Jumat, 20 Maret 2020

Social Distance Kawanan Dino di Hunian 36m2



Terhitung sejak Senin, 16 Maret 2020, baik anak-anak dan suami mengikuti anjuran Guberbur DKI dengan melakukan social distancing terkait meningkatnya status penyebaran Covid-19 menjadi pandemi. Work From Home dan Home Learning. Begitu bahasa kerennya. Alias apa-apa #dirumahsaja. Sebagai seorang ibu rumah tangga, hal ini bukan situasi baru, maklum masih punya anak kecil yang belum sekolah. Jaga kandang dah jadi pekerjaan utama saya. Belum lagi, saya pun termasuk introvert. Maka kerja di rumah (yang berduit maupun ga), olahraga via youtube, bikin konten di rumah, dah lazim ada di jadwal saya. Namun, rupanya tidak membuat saya jadi lebih mudah menghadapi semua ini.

Karena ini bukan liburan. Ketika anak bebas main game di ponsel, nonton sampai belekan, main di luar sampai dekil, atau ke mal hingga duit habis. No. It’s not like that. School from home artinya ada tugas yang disampaikan gurunya. Ada tahfidz yang kemudian jadi dilakukan via online.
Hari pertama, ketika semua masih kagok. Para orangtua lintangpukang. Koordinasi sana-sini. Dokumentasi, lalu share ke nomor yang terkait. Belum lagi anaknya bertingkah karena merasa tengah liburan. Yang dari pagi dah nagih soal, tapi karena belum ada dia jadi main dulu hingga siang. Dan begitu siang, sudah ga mood. Akhirnya butuh 3 jam untuk menyelesaikan 20 soal. Semua usaha ini dikalikan dengan jumlah anak. Itu pun masih ditambah, pertengkaran rutin para kawanan dino. Hasilnya? Senewen tingkat tinggi. Kepala saya pening, mata berkunang-kunang saat magrib menjelang.



Hari kedua, sudah ada jadwal. Disesuaikan dengan jam sekolah. Akhirnya dua ponsel saya jadi bermanfaat. Tadinya hanya satu yang diaktifkan, tapi karena masing-masing anak dapat tugas yang terkadang berupa soal baru yang tidak ada di buku, jadi yah masing-masing pegang, kecuali saya. Ketergantungan saya pada gawai diuji nih. Dari pukul 7 hingga pukul 12. Rupanya penjadwalan ini, membuat anak laki-laki saya kewalahan. Padahal di sekolah toh sama saja muatannya, entah kenapa motivasi berkurang. Mungkin karena tidak ada faktor main di lapangan, jajan di kantin ... Jadinya begitu pukul 11, dia mulai meraung-raung ga jelas. Cuma gara-gara tidak bisa jawab soal, yang dia dah tidak punya hati untuk berpikir jernih pun melihat di buku pelajarannya. Aksi ngambek yang dimulai dari pagi ini dan berlanjut ke siang ini, muncul lagi jelang sore. Akhirnya sesi tahfidz yang biasanya video call dan saya dampingi, saya lepas saja. Terserah deh hasilnya bagaimana. Hasil akhir? Entahlah ...


Hari ketiga, seperti hari kedua. Si kakak sudah bisa mengikuti ritme. Pagi-pagi mengerjakan soal di lorong hingga Om OB datang untuk bersih-bersih. Sebelum zuhur sudah rampung, meski dia ga harus menyetorkan foto kegiatan hari itu. Sementara si anak tengah, dan lagi-lagi anak laki, masih meneruskan mode berulahnya. Tugas dari sekolah sudah mulai bervariasi. Hari itu ada pelajaran agama yang diminta menyerahkan foto dan video saat tengah melaksanakan shalat dhuha dan fardhu. Meski dengan protes sana-sini, “kenapa harus difotoooooo!” akhirnya terlaksana juga tapi Amy ga sempat bikin background rapi. Ya sudah lah, biarin kelihatan jemuran bajunya. Ternyata tidak hanya itu tugas agamanya. Satu lagi, diminta membuat list perbuatan baik di rumah. Nah loh. Anaknya lagi rese begini. Alhasil, hingga jelang pukul 8, saya belum bisa kirim laporan, karena memang belum ada perbuatan baiknya. Wong, bikin kesel melulu. Ya sudah, saya serahkan pada si anak silahkan berasumsi sendiri, apa perbuatan baiknya hari ini. Ditulisnya, “mengambil selotip untuk Amy”. Iye, itu doang yang dia kerjain!!!! (breath in, breath out).



