Kamis, 19 April 2018

KAMYStory: Menjelaskan ke Anak tentang Alkohol



Pagi itu selepas shalat subuh, terdengar bunyi dentingan lift. Lamat-lamat terdengar orang yang keluar dari lift mendekat ke arah lift. Ada beberapa orang, salah satu di antara tersedu-sedu. Lalu pintu unit dibuka. Rupanya tetangga yang mengontrak di depan unit. Tak perlu waktu lama, sedu-sedu itu berubah menjadi raungan. Saya dan Malika saling menatap tanpa bicara. Berusaha abai, fokus ke tugas masing-masing. Raungan yang kian menjadi itu kemudian berubah menjadi ...
HOEEEEK! HOOOEEEK!
Ada yang muntah.
D*mn


Jika bicara tentang alkohol, maka bisa dikatakan toleransi saya nol. Bukan dalam artian saya tidak kuat mabuk, tapi it’s a big no no for me. Masa lalu saya memang ada kenakalan yang saya lakukan, tapi yang berkaitan dengan mabuk, saya jauh-jauh. Ga mabuk saja sudah bandel, apalagi kalau mabuk.


Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi hal ini. Pertama, pengalaman saya mendapatkan beberapa pelecehan seksual oleh beberapa orang sewaktu saya kecil, membuat saya memasang alarm-alarm untuk beberapa hal yang mengingatkan saya tentang peristiwa itu. Salah satunya adalah alkohol, karena beberapa dari pelaku memang punya kebiasaan minum-minuman keras, walau saat mereka melakukan hal ‘itu’ pada saya mereka tidak dalam keadaan mabuk. Hal ini mengacu pada pembelaan orang-orang yang berkata bahwa mereka adalah peminum yang bertanggungjawab. Tetap bersahaja bagaimanapun keadaannya. Whatsoever. Buat saya, itu pepesan kosong.


Kedua, saya cocok dengan kisah seorang pemuda alim yang dijebak oleh seorang wanita. “Aku memberimu tiga pilihan untuk kau bisa keluar dari rumah ini, kau gauli aku, kau bunuh anak ini, atau kau minum khamr,” kata si wanita itu. Dan singkat cerita, si pemuda alim memilih meminum khamr karena mempertimbangkan hanya dia sendiri yang akan menanggung akibatnya. Ternyata dia berakhir melakukan ketiga pilihan tersebut.


Ketiga, suami saya memiliki sejarah persahabatan panjang dengan alkohol. Dan walau saya berusaha untuk selalu berpikir positif bahwa dia sudah tidak mengkonsumsi alkohol lagi, tapi sulit bagi saya untuk mempercayai bahwa teman-temannya juga sudah berhenti sama sekali. Biasa, kan, pergaulan mempengaruhi gaya hidup. Jadi ketika dia bercerita tentang masa lalu saat dia sudah terlalu mabuk untuk pulang ke rumah, biasanya dia akan dibawa kawannya ke rumahnya dan hal itu akan menggembirakan istri kawannya karena itu berarti suaminya tidak main gila dengan wanita lain. Seketika itu, saya langsung ketakutan. Man, bawa orang mabuk ke dalam rumah? Dan ada anak-anak di dalamnya? Ga cuma satu, tapi dua! Belum lagi istrinya berjilbab dan anak-anaknya sekolah di sekolah berbasis agama Islam. Bengong saya. Saya langsung merinding teringat bahwa pelecehan seksual yang saya alami pun terjadi di rumah sendiri.  Oleh sebab itu, saya pun menerapkan aturan. No drinkers allowed to come to my house and meet my kids. No way, jose.

Makanya doktrin tentang alkohol kepada anak-anak tidak semata-mata soal agama tetapi juga tentang hal lainnya.


“Nah itulah yang namanya orang mabok.”
Jawab saya ketika tetangga itu muntah-muntah dan Malika bertanya ada apa dengan dirinya. Lalu saya pun ceramah mulai dari segi medis hingga segi sosial. Bagaimana alkohol mempengaruhi tubuh jika dikonsumsi secara berlebihan dan kadar berlebihan bagi tiap-tiap orang itu berbeda-beda. Dan bahwa intinya lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Saya sengaja bicara panjang lebar semata-mata agar suami tidak mengeluarkan komentar-komentar seperti, “ah dianya aja cupu ga tahan minum” dan sebagainya.


