Selasa, 26 November 2013

RESENSI 12 MENIT: Jika Musik Bicara Lantang tentang Hidup dan Keluarga

Dua belas menit ini yang akan menentukan apakah kita akan juara. Dua belas menit ini yang akan menetukan apa yang akan kita kenang seumur hidup.

12 Menit mengambil latar Bontang, sebuah kota kecil yang hanya bisa dicapai lebih cepat menggunakan pesawat kecil dari Balikpapan, Kalimantan Barat. Dari seratus tiga puluh anggota marching band Vincero ini kisah ini berputar pada empat tokoh. Rene, sang pelatih asal Jakarta, yang memiliki berbagai prestasi gemilang baik sebagai pemain dan pelatih, merasa di atas angin ketika diminta melatih ke Kalimantan. Rupanya di Bontang, dia justru diragukan kehebatannya, baik oleh pihak investor maupun oleh anggotanya, bahkan kemudian oleh dirinya sendiri. Lalu ada Tara, juga asal Jakarta, penabuh drum berbakat tetapi kini harus berjuang dari nol pascakecelakaan yang menewaskan ayahnya dan menurunkan kemampuan mendengarnya hingga sepuluh persen. Elaine, lagi-lagi murid pindahan Jakarta, sang pemain biola yang bermimpi menjadi seorang field commander. Walau memiliki kepintaran luar biasa di bidang musik dan akademis, Elaine justru dihambat oleh keinginan ayahnya untuk memiliki anak seorang ilmuwan. Dan akhirnya, rasa pribumi dihadirkan oleh Lahang, laki-laki asal Dayak yang menjadi penari. Namun, dia senantiasa ragu karena harus meninggalkan ayahnya yang sakit demi latihan.

Dengan tiga tokoh utama asal Jakarta, rupanya Oka Aurora tidak membuat cerita ini didominasi masalah tipikal anak Jakarta. Karakter orang-orang Kalimantan yang cenderung tertutup rupanya dilakoni juga oleh Tara yang terus menyalahkan dirinya sendiri atas kematian ayahnya dan Elaine yang terpaksa latihan diam-diam demi menghindari murka ayahnya yang seorang Direktur di salah satu perusahaan gas di Bontang. Maka jadilah kisah yang bhineka tunggal ika seperti halnya Bontang sebagai tempat kecil dengan ragam ras dan agama berkumpul di sana.

Marching Band merupakan orkestra musik kolosal yang tidak hanya menampilkan harmonisasi musik tetapi juga kostum, konfigurasi bentuk, dan tentu saja adu tenaga. Bagaimana tidak, mereka tidak bermain musik sambil duduk tenang, melainkan berjalan mengitari lapangan dan tidak boleh hilang napas sedetik pun karena akan membuat nada miring di sana-sini. Semua itu dilakukan dalam 12 menit pertunjukan dan ratusan jam latihan.

Saya sendiri baru memahami marching band dari dekat ketika menjadi mahasiswi di Universitas Indonesia, Depok. Dan saya terkejut begitu melihat teman saya mendaftar. Bagaimana tidak, profilnya tidak seperti pencinta musik seperti saya yang sudah menjadi anak sanggar dan berposisi sebagai gitaris sewaktu SMA. Gadis pemalu itu kemudian kebagian menjadi peniup terompet kecil, alat musik yang mungkin tidak pernah dia impikan selama 18 tahun hidupnya. Lalu ada teman saya yang bertubuh pendek dan chubby dan ingin menjadi penari. Hanya marching band itulah yang mampu mewujudkannya tanpa dihina melainkan hanya dukungan besar antaranggotanya.  Dan ketika saya dan teman-teman menyaksikan pertunjukkan mereka di stadiun Soemantri Kuningan, yang saya rasakan adalah betapa manisnya buah dari sebuah kerja keras. Bahwa mereka juga mencintai musik seperti saya.