Hari keempat, setelah amukan pol Amy di hari Rabu, saya agak lelah kalau harus ngegas juga hari Kamis ini. Syukurnya gurunya kian kreatif memberikan tugas, dibagikannya video yang kemudian saya balas dengan permintaan voice note dari dirinya. Untuk mengobati rindu anak-anak muridnya. Well, actually, saya yang rindu mengirim anak-anak ke sekolah. Berasa ga sih kalau rasanya kurang berterimakasih pada guru-guru anak-anak kita? Hari ini edisi baper bin mellow lah. Saya pikir variasi tugas dari gurunya akan bikin anaknya lebih semangat. Eh mulai lagi dong tantrum ... kali ini bukan karena susah, tapi karena menurut si anak laki, terlalu banyak soal yang harus disalin sementara waktu sudah menunjukkan pukul 12. Setelah beberapa menit mendengar dia meraung-raung, saya putuskan mendekatinya. Elus-elus dadanya, tanya masalahnya apa. Yak, ilmu parenting Cuma bisa dilaksanakan kalau ortunya juga lagi waras. Kalau lagi ga, mending di kamar aja deh. Anyway, dalam derai airmatanya, si anak laki berucap, “buat apa aku terusin lagi, sudah jam 12!! Nanti ga dinilai lagi!!” Yaelah, anak cowo drama.

Lalu saya kirim pesan ke gurunya. Gurunya bilang akan menunggu, lalu menambahkan, “di sekolah juga tulisnya banyak tapi selesai.” Dan anaknya kemudian tenang sendiri dan mulai melanjutkan tugasnya. 30 menit kemudian, selesai. Eh tapi itu belum selesai, ada tugas PJOK. Saya pikir disuruh kirim video senam, rupanya diminta mengirimkan foto Perbuatan Menjaga Kebersihan di Rumah. Here we go again. Eh tapi rupanya si anak cowo malah semangat ketika diminta lap lemari buku dan difoto saat membereskan mainan- dengan catatan yang difoto pas taruh kotak mainannya, bukan lagi beberesnya. Malu rupanya dia kalau aib kamar kaya kapal pecah gara-gara dia tebar mainan terumbar bahkan viral di media sosial ^^. Urusan tahfidz juga lumayan. Dia jadi belajar menggunakan fitur mengakhiri video (iye, itu kali-kali pertama kawanan dino menggunakan fitur video call secara intens), mematikan suara alias mute saat group video call dan sekarang belajar menggunakan voice note.

Yap hari ini, hari kelima, ada satu pertanyaan yang diminta gurunya disampaikan via voice note. Harus tepuk tanganlah buat walikelas si anak cowo ini. Karena kalau di sekolah negeri kan yah tergantung kapasitas dan kreativitas gurunya supaya ga monoton kirim-kirim tugas untuk muridnya. Harus dijaga interaksinya. Mengingat belum tentu semua anak bisa diajak kumpul via zoom atau google classroom. Pagi ini, guru agamanya mengirimkan voice note agar setiap anak melakukan tadarus pagi. Pembiasaan yang memang dilakukan setiap Jumat. Mana harus difoto pulak. Anak cewe ribet harus pakai kerudung dan ganti celana panjang dan didobel jaket. Maklum belum pada mandi. Dan anak cowo (yes, dia lagi) ngambek karena terpaksa menghentikan tontonannya, Harry Potter and the Sorcerer Stone untuk ke sekian juta kalinya. Akhirnya tadarus sambil pangku alQuran tapi ditutup lalu lama-lama tiduran. Yeah, tadarusnya di luar kepala. Malah saya yang dikoreksi sama dia. But guess what, sekarang pukul 9 pagi, dan dia sudah selesai semua tugasnya. Mungkin karena lebih sedikit dan karena senang dengan salah satu latihan yang pakai google form, juga karena Harry Potter maraton di TV ... yah sudahlah.

Sehari-hari memang nyaris tidak berubah. Saya tetap membangunkan mereka saat subuh dan masih memberi kesempatan bagi mereka main di luar selama 30 menit karena aslinya mereka anak outdoor. Sementara bapaknya, meski judulnya work from home, lebih tepatnya bagi dia adalah work from coffee shop karena kayanya sulit bagi dia kerja kalau digelayutin sama kawanan dino. Sementara saya, yah porsi masak saya jadi banyak sih. Belum lagi diminta suami agak ngestok makanan sebelum harga naik. Kulkas saya yang biasanya isinya kembang es aja, jadi penuh, tumben. Walaupun kepadatan makanan ini sebenarnya akan habis dalam dua minggu, tapi setidaknya ga harus belanja setiap hari. Tapi tiap hari ada aja sih yang perlu dibeli, batere komporlah, roti lah, selai lah, sayur lah. Yah intinya dilakukan pagi-pagi banget biar ga ketemu banyak orang, belanja cepet-cepet, langsung pulang. Ga pakai selfie-selfie ... ^^

Semoga semakin hari kami semakin baik. Begitu juga bumi.