“Mabuk itu apa sih?” tanya Malika di usia batita ketika dibacakan kisah-kisah nabi dan tengah menjelaskan tentang perilaku kaum-kaum sebelum datangnya nabi.
Keluar deh kbbi ala saya. Mabuk adalah kondisi yang disebabkan oleh minum-minuman keras.
“Minuman keras itu apa?”
“Yah, yang mengandung alkohol.”


Lain waktu, dia bertanya usai melihat iklan.
“Napza itu apa?”
“Narkotika, obat-obatan dan zat terlarang lainnya.” Jawab saya singkat.
“Apa itu?”
“Zat-zat yang disalahgunakan orang-orang untuk menjadi mabuk.”
“Obat batuk termasuk obat-obatan terlarang, ga?”
“Ya, ga. Untuk kondisi kesehatan, misalnya sakit memang menggunakan narkotika, tetapi hanya boleh dokter yang mengaplikasikannya. Kalau dipakai-pakai sendiri namanya penyalahgunaan. Itu yang ga boleh.”


“Kalau sudah umur 21 tahun, kita dah boleh minum alkohol?” tanya Safir usai menanyakan tentang tulisan “untuk usia 21 tahun ke atas” di lemari pendingin berisi minuman keras di salah satu swalayan.
“Secara hukum pemerintah sih begitu. Tapi menurut hukum Islam, mau umur berapa pun juga ga boleh minum alkohol.”
“Kenapa masih boleh dijual, padahal kan orang Islam ga boleh minum minuman keras?” timpal Malika.
“Karena yang tinggal di sini kan ga hanya orang Islam. Ga semua agama melarang minum minuman keras.” Saya sok cool.
“Padahal kan jelas ga membawa manfaat. Nanti malah nyusahin orang lain.” Sungut Malika.
“Yaah, kalau di negara-negara dingin seperti di Eropa kan minum alkohol membantu mereka untuk merasa hangat.”
“Tapi di sini kan panas,” Malika menjawab balik. “Memangnya ampunwa Nurul minum alkohol, kan di Inggris tinggalnya.”
“Ya, ga sih.” Kadang saya suka lelah meladeni pertanyaannya.
“Banyak orang yang minum-minum karena ingin terlihat gaya, dianggap bisa meredakan stress, bikin orang happy, karena pergaulan.”
Dan dia merengut dengan penuh ketidaksetujuan.


Saat saya berfoto untuk foto di atas, anak kawan saya yang kebetulan juga turut ikut olahraga bersama bertanya, “Emang itu apa?”
“Tempat orang minum bir.”
“Orang Islam boleh ga masuk ke situ?” dan tahu-tahu ibunya menodong saya untuk menjawab.
“Yaah, tempatnya sih ga melarang orang Islam untuk masuk. Mereka kan yang penting bisa bayar aja. Namun seharusnya, orang yang mengaku Islam tidak masuk ke situ.”


Lalu saya biarkan ibu dan anak itu melanjutkan perbincangan.


Pendidikan ini belum berakhir. Semakin bertambahnya usia, akan semakin banyak pertanyaan terkait hal ini yang terucap dari mulut anak-anak ini. Terkadang saya merasa, anak-anak bingung melihat ada begitu banyak larangan yang diterapkan di rumah tapi bertebaran dilakukan di luar sana.


Celetukan seperti, “Apa orangtuanya ga mengajari itu?” berulang-ulang mereka ucapkan untuk berbagai situasi. Bukan dengan nada sinis, tapi serius bertanya.  Yang lama-lama seperti mempertanyakan kenapa seperti hanya aminya yang melarang hal itu.


Saya rasa di satu fase, jika saya salah-salah mengaplikasikan hal-hal yang hendak saya tanamkan, justru rumah sayalah yang kemudian akan dianggap aneh oleh anak-anak karena membatasi diri. Sungguh, harapan saya semoga fase itu tidak pernah ada. Bahwa mereka tidak punya kebutuhan untuk mencoba hal-hal semacam itu. Karena saya ga yakin bakal kuat mengatasinya.


“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS: al Furqan: 74)