelanja. Toh saya belajar menyimpan plastik kresek itu dari mama. Jika mama lebih mengagumi kain yang bersih yang wangi akibat dicuci dengan entah berapa sendok deterjen, sedangkan saya tidak, toh mama lebih memilih menggunakan bubuk pembersih kamar mandi jadul ketimbang menggunakan merk lain yang secara kimia lebih dahsyat kemampuannya—dan lebih dahsyat pula polusinya.

Sudah bukan rahasia lagi kalau air merupakan bagian utama dalam kehidupan sehari-hari, terutama keluarga saya. Keluarga kami pencinta air putih, tidak mengkonsumsi soda, dan pengguna setia pompa air padahal letak rumah saya di tengah kota, alias di Tebet. Walau kami menggunakan air galon, namun kami tidak anti meminum air hasil pompa air kami. Maklum air putih di sebuah teko besar, cepat habisnya. Saya bahkan dulu pergi kuliah sambil membawa air putih dengan kemasan air mineral 1,5 liter. Waktu itu saya belum tahu kalau botol besar itu tidak boleh digunakan lebih dari 2 kali.

Alasan lain, kadar bersihnya sama. Pernah suatu kali ada pengujian materi air minum, jika dibandingkan air tanah dan air galon di rumah saya, hasilnya sama. Jadi, walaupun ibu saya perawat tidak menjadikan dirinya menjadi seorang hygiene freak dan terpatri pada merk tertentu.

Oleh karenanya mama sangat kekeuh memertahankan lahan hijau yang tidak seberapa di rumah. “Itu buat cadangan air.” Maklum, kami pernah mengalami masa kemarau yang sangat panjang sehingga memengaruhi volume air yang mampu disedot oleh mesin pompa. Pikir praktis, kalau tanah tidak sering diberi air bagaimana dia mampu menyimpan air cadangan? Padahal tanah memiliki gudang air yang luar biasa luasnya.

Hal inipun turut dia terapkan di kontrakan miliknya di pinggiran Jakarta. Mentang-mentang saudagar kontrakan, tidak membuat mama serta merta mengoptimalkan setiap senti tanah yang ada untuk menambah pintu kontrakan. Dia sadar, dalam jangka waktu tertentu, air tanah itu akan habis jika tanah tidak diberi ruang untuk mengisapnya. Dan itu hanya akan menambah masalah lain di kontrakan.

Mama pun berkomitmen menghemat air dengan banyak aksinya di rumah. Ketika hujan datang, mama akan bersegera menaruh ember besar di atas kucuran air yang kebetulan jatuh di teras kami. Jika banyak orang mengira telah melakukan aksi pintar dengan membuat saluran air sedemikian rupa hingga langsung masuk ke got, tahukah kalian bahwa hal itu justru menghalangi tanah menyerap air hujan? Bagi mama, air hujan adalah sumber air gratisan untuk menyiram tanaman di hari berikutnya.

Jika setiap kali ada hajatan dan harus menggunakan air mineral kemasan gelas, mama suka sedih melihat perilaku orang yang tidak menghabiskan minumannya. Bagi orang minang, menghabiskan makanan dan minuman yang disajikan itu adalah bentuk penghormatan pada tuan rumah. Di lain pihak, kasarnya “Hei, air itu dibeli.” Akhirnya setiap kali kami merapikan sisa hajatan, setiap air minum yang tersisa itu kami siram ke tanaman.

Saat mencuci beras, mama akan menampung air cuciannya untuk kemudian lagi-lagi dia siramkan ke tanamannya.  Pokoknya tidak pernah merasa rugi menyirami tanaman deh.

Komitmen ini pulalah yang kadang membuat dirinya pusing ketika saya dan keluarga menginap. Kebetulan anak-anak saya ini suka main air. Siapa sih ya nggak suka? Jadi sesi mandi adalah sesi di mana semua kran di kamar mandi menyala. Yah namanya juga mandi bareng, masing-masing pegang kran. Atau jika kami menggunakan kolam tiup untuk wahana mandi. Wah lebih banyak lagi air yang digunakan. Pada saat itu, kalkulator di otaknya bergerak cepat. Mau marah, tapi ketawa para cucu bikin ga tega hehehe ....

