Jumat, 18 Januari 2019

(Seandainya) Liburan Akhir Tahun bareng Laptop ASUS Zenbook




Akhir tahun terjemahannya dah selesai ya ... Tulis kawan sekaligus pengorder saya.
Siaap. Jawab saya yakin karena liburan akhir tahun memang akan dijalani dengan paket hemat alias tidak ke mana-mana. Jadi saya bisa lah liburan sambil kerja, kan ada suami yang libur juga. Gampang lah. Eh ternyata, yang namanya drama liburan memang tidak pernah absen. Membuat saya berkali-kali menghela napas berat ... seandainya liburannya bareng  ASUS ZenBook S.

1. Bengong di pantai. Akhirnya keluar rumah juga, liburan ke Ancol karena si anak cowo satu-satunya mau lihat lumba-lumba. Sudah dari pagi kami berangkat, hari sudah menjelang sore tapi anak3 masih betah berkutat di Ocean Dream Samudera.

“Katanya mau ke pantai?” saya mengingatkan untuk ke sekian kalinya. Kaki sudah pegal bolak balik ke sana-sini.
“Sebentar lagi magrib loh, ga bisa main air.” Barulah mereka berat hati melangkahkan kaki ke Beach Pool Ancol. Setelah sok tahu mau jalan kaki tapi kok ga nyampe-nyampe, barulah kami naik shelter bus. Sesampainya di sana, anak3 langsung dong ganti outfit, suami ke pos peminjaman tikar gratis, dan begitu tikar tergelar, hanya saya yang duduk di tepi pantai. Dan tugas saya sebagai penjaga tas pun dimulai.

Kalau ingat deadline jadi tidak bisa santai walau sudah di pantai

Awalnya masih santai sambil meluruskan kaki. Menyesap teh dengan gelas kaleng yang dibawa sendiri. Selfie-selfie ... dan tak lama mulai mati gaya. Jadi teringat deadline terjemah yang ditinggal di rumah. Ah, harusnya bisa nih sambil nyicil, karena pasti nanti pulang dari sini maunya tidur. Tapi sengaja ga dibawa karena bawaan piknik kita pun berat. Maklum, tidak punya kendaraan pribadi dan karena mau liburan hemat, makanan untuk dua sesi (dan untuk 5 orang) pun nenteng dari rumah. Masa pakai bawa laptop segala? Berat atuh ... kecuali .... kalau pakai ASUS ZenBook S.

Wahai ZenBook sebenarnya dirimu laptop impian atau tubuh impian?

Beratnya hanya 1 kg atau setara 8 ikan lele, dengan ketebalan 12,9 mm alias 1 cm lebih dikit. Kompak banget, kan? Jadi kalau mau dibawa ke mana-mana, tidak perlu mikir dua kali, langsung saja diangkut.  Belum lagi, ZenBook S dapat dioperasikan di cuaca ekstrem mulai dari 0 derajat Celcius hingga 40 derajat Celcius. Jadi, kalau panas-panasan di pantai juga tidak masalah, kan sudah punya kipas kaca kristal cair yang membuat proses pendinginan efisien dan tenang.

Sedang mengingat-ingat kerjaan dan ZenBook S, datanglah si bungsu. “Mau popmie.” Ah ya, sebanyak apa pun makanan yang dibawa, pasti habis dan buntutnya minta popmie juga ^^


2. Mondar-mandir di playground. Liburan waktu itu hampir usai. Mulai resah dan mati gaya, akhirnya memutuskan untuk playdate bareng tetangga. Judulnya tetap murah meriah. Ke planetarium jam 11 dah penuh dong akhirnya melipir ke Pejaten Village menuju area playground. Saya pikir anak-anak yang dominan usia 9 tahun ini sudah tidak terlalu antusias lah main di sini, eh ternyata betah loh mereka.

Si eneng lagi main rumah-rumahan. Entah kapan bosannya. Ami sudah mati gaya ... 

 Saya yang gelisah. Mondar-mandir di playground, foto sana-sini, tapi rasanya masih jauh dari berakhir. Dan saya pun bergabung dengan para orangtua yang sudah lebih mirip boneka tidak terpakai. Teronggok di pojokan.

 Lagi-lagi teringat deadline terjemah saya yang perkembangannya melambat parah selama liburan ini. Harusnya bisa bawa laptop, tapi saya baru saja mengerjakannya hingga pagi dan mendadak dihubungi tetangga buat playdate. Ya buru-buru deh sehingga lupa mengecharge laptop yang sudah berkurang kapasitasnya itu. Kan percuma juga sudah ditenteng berat-berat tapi langsung mati dalam waktu kurang dari satu jam.

Beda memang dengan ASUS ZenBook Syang menggunakan baterai berkapasitas tinggi. Hanya dalam waktu 49 menit, ZenBook S bisa terisi kapasitasnya hingga 60%. Kemampuan daya tahan baterainya juga bisa mencapai 13,5 jam dari kapasitas sempurna. Jadi tidak ketemu colokan dalam waktu lama, tidak akan gelisah. Kerja bisa lebih lama, tapi hanya butuh sekejap untuk mengecas.


3. Me time yang jadi our time.
Ami di mana.
Message dari nomor suami, yang pasti dari anak-anak saya. Padahal saya baru saja duduk di coffee shop untuk mengambil jatah me time sekaligus mengerjakan terjemahan.

