sumber: http://www.indonesia.travel/public/media/images/upload/poi/Museum%20Tsunami%20Aceh%20-%20Gallery%20(10).jpg
Sejak kecil, setiap kali ayah saya mudik ke Aceh, dia akan
kembali ke Jakarta dengan membawa tiga rasa dari Aceh. Rasa historis, rasa
budaya, dan rasa agamis. Ketiga rasa ini seolah tak pernah berpisah dalam
keadaan apa pun. Bahkan ketika tsunami melanda pada 2004 lalu. Saya ingat bahkan
pada 2008 ketika hendak melihat-lihat perlengkapan pelaminan Aceh, si pemilik
berujar, “Sekarang sudah tidak ada lagi yang membuat. Korban tsunami.”
Dalam sekejap, Aceh yan g berpuluh tahun menyandang status
sebagai daerah konflik, daerah tidak aman, berubah menjadi daerah yang luluh
lantak diterjang ombak. Banyak orang mengira, habis sudah riwayat Aceh sebagai
Daerah Istimewa. Namun, banyak pula yang lupa bahwa ombak pun sejatinya menjadi
bagian dari kebudayaan Aceh. Tari saman adalah filosofi deburan ombak dan zikir
yang mengalun di antaranya. Jadi ketika tsunami terjadi, di tengah tangisan
pilu, adalah zikir tiada putus yang selalu berkumandang dalam setiap siaran
televisi. Agaknya itulah salah satu bukti bahwa cahaya harapan itu belum padam
sepenuhnya.
Aceh sungguh kian berbenah setelah bencana itu. Salah
satunya adalah mengadakan lomba desain gedung terkait tsunami. Dan sungguh
terharu rasanya ketika seorang dosen ITB, yang kini menjadi Walikota Bandung,
memenangkan lomba desain untuk sebuah bangunan bernama Museum Tsunami Aceh.
Bagaimana dia menciptakan sesuatu yang merupakan perwakilan dari semua aspek
yang dimiliki Aceh dengan citarasa modern.
Museum Tsunami Aceh terletak di Jl. Iskandar Muda, Banda
Aceh. Museum ini buka setiap hari, kecuali hari Jumat, dari pukul 10.00-12.00. Bentuknya
mencolok, seperti kapal Nabi Nuh yang ada di puncak gunung. Itulah fungsi lain Museum
Tsunami Aceh, sebagai escape building jikalau hal serupa terjadi (naudzubillah
mindzalik). Dari samping bentuknya
memang menyerupai kapal dengan geladak luas lengkap dengan cerobongnya. Kapal
juga merupakan kawan dekat rakyat Aceh sebagai masyarakat pesisir. Sedangkan penyangganya
mengambil ciri khas rumoh panggung Aceh. Sedangkan jika dilihat dari atas, museum ini
memiliki pola gelombang tsunami.
Interiornya tidak kalah menonjol. Museum ini menegaskan
bahwa walaupun Museum Tsunami Aceh merupakan destinasi wisata tsunami, tetapi
ini bukanlah wisata yang bisa dianggap remeh. Malah, lebih pas disebut bagian
dari perjalanan rohani. Lorong Gelap Tsunami adalah lorong masuk dengan efek air
jatuh di dinding. Tsunami kala itu memang membawa gelombang air berwarna hitam
pekat. Aceh saat itu seketika gelap gulita semalaman karena terputusnya aliran
listrik. Wajarlah ada anjuran bagi mereka yang memiliki fobia atau trauma untuk
tidak menggunakan jalan ini.
Lalu ada Ruang Penentuan Nasib. Sebuah ruangan berbentuk
cerobong dengan tulisan lafaz Allah di
bagian puncaknya. Di sepanjang dinding cerobong itu terpatri nama-nama korban
tsunami. Ini adalah cerobong doa, semoga para korban diterima amal ibadahnya di
sisi Allah Swt. Dan bagi yang selamat senantiasa diberikan jalan/petunjuk
menuju arah yang benar.
Dan “jalan yang benar” menurut versi Museum Tsunami adalah
sisi selanjutnya yang bernama Jembatan Harapan. Harapan untuk selamat muncul
ketika para survivor mencapai dataran yang lebih tinggi. Ketika lebih banyak
uluran tangan yang terjuntai, yang digambarkan dengan bendera 52 negara.
Apakah yang dilakukan orang ketika berada di puncak? Dalam
keadaan normal mungkin untuk menikmati matahari terbit lalu kemudian turun
lagi. Namun, saat tsunami, mereka yang selamat mencapai dataran tinggi, juga
tak berlama-lama menatap langit karena mereka meninggalkan kenangan seumur
hidupnya di bawah sana. Dan akan tiba waktunya bagi mereka untuk turun, mengais
sisa-sisa kenangan, menapaki jejak-jejak kerinduan yang mungkin sudah tidak
sama lagi bentuknya. Mereka turun untuk menangis, berduka, merayap, untuk
kemudian bangkit kembali.
Itulah yang Anda akan lihat usai melewati Jembatan Harapan.
Setiap dokumentasi akan tsunami. Diorama tsunami. Ruang bersantai dengan kolam
berisi ikan hias. Toko suvenir. Toko makanan khas Aceh. Semua itu menunjukkan
bahwa Aceh tidak mati. Jangan lupa untuk memasuki area yang berisi informasi dan
simulasi lengkap tentang tsunami dan gempa berbasis iptek. Oleh karena
sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang beriman, dan sebaik-baiknya orang
beriman adalah mereka yang berilmu.
Yang menarik adalah, Museum Tsunami Aceh bukanlah “penghuni”
pertama. Di bagian belakang museum ini ada komplek kuburan Belanda bernama
Kerkhof. Sekali lagi, kedua sejarah