Saya bukannya tidak mengajari anak untuk berhemat air, tapi kita ini kan tinggal di kota. Tidak bisa setiap saat mandi di laut atau di sungai, tapi sangat suka main air. Nah, biasanya saya kasih jatah ke anak-anak. Kalau setiap hari mandi air macam begitu kan, mabok bapaknya bayar uang air. Apalagi kami tinggal di apartemen. Nah, seringnya, jadwal ke rumah nenek adalah jadwal main air alias akhir pekan.” Ya sudahlah, ma, relakan. Kan ga setiap hari.” Kata saya setengah menggoda.

Banyak hal yang mama lakukan yang belum bisa saya lakukan di rumah saya sendiri. Saya kan ga bisa menadahi air hujan dan memang tidak ada tanah milik saya sendiri. Yang bisa saya lakukan sebagai warisan mama saya adalah menanamkan nilai air bagi kehidupan pada anak-anak. Bahwa air dapat memancing berbagai keriaan dan kreativitas tetapi di satu sisi juga harus dijaga dan dihemat penggunaannya. Demi lingkungan yang sehat dan ramah. Demi masa depanmu juga, Nak.

 

Minggu, 24 Agustus 2014

HOTEL REVIEW: NEW METRO HOTEL SEMARANG

Kalau dipikir-pikir enak juga ya punya saudara atau teman yang asli daerah tertentu. Jika sedang ada rezekinya bisa jadi alasan untuk keluar kota bareng keluarga. Kali ini, tujuan pernikahan di Semarang. Ini kali kedua datang ke Semarang untuk alasan pernikahan. Dan sudah tiga kali saya ke Semarang, hanya saja baru kali ini saya menginap di hotel.

Suami yang carikan. Urusan hotel memang saya serahkan padanya. Urusan saya adalah apa yang harus dibawa selama beberapa hari di Semarang. Mana yang lebih ribet? Ah, ga usah dihitung hehehe.



Metro Hotel Semarang terletak di Jl. Haji Agus Salim 2-4 Semarang 500139. Secara posisi, hotel ini berada di persimpangan. Di depannya ada pasar Johar dan tidak jauh dari situ ada Masjid Agung Semarang (beda loh ya dengan Masjid Agung Provinsi). Alasan suami memilih di situ adalah walau letaknya sebenarnya ujung ke ujung dari lokasi pernikahan yang berada di daerah Sumurboto atau biasa disebut bagian atas atau Selatan Semarang, tetapi kami akan pulang menggunakan kereta pada minggu pagi. Nah, karena pagi-pagi banget, ga mau lah kita ketinggalan kereta macam di Bandung tempo hari. Maklumlah bawa bocah-bocah. Nah, hotel ini tidak jauh dari Stasiun Tawang, pakai becak pun bisa. Sebenarnya ada sih hotel di seberang stasiun Tawang, tapi daerah di depannya suka banjir rob dan akses ke tempat wisatanya ga semudah di Metro Hotel.

Metro Hotel adalah salah satu hotel tertua di Semarang, jadi maklum gedungnya jadul. Beda jauh dengan banyak sekali hotel baru di Semarang yang dari desainnya sangat modern. Lampu luarnya dominan kuning, temboknya coklat, jadi yah sephia gitu deh. Interior lobinya lebih banyak menggunakan pendekatan Tionghoa ketimbang Belanda. Namanya juga Semarang.

Kami mendapat kamar superior karena diketahui membawa dua anak. Harganya Rp398000,- per malam (sudah termasuk tax kayanya). Begitu kami masuk ke kamar 2224 itu, saya cukup terkesan. Yah, walau katanya hotel tua tapi baunya ga tua. Bahkan ketika saya leyeh-leyeh di karpetnya pada dini hari sambil nge-net, ga tercium sedikit pun bau apek.