Sigh, saya menghela napas dan akhirnya memberitahukan posisi saya. Dan benar saja, sekumpulan anak-anak yang masih belekan dan pasti belum mandi menghampiri saya . Buyar sudah harapan untuk mengerjakan naskah. Ketiga pasang mata anak-anak itu sudah berbinar karena tahu wifi di coffee shop itu kencang. Jadi mereka sudah mengincar nonton Youtube sampai puas yang memang menjadi privilege mereka selama liburan atau sekadar mengetik cerita. Saya minta waktu 30 menit pada mereka, lumayan lah bisa sedikit mencicil, daripada tidak ada. Setelah itu, saya alihkan laptop saya ke mereka.

Ketimbang ke warung kopi saja diikutin. Demi apa?Demi laptop dan free wi-fi.

Pertengkaran sudah dimulai dari sejak layar itu menghadap mereka. Perihal suara kurang jelas lah, merasa kesempitan ketika menonton bertiga, tombol yang kurang sensitif, dan masih banyak keluhan terkait laptop saya yang sudah berumur ini.

Melayanglah ingatan saya ke ASUS ZenBook S. Layar NanoEdge ultra-high yang dimilikinya pasti akan membuat anak-anak bahkan saya terpesona dengan warna dan detail hidupnya. Belum lagi kemampuan audionya. Dengan bekerja sama dengan Golden Ear menghasilkan ZenBook S dengan dua speaker stereo berkualitas tinggi, juga efek surround system yang membuat nonton streaming laiknya nonton bioskop!

Pertengkaran itu akhirnya reda juga setelah sekumpulan makanan dan minuman tersaji di meja. Me time saya secara resmi menjadi our time dengan segala keterbatasannya. Angan saya masih melayang ... someday, kids, someday ....


4. Di rumah saja. Yass, akhirnya bisa konsentrasi mengetik terjemah di rumah. Sambil goler-goler di kasur, nikmatnya. Anak-anak juga lagi kooperatif, mereka sibuk main bertiga dan lagi mereka baru dapat buku baru jadi anteng. Kadang-kadang si bungsu menghampiri saya minta diladeni. Karena pikiran saya lagi fresh, jadi saya membacakan sedikit kalimat di bukunya sambil mengetik.

Saya lebih suka bekerja di ruangan terpisah dengan anak-anak, karena selalu saja ada insiden jika anak-anak dan laptop berada dalam satu ruangan. Oleh karena keterbatasan ruang, saya memang banyak mengerjakan laptop di kasur, tapi begitu anak-anak datang jika tidak segera disingkirkan bisa berubah menjadi malapetaka. Ya laptop ketiban lah, ketendang lah, terinjak, pokoknya teraniaya. Kan beda dengan ZenBook S yang sudah masuk standarisasi militer MIL-STD 810 G dengan menjalani serangkaian uji coba ekstrem, seperti: uji coba buka dan tutup hingga 20000 kali, dibanting ke lantai kayu dalam berbagai posisi, tes getaran untuk teknologi High G-Shock, bahkan colokan port-nya pun diuji hingga 5000 kali. Hal ini menjadikan ZenBook S tangguh. Jadi kalau tidak sengaja terinjak anak-anak, saya pasti tidak histeris, karena mampu menahan hingga tekanan 25 kg.

Mendambakan kehidupan freelancer dengan laptop zenbook gaya seperti ini


Ketika laptop mulai lelah, saya matikan sambil dibiarkan di-charge di pinggir kasur. Sementara saya menikmati rebahan sambil menatap langit dari jendela. Si bungsu datang lagi, kali ini bawaannya lebih banyak, sehingga dia harus manjat miring ke kasur dan tahu-tahu ... BRAKK! Saya bangkit karena mendadak yakin apa yang jatuh. Dan segera saja temperatur saya naik macam Kak Ros saat gemas dengan adik-adiknya. Sialnya, adalah si bungsu yang kena, dan kebetulan yang paling sensitif. Seketika dia pun menangis drama, padahal saya baru berubah jadi monster level 2. Saya pun pause dan meraih kembali laptop yang sudah terbalik di lantai. Memeriksanya dari sudut ke sudut. Sudah dua sudut gompal di situ entah sejak kapan. Meraba keseluruhannya dengan perih, aduuuh semoga masih bisa dinyalakan.

Jadi bingung, lebih pilu lihat laptop jatuh atau anak nangis?

Saya coba nyalakan sambil harap-harap cemas. Berharap terjadi keajaiban ketika laptop saya berubah menjadi ASUS ZenBook S. Si bungsu masih menangis menatap jendela. Setelah menunggu beberapa saat, alhamdulillah, menyala dengan baik. Lalu, saya tengok ke kanan, si bungsu sudah tertidur. Ah, maafkan ami, ya nak.
 
Terjemahannya akhirnya selesai dengan selamat. Walau gedebrak-gedubruk. Yah, liburan kami memang tidak sempurna, cenderung terlalu sederhana. Kawan-kawan anak saya bahkan menganggap liburan kami tidak menarik.

Berenang saja, cari yang gratisan, tapi tetap saja deadline ditinggal di rumah


“Kamu sedih ga dibilang gitu sama teman-teman?” tanya saya pada si anak tengah yang baru saja bercerita tentang perlakuan teman-temannya setelah mengetahui dia tidak berlibur ke tempat yang jauh.
“Ga. Yang penting aku senang kemarin.” Jawabnya enteng.

Ternyata saya yang harus belajar dari mereka. Bisa liburan dengan hati enteng, ga terbayang-bayang deadline yang terkatung-katung. Fix, 2019 harus ganti ASUS. Biar tidak hanya kerjaan bisa selesai lebih cepat, tapi juga bisa menjadi salah satu sumber kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak semasa liburan. Aamiin, yes?