Itu pula yang hendak diceritakan Oka Aurora dalam 12 Menit. Membuat sesuatu dari tidak ada menjadi ada, mereka yang buta alat musik menjadi terpatri dengan alat musik itu. Tentu saja, seperti kata salah seorang pelatih tari di sebuah ajang idola penyanyi Korea,  “Tidak semua orang berbakat menari, tapi semua orang bisa menari. Kuncinya, latihan. Yang keras.”

 Walau menggunakan formula umum dalam naskah-naskah berlatar kelompok musik, saya terkesan bagaimana satu karakter dapat saling melengkapi dialog karakter lain dalam adegan yang berbeda. Seperti ketika Yoshuke, ayahanda Elaine habis kesabaran ketika mengetahui putri satu-satunya lebih memilih mengikuti kompetisi marching band ketimbang Olimpiade Fisika, dia berseru pada Rene, “Apa yang tidak penting bagi saya, tidak penting bagi Elaine!”

Sedangkan di dipan dalam sebuah rumah panggung sederhana, Lahang justru enggan mengikuti kompetisi karena ingin mendampingi ayahnya yang sakit kanker otak. Dalam sakitnya, si bapak berkata, “Nak, selama ini saya menyiapkanmu untuk menjalani hidupmu. Hidupmu.”

Dan dua dialog itu ditengahi apik di kepala saya dengan ucapan Rene pada Yoshuke, “Saya jadi menyadari betapa bersyukurnya saya memiliki ayah yang menginginkan saya jadi diri sendiri.”

Kemudian saya teringat Tara yang walau mendapat dukungan penuh dia senantiasa merasa sendiri. Pasca ayahnya meninggal dia justru dipindahkan ke kota kecil bersama oma opanya sedangnya ibundanya melakoni studi S2 di Inggris. Dan pada malam sebelum keberangkatan ke Jakarta si ibu hanya mampu memberi dukungan lewat text message. Mama datang atau tidak, Tara tetap harus memberikan yang terbaik. Si anak menjawab tak kalah mengabdi, Mama datang atau tidak, Tara tetap akan bermain untuk mama.

Harus saya akui, sosok Titi Rajo Bintang yang saya ketahui sebelumnya berperan sebagai Rene dalam filmnya, woro wiri dalam imajinasi saya. Memang itu seharusnya hal terlarang bagi seorang pembaca sejati, tetapi saya tidak bisa mengelak bahwa Titi RB justru adalah sosok paling tepat yang bisa ditemukan. Dia menunjukkan kekerenannya dalam bermusik saat menggarap musik untuk film Garuda di Dadaku. Menunjukkan sisi lain keseniannya kala beradu peran di film. Dan kini, di film 12 Menit, dia seolah tengah melakoni otobiografinya sendiri.

Buku ini sukses membuat saya banjir air mata hampir di setiap babnya. Mungkin karena saya sudah menjalani ketiga fase yang terhampar di cerita ini. Remaja labil, wanita mandiri, dan menjadi orang tua. Dan bahkan walau sudah begitu, tetap ada kalimat yang bergaung-gaung di kepala saya. Kalimat lama yang diucapkan Rene pada Elaine juga Lahang, Selesaikan apa yang sudah kamu mulai. Dan selesaikan sampai berhasil. Ya, hidup memang belum berakhir. Maka hiduplah seperti orang hidup, jangan seperti orang mati.[]

 

Senin, 18 November 2013

Korupsi PNS: Ideal tapi Ilegal

"Waktu uda meninggal, kantornya baik. saya ga masuk kantor enam bulan, teman-teman yang isi absen jadi tetap dapat gaji. Kalau sudah pensiun seperti sekarang ..."

Ucapan salah satu kerabat ini menggantung. Dia bertandang usai menemui dokter terkait kanker payudara yang diidapnya. Hatinya sedih karena mendapat penyakit ganas kala suami sudah wafat dan sudah pensiun dari jabatan sebagai pegawai negeri sipil.