Lagi-lagi kami mendapat kamar hotel yang ukurannya lebih besar dari unit kami di Kalibata (itu mah tempat saya aja yang kekecilan). Ada satu tempat tidur ukuran gede banget. Dan sebuah sofabed. Tadinya suami akan tidur di sofa, tapi karena kasurnya pun lebar, kita berempat muat loh tidur di situ dan masih terasa lega. Beda ya bo, sama di rumah. Aih noraklah saya.
Kamar mandinya cukup praktis alias sempit. Pas bathtub, kloset dan wastafel. Emang dicari hotel yang ada bathtubnya, buat hiburan anak-anak.

Yang saya suka dari hotel lama adalah, AC nya ga kelihatan. Jadi saya ga perlu lihat boks AC karena mereka menggunakan AC tanam. Awalnya malah bingung bagaimana mengatur suhunya karena dingin banget. Ternyata dipasang di suhu 5 derajat Celcius, eh bujug. Ketika sudah dinaikkan ke 25 derajat Celcius pun saya kedinginan pada dini hari. Ya suds, saya matikan saja. Dan dinginnya masih mengendap hingga siang.

Penempatan lampunya juga efisien. Jadi yah ga model minimalis modern yang bentar-bentar pasang lampu kecil. Maklum, agak bete kalau terlalu kekuning-kuningan. Yang rada ga sepakat sih channel tivinya. Pakai kabel tv sih, tapi sedikit. Disney pun tak ada. Starworld apalagi. Adanya channel dewasa seperti HBO dan FOX. Nah yang ini masih mending di rumah deh walau remotenya lagi rusak hehehe ....

Sayangnya, karena mendapat kamar di lantai dua, view dari jendela yang lebar itu ga cantik. Terlalu dekat dengan kanopi hotel. Sehingga pandangan kami setara dengan tinggi kabel-kabel listrik yang melintang di jalan. Padahal kalau dari sisi, ini sisi yang tepat untuk melihat matahari tenggelam.

Secara umum menyenangkan lah. Hanya sempat kejadian salah informasi, dikiranya kami hanya menginap semalam, jadilah kami tidak bisa mengakses kartu kamar usai pulang jalan-jalan. Saya sendiri tidak sempat mengeksplor bagian lain dari hotel ini karena mengambil paket nonbreakfast.

Tempat ini rupanya juga dijadikan tempat acara wisuda. Mungkin ruang serba gunanya cukup luas untuk itu.

Oh iya, ada satu kejutan. Saat check out, kami ga jadi naik becak karena hotel memberikan pelayanan antar ke stasiun. Gratis. Aih, terima kasih.

Bolehlah balik lagi ke sini ^^

HOTEL REVIEW: THE NEW METRO HOTEL SEMARANG (Eng. Version)

It has been my fourth time to come to Semarang, but it was my first time to stay in a hotel.
My husband was the one who picked the hotel. Although it was actually far from the wedding ceremony, which was our main reason to come here, but it was near from Tawang Station. We were about to leave on Sunday morning, the earliest train, so we didn’t want to miss it (again) since we brought two kids whose quite a challenge to make them ready before 7.00 am.

The Metro Hotel  lied on Jl Haji Agus Salim 2-4 Semarang. It faced Pasar Johar and Masjid Agung Semarang was nearby. It was one of the oldest hotel in Semarang. But though it was old, but I didn’t smell anything old. I mean, when we entered our 2224 room, the smell was good, I even lied freely on the carpet by midnite while turning my internet on and not smelling any kind of bugs.



We had a superior room which kost Rp380000,-. It was cheap, i must say. Since we had a very large bed, where the four of us could sleep and not getting any backache when we woke up. But it has a sofabed too, so we actually didn’t need any kind of extra bed.

The bathroom was quite compact. A bathtub, a closet, and drawers. Actually it was enough, but since we brought kids who were very happy playing in the bathtub, so not all of us could get in. No probs, I just spend my free time watching tv.