Di ujung sofa, aku lihat papa menggaruk kepalanya dan mencabut tusuk gigi dari genggaman bibirnya. Aku menarik napas dalam, sebelumnya aku sudah lihat dia menggeleng-geleng mendengar cerita kerabat mama itu. Aduh, pasti sebentar bakal ada petir nih. Hatiku membatin.

"Mungkin itu sebabnya ..." ujarnya dengan nada lebih rendah dari perkiraanku.
"Kenapa Pak Tuo?" tanya tanteku ini.
"Mungkin itulah kenapa kamu dapat penyakit ini. Makan gaji buta itu kan sama dengan nyolong. Korupsi."
Aku bisa merasakan papa menekan nada suaranya. Usia membuatnya lebih paham bahwa orang yang di hadapannya ini tidak akan sanggup menerima segala tudingan dari dirinya.
"Oh begitu ya, Pak Tuo. Saya pikir itulah enaknya jika perempuan jadi PNS. Absen jam 8 lalu bisa kembali pulang untuk mencuci dan masak. Jam makan siang sudah bisa di rumah menunggu anak-anak pulang sekolah."
Gambaran suasana wanita bekerja yang ideal memang, tapi ilegal. Aku berbisik sendiri. Dari lirikanku, terlihat papa menyeringai sambil lagi-lagi bergeleng.
Sementara papa melanjutkan pembahasan dengan nada bercanda, pikiranku melayang pada suatu masa. Papa kala itu baru pulang dari Aceh mengunjungi kakak satu-satunya yang masih hidup. Nyak uwa saya itu sudah sakit selama bertahun-tahun dan dirawat oleh anak perempuannya yang sepertinya lebih memilih fokus mengurusi kesehatan beberapa anggota keluarganya ketimbang menikah. Dengan suaranya yang selalu lantang, aku bahkan cukup berdiam di kamar sembari mendengarkan papa bercerita ke mama perihal kunjungannya itu.
"Rupanya selama ini, si I itu bayar obat ibunya pakai jatah berobatnya dia sendiri." Oh, nama sepupu saya disebut. Saya belum paham benar alur ceritanya, maklum, mendadak nguping.
"Begitu saya tanya
, 'bagaimana kamu bayar obat mama dan abang-abangmu selama ini. Gaji kamu kan kecil' Dia bilang 'Oh, pakai jatah berobat saya di kantor, Cek (Om)'. Waduh, langsung saja saya bilang, 'Wah, ga boleh itu! Itu kan bukan hak ibu kamu!' 'Tapi teman-teman yang malah saranin begitu, mereka semua juga begitu. Jadi kita ga susah.'  'Iya memang enak, tapi bukan begitu aturannya. Itu sama saja kamu mencuri. Haram itu uang
. Pantas saja kakak saya ga sembuh-sembuh!'"
Kali ini saya yakin nada dan raut wajah papa saat itu pasti lebih mengerikan ketimbang saat berbicara dengan saudara mama tadi. Dua peristiwa ini menjadi contoh nyata bagi saya bahwa di luar rumah kami ada begitu banyak orang yang tidak sadar dirinya tengah masuk lingkaran korupsi. Mereka menganggapnya kebaikan kantor, padahal mereka pegawai negeri, bukan perusahaan keluarga. Di mana kebijakan bisa diambil atas dasar pengecualian. Saya yakin di perusahaan keluarga sekalipun tidak ada yang mau menggaji karyawan yang tidak masuk selama enam bulan karena berduka. Tidak absen berarti produksi berkurang. Produksi kurang, laba juga turut turun. Hukum ekonomi sederhana.
Mungkin bagi para PNS itu, posisi semacam itu tidak akan memberikan efek bagi dirinya. Maklum, gaji mereka berasal dari pajak rakyat. Siapa yang tahu jika ada pegawai yang tidak bekerja, toh dari dulu pelayanan kementrian itu selalu lelet tetapi tidak membuat rakyat berhenti datang ke kelurahan, ke kantor imigrasi, mendaftarkan anaknya di sekolah negeri, dan masih banyak ketergantungan lain dari rakyat terhadap perusahaan pemerintah ini. Dan ketika mereka didera cobaan berat, mereka merasa bingung salah apa yang telah mereka perbuat.
Celakanya, persepsi keliru diwariskan dari generasi ke generasi sehingga mereka tak lagi melihat itu sebuah tindakan kriminal. Kenyataan yang lebih pahit ditelan ketimbang brotoali.
Saya termasuk beruntung tidak termasuk di dalamnya. Sejak kecil, keluarga kami memang tidak berbau PNS sama sekali. Orang tua saya PNS, tetapi bukan untuk NKRI melainkan untuk Kerajaan Belanda saat mereka menetap dan bekerja di sana sebagai pegawai kantor pos dan perawat. Negara yang memangkas beberapa generasi tua demi membasmi budaya korupsi pada tahun 60-an kala terjadi baby boomer. Dan kemudian menjadi negara paling sistematis dan akurat data individunya. Negara yang berkomitmen memberikan uang pensiun di usia 65 tahun walau hanya bekerja selama 10 tahun dan sudah tinggal di negara lain, seperti kedua orangtua saya ini.
Mereka memang tidak bisa pulang dua jam lebih awal dari seharusnya. Mereka memang tidak bisa membiayai pengobatan orangtua mereka dengan tunjangan pribadi. Mereka juga bukan pemilik gaji tertinggi di Belanda, tetapi mereka tetap bisa menempati rumah dinas (dalam bentuk flat alias rusun dengankeluarga tiga kamar) dan menyekolahkan keempat anak mereka, juga masih ada sisa untuk dikirim ke orangtua di kampung halaman. Yang penting cukup, begitu tekad mereka.
Jadi, takdir manakah yang hendak kau jemput, wahai PNS? Bersenang-senang sekarang, bersakit-sakit kemudian? Atau bekerja jujur selamanya, demi hidup berkah selamanya jua?

Jumat, 08 November 2013

Berhijab dari Korupsi


“Maaf, Bu. Saya mungkin tidak sholeha, tapi saya tidak korupsi.”

Itulah kalimat terakhir dari sebuah status teman saya. Cerita awalnya menjelaskan bahwa dia pernah mengikuti sebuah mata kuliah yang dosennya menyatakan bahwa wanita tidak berhijab adalah wanita tidak sholeha. Sebuah pernyataan yang tidak diamini teman saya yang juga seorang muslim. Dan ketika berbondong-bondong wanita berhijab ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah peristiwa di bangku kuliah ini yang mendorong pernyataannya.

Hijab walau sudah diberi embel-embel modis ternyata masih menggantungkan harapan masyarakat bahwa mereka yang mengenakannya adalah simbol manusia yang telah memuliakan islam di atas segalanya. Saya sendiri termasuk yang tidak suka dengan harapan itu. Saya kan juga manusia, begitu saya biasa membatin. Jika saya harus memutihkan segala yang gelap dalam hati saya, niscaya hijab itu tidak akan pernah terbalut.  Well, itu pendapat saya 20 tahun yang lalu.

Mungkin usia pulalah yang membuat saya terkadang larut gemas dengan mereka yang melakukan khilaf dan terumbar di mana-mana dengan hijab di kepalanya. Ikut malu, saat melihat pemberitaan polisi atau KPK menggelandang wanita berhijab atau suami dari wanita berhijab. Rasanya ingin berkata, what the hell are they thinking of? Yes, do they even think about hell after all?

Hijab dan Islam seolah menjadi kata kunci akan sebuah kemuliaan. Setidaknya di Indonesia dengan Islam sebagai agama mayoritas tetapi sempat mengalami masa ketika muslimah berhijab akan sulit mendapatkan pekerjaan, bahkan di kantor pemerintahan. Lalu apa yang terjadi di negara di mana seluruh wanitanya wajib berhijab?

Pikiran saya lalu melayang, teringat akan sebuah adegan di novel Kite Runner. Novel yang berlatar konflik muslim syiah-sunni di Afganistan itu menceritakan soal keluarga syiah yang bersahabat dengan keluarga pelayan dari kaum sunni. Disebutkan bahwa kaum sunni adalah kaum yang sangat taat beragama, berbeda dengan syiah yang bahkan menyediakan bar di rumah-rumahnya.  Tatkala sang anak bertanya tentang kebiasaan ayahnya menenggak alkohol, si ayah berkata, “Hanya ada satu dosa, yaitu mencuri. Ketika kamu berdusta, kamu mencuri hak seseorang akan kebenaran. Ketika kamu membunuh seorang pria, kamu mencuri sebuah kehidupan. Mencuri hak istri akan suami. Merampok ayah dari anak-anaknya. Ketika kamu berbuat curang, kamu mencuri hak akan keadilan.“

Pernyataan yang menohok dari seorang muslim penikmat alkohol.

*

Abu Laits meriwayatkan dari Usman bin Affan r.a: Berhati-hatilah kamu dari khamar (minuman keras) karena ia adalah induk segala dosa yang keji. Sesungguhnya dahulu ada seorang saleh yang rajin pergi ke masjid. Suatu hari dia bertemu dengan seorang pelacur, maka dia dipanggil oleh pelayannya dan dimasukkan ke dalam ruangan yang kemudian ditutup pintunya. Sedang di sisi wanita itu ada segelas khamar dan seorang anak kecil. Maka berkatalah wanita itu: ‘Engkau tidak boleh keluar hingga meminum khamar atau berzina denganku atau membunuh anak kecil ini. Jika tidak aku akan menjerit bahwa ada laki-laki masuk ke rumahku.’ Orang saleh itu menjawab, ‘Saya tidak mau berzina, juga tidak mau membunuh.’ Akhirnya dia memilih khamar. Dan setelah ia minum maka dia berzina dan membunuh anak kecil itu.

Hingga kini orang-orang yang mabuk pun akan mulai membunuh, memperkosa, dan bahkan masih mencuri. Hanya saja kelompok pemabuk miras itu menambah jaringannya dengan mereka yang mabuk kekuasaan. Harta tanpa kuasa hanyalah tong kosong nyaring bunyinya. Wanita tanpa kuasa adalah serigala tanpa taring. Tahta tanpa kuasa adalah raja yang ditelanjangi.

Entah ada hubungannya atau tidak, tetapi sejak zaman reformasi, orang kini berebut kekuasaan. Setelah berpuluh tahun dipegang oleh satu kelompok, kini dengan adanya demokrasi, orang melihat peluang untuk mendapat kekuasaan secara bergiliran dan oleh sebab itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Mengerikan.

Dan yang lebih mengerikan adalah ketika para haters menantikan berita ditangkapnya mereka yang memiliki ‘tanda’ di dahinya, yang mengenakan hijab, dan yang bergabung di partai politik berbasis Islam atas dugaan korupsi. Sungguh adalah sebuah bencana ketika sesama muslim saling menghujat. But, who’s to blame?

Jika khamar atau minuman keras dianggap sebagai induk dari segala kejahatan, bagaimana dengan korupsi? Jika aturan pemerintah mengizinkan seseorang yang berusia 21 tahun ke atas membeli minuman keras yang dijual bebas bahkan di mini market, bagaimana dengan korupsi?

Zero tolerance. Sejatinya, tidak ada kata toleransi untuk korupsi. Namakan saja sesukamu, komisi, hadiah, bonus, gratifikasi ... tidak ada yang gratis di dunia kapitalis ini. Many times, what you get is not what you deserve.

Be afraid and be ashame. Takut dan malulah kita jika berdekatan dengan korupsi. Seperti ketika malu itu mendorong kita berhijab. Seperti ketika takut itu kian melekatkan kening kita di atas sajadah terlalu lama. Dan semoga Tuhan selalu melindungi kita semua.
#MuslimAntiKorupsi

Kamis, 07 November 2013

Tetap Happy Saat Demam Berkat Fever Patch

<a style="display:block;width:100%;" href="https://fb.bounche.com/rohto/morethanwords/php/banner2.php" ><img style="width:100%" src="https://fb.bounche.com/rohto/morethanwords/fever-badge.png" /></a>


Minggu lalu baru saja bermain terik di siang bolong, minggu ini tiba-tiba cuaca berubah menjadi mendung dan kemudian hujan di sore hari atau di malam hari. Hasilnya? Bisa ditebak. Ada yang demam.

Malika  termasuk yang sensitif saat pergantian cuaca. Setidaknya demamnya itu menjadi jawaban dari kerewelannya beberapa hari belakangan, ketika langit juga tidak jelas apakah hendak hujan atau tidak. Dan ketika suhunya mulai merangkak dari 37 derajat Celcius tetapi adiknya, Safir tidak menunjukkan gejala serupa, yakinlah saya bahwa itu hanya terkait virus yang dibawa angin GJ alias ‘ga jelas’ itu.

Jika ibu saya menyarankan memberikan parasetamol setiap empat jam sekali, saya tidak. Melihat Malika yang masih aktif walau badannya panas, saya lebih memilih menambah asupan cairan. Dan jika sudah waktunya tidur, entah tidur siang atau tidur malam, barulah saya berikan parasetamol. Tujuannya agar dia bisa berisitirahat secara optimal karena suhu tubuh kan tetap berubah-ubah saat tidur dan itu tentu mengganggu alam mimpinya.

Yup, walau sudah diberi parasetamol, terlebih saat malam, Malika pasti masih akan terbangun beberapa kali karena gelisah. Selain kemudian harus diusap-usap punggungnya, jika demamnya tidak naik banyak, saya biasanya mengeluarkan Fever Patch, Plester penurun demam dari Rohto.

Malika memang senang dengan segala peralatan medis. Saat demam dia bersemangat minta diukur dengan termometer. Atau ketika demam itu membuat kepalanya pusing dan tidak bergairah melakukan apa pun, Fever Patch, plester penurun demam dari Rohto itu menjadi hiburan baginya. Plester dingin itu mungkin terasa lucu baginya.

Lain Malika lain Safir. Dia justru termasuk orang yang tidak tahan dengan hal semacam itu. Mungkin karena usianya juga baru dua tahun. Jadi jika hendak menggunakan Fever Patch, plester penurun demam dari Rohto, itu artinya saya harus menunggu hingga dia tertidur. Jika tidak, Fever Patch, plester penurun demam dari Rohto itu akan berpindah tempat entah ke pipi atau bahkan ke kaki. Susah ya kalau barang medis terlalu menarik.

Fever Patch, plester penurun demam dari Rohto ini juga ampuh saat di tidak di rumah, di luar zona nyamannya. Ketika demam Malika meninggi dan hendak dibawa ke dokter, hanya Fever Patch, plester penurun demam dari Rohto yang mau dia pakai. Jadi sembari berada di antrian dokter anak yang selalu mengular itu, Malika tidak termasuk dari anak-anak yang kemudian menjadi rewel karena badannya yang sudah tidak enak itu masih harus menunggu dokter.

Jadilah Fever Patch, plester penurun demam dari Rohto ini penghuni tetap kotak P3K di rumah saya. Minimal dua. Walau dalam satu kemasan berisi dua lembar Fever Patch, plester penurun demam dari Rohto, saya masih perlu satu bungkus lagi untuk cadangan. Yah, namanya juga kakak beradik berjarak dekat, biasanya kakak sakit, adik juga ikutan. Ga mau dong, tiba-tiba Cuma bisa pakai satu sedangkan perlu dua lembar. Dan jika tidak disimpan hati-hati, Fever Patch, plester penurun demam dari Rohto ini akan nyasar di kening salah satu boneka Malika. Duh.