Well the inernational channels were not that much. There were even no kids channel. Well, we are here to have a trip not to watch tv, right?

One thing I like about old hotel is, you can’t see the AC box. And it was very cold, though I setted it on 25 degrees and turn it off by 2 am.  

Too bad the view was not that good, though it was the perfect side to see the sunset but the height was not. It was too close with the hotel canopy and our view was disturbed by the electricity wires along the street.

But overall it was OK.


And after we did our check out, the hotel gave us a free ride to the station. Thank youu .... 

VENUE REVIEW: Menghadiri Pernikahan di The Centrum, Bandung

Beberapa waktu lalu suami mendapat undangan pernikahan rekan kantornya di Bandung. Ini sudah kesekian kalinya sih ke Bandung dalam rangka menghadiri pernikahan teman suami, maklum dulunya kuliah di negeri kembang ini. Namun, baru yang satu ini bisa ditulis reviewnya, hehehe baru sadar blog.

Seperti kebanyakan pernikahan di Bandung,  mereka sering sekali mengadakannya di kafe atau restoran atau yah di rumah sekalian, yah setidaknya teman-temannya suami banyak memilih di situ. Tidak seperti kebanyakan pernikahan di Jakarta yang menggunakan gedung-gedung khusus untuk itu. Mungkin juga karena terkait jumlah tamu dan area parkir.

The Centrum ini terletak di Jl. Belitung no. 10 Jawa Barat. Posisinya menghadap taman musik (kebetulan saat digelar, bersamaan dengan peresmian taman ini) dan di samping Taman Lalu Lintas. Yang artinya kawasan ini sebenarnya cukup sepi kalau malam, mungkin karena taman musiknya belum jadi titik temu kali ya ...



Para penerima tamu seperti biasa ditempatkan setelah pintu masuk, tetapi kami tidak serta merta dapat melihat pengantinnya karena ada tembok. Khas kafe privat lah. Kami digiring melewati jalur kiri untuk bisa melihat ada apa di balik tembok itu. Ternyata sebuah area terbuka dengan kolom-kolom di tepian dan kolam di tengahnya. Pelaminan itu sendiri terletak di antara kolam.
Saya terbayang, mungkin kolom-kolom itu sebenarnya sejenis gazebo beton pada fungsi awalnya. Sedangkan hanya beberapa sofa yang akan bercokol di bagian sekitar tepi kolam. Pikir saya, wah pe er nih jagain anak-anak. Maklum, tepian kolam hanya dibatasi dengan tali tambang dua tingkat.

Dekorasi sih kayanya minimalis yang manis, tidak ada unsur kedaerahan tertentu yang ditonjolkan. Buffet di gelar di seberang kolam, sedangkan ada masing-masing 2 ‘gubuk’ di kolom kiri dan kanan. Suasananya agak santai ya, karena para tamu jadi melepaskan sepatunya saat berkumpul di kolom-kolom tersebut. Untunglah saya ga pakai songket, hehehe. Meuni rempong.

Kalau dilihat dari luas tempat ini sih kayanya ga cocok ya untuk 500 undangan. Ngeri kesenggol ke kolam. Namun, rupanya saya melupakan sisi lain, bagian atas. Bagian atas ini dicapai melalui tangga di dua sisi setelah pintu masuk, jadi yah saya agak keluar lagi dari area pengantin baru bisa naik. Mungkin si pengantin juga tidak menyebar 500 undangan karena bagian atas ini praktis sepi. Bisa jadi karena tidak ada konter makanan di sini. Tapi bagian atas ini terasa lapang karena setara dengan kolom-kolom di bawahnya, tapi yah ga pakai kolom melainkan meja dan kursi biasa. Mungkin buat yang merokok lebih leluasa secara lebih berangin dan lebih dekat melihat pesawat berseliweran. Letaknya lebih dekat ke bandara kali ya, kok ya gede banget itu pesawat bolak balik?


Anyway, kayanya memang tempatnya ga cocok buat yang tema tradisional yang pakai penari, nanti orang berebut lihat, eh nyemplung hehehe.... Dan saya sebenarnya agak terganggu dengan fakta pada buka sepatu saat lesehan, kesannya gimana gitu. Mix n match konsepnya agak ga match (halah). Bisa jadi karena sayanya saja yang tidak terbiasa. ^^



Sabtu, 23 Agustus 2014

Amy’s Story: Edukasi Finansial Sejak Dini

Bicara soal edukasi finansial sejak dini, saya memiliki perbedaan pendapat dengan ibu saya, walau reputasinya sebagai pengelola keuangan rumah tangga belum ada tandingannya. Bagi ibu saya, yang terpenting adalah makan, agama, kesehatan, dan pendidikan. Hiburan tidak termasuk di dalamnya.
Ini mungkin sedikit curahan hati saya sewaktu kecil. Pada zaman saya dulu, saya lah anak pertama yang akhirnya diberi uang jajan. Padahal saya bungsu loh. Kok bisa begitu? Soalnya sering kejadian saya menggunakan uang untuk membeli buku pelajaran untuk jajan dan akhirnya ketahuan saat pembagian rapor.

Uang jajan saja tidak cukup, kebutuhan pergaulan saya menuntut uang jajan lebih banyak. Dan itulah yang membuat saya menggunakan uang milik sekolah yang saya simpan sebagai bendahara saat duduk di bangku menengah. Jika sudah saatnya pengumpulan uang ke guru, saya biasanya akan men’catut’ nominal uang yang saya minta dari orangtua saya dengan dalih kegiatan sekolah. Parah, kan. Saya sudah korupsi sejak dini.

Ketika saya menginjak usia 17 tahun, barulah saya mendapat akses untuk mengambil uang di tabungan saya. Sebelumnya hanya mama saya yang bisa melakukannya. Setiap bulan, beliau mengisi tabungan anak-anaknya selama bertahun-tahun. Hebat betul ibu  saya ini. Namun itu ternyata tidak cukup menggugah hati saya. Tabungan bertahun-tahun itu ludes dalam waktu sebulan.

Beranjak dewasa, saya mempelajari beberapa hal bahwa kebutuhan setiap anak berbeda-beda dan bisa jadi belum ketahuan bentuknya jika tidak mendapatkan pengalaman yang kaya. Sebagai generasi kelahiran ’80-an, saya hidup ketika pergaulan termasuk kebutuhan utama. Sekilas memang tidak penting, tetapi sekali lagi kebutuhan anak berbeda-beda. Berkawan meningkatkan kepercayaan diri saya di tengah dominasi orangtua dan kakak-kakak saya. Dan berkawan, pada awalnya membutuhkan uang. Dan menguasai uang itu bukan hal yang mudah.

Hal itulah yang mendorong saya mengajarkan anak tentang mengurus uang sejak dini. Saya sendiri masih banyak kekurangannya. Saya beralasan, saya tidak pernah benar-benar mengurus uang di usia dini. Oleh sebab itu, saya ingin anak-anak saya tidak norak saat dewasa dan memiliki penghasilan sendiri. Ibu saya memang menjelaskan sejak dini soal pentingnya menabung, investasi, dan lain-lain, yang tidak beliau ajarkan adalah praktik langsungnya. Ya, teori tanpa praktik itu akan memberi hasil yang tidak sempurna.  Godaan uang di tangan itu sangat .... silahkan isi sendiri deh.

Anak-anak saya kini berusia di bawah lima tahun. Pada si kakak yang berusia 4 tahun, sedikit-sedikit saya ajarkan konsep uang dan belanja. Dia sih sangat bersemangat menabung, belum memiliki ketertarikan khusus soal konsep nilai uang. Uang baru terasa bernilai baginya saat saya ajak dia ke arena bermain yang menggunakan koin. Arena bermain yang bising ini biasa ada di mal. Kenapa lebih mudah di sini, karena fisik koinnya mudah dihitung bagi anak yang baru mengenal angka.

Awalnya saya yang membeli sendiri koin tersebut. Tentu saja koin itu habis dalam sekejap. Dan si anak akan merengek minta lagi dan lagi. Kesal dengan perilaku tersebut, akhirnya saat hendak membeli koin, saya keluarkan lembaran uang saya dari dompet.

“Lihat, ini Amy keluarin uang Rp10000,-. Nih, uang Amy jadi tinggal dua lembar, rp10000,- dan Rp20000,- Coba kamu lihat dapat berapa koin.” Saat itu anak saya sudah tahu angka, belum tahu nilai, tapi dia yakin bahwa yang huruf depannya 1 itu jumlahnya lebih sedikit dari yang huruf depannya 2. Kebetulan saya tidak ada lembaran Rp100000,-

Setelah menukar uang dengan koin, saya perlihatkan jumlah koinnya. Saya suruh dia menghitung dan menghitung kembali usai dibagi dua dengan adiknya. Saya biarkan dia memegang koinnya dan memilih permainan yang dia suka. Dan ketika koinnya habis, saya selalu biasakan hanya mendapat satu kali jatah nambah alias beli koin lagi. Kalau masih penasaran dan Amynya sedang malas, boleh tambah lagi tapi diambil dari uang tabungannya.

Awalnya dia masih rungsing karena cepat sekali koin bergelontor. Terlebih jika jumlah tiket yang didapat tidak cukup untuk ditukar dengan apa pun.

“Ya, kamu sih kebanyakan pilih mainan yang ga dapat tiket.”

Anak saya itu memang lebih suka menaiki mobil-mobilan goyang-goyang ketimbang atraksi yang lain. Saya pun tidak selalu menggiring ke permainan yang mirip dengan judi.

Dan setelah beberapa kali, dia pun kemudian memilih mainan dengan kesadaran penuh berapa koin yang akan habis dan tidak merengek saat koin itu habis pun setelah ditambah. Dia pun tidak terlalu peduli dengan tiket, malah lebih bersemangat kala mengumpulkan tiket itu ke dalam tas saya. Opsi kedua yang melibatkan uang tabungannya pun nyaris tidak pernah dia ungkit.

Atau ketika harus memilih antara permainan koin dengan softplay area berbayar. Biasanya saya akan jelaskan, jika ingin berada di wahana permainan koin berarti hanya sebentar waktu yang dihabiskan. Berbeda jika bermain di softplay area berbayar. Dan itu pun dikorelasikan dengan jumlah waktu yang sejatinya hendak kita habiskan di mal. Jangan ketika akan segera pulang dalam 15 menit, malah memilih softplay area berbayar. Rugi, dong. Biasanya perundingannya agak alot.

Permainan atau hiburan memang boleh dinikmati sesekali, tetapi tidak jarang orang yang menyadari bahwa itu hanya perlu dilakukan sesekali setelah mengalami kesulitan finansial usai kecanduan hiburan. Bagi saya, lebih dini proses terperangkapnya lebih awal pula fase merangkak naiknya. Tahu kan, pengalaman adalah guru terbaik. Intinya yang hendak saya sampaikan adalah, orangtua akan berusaha memfasilitasi kebutuhan pergaulan anak-anak (dengan prioritas yang nyaris sama dengan kebutuhan utama) tentu dalam jumlah dan batas usia yang disepakati. Namun, pada akhirnya tingkat kesenangan itu bukan diukur dari jumlah uang yang dihabiskan melainkan seoptimal apa uang yang ada berubah menjadi keriaan. Dan itu didapat dari pengalaman dan kedewasaan. Untuk yang satu ini, beda orangtua beda pendapat yaa ....


Toh, jika umur masih panjang, pendidikan soal finansial pada anak-anak ini akan terus berambah dan berubah bentuk seiring waktu. Anak-anak sejatinya akan semakin kritis dan bisa jadi mereka akan memprotes pilihan metode saya. I guess, PR saya masih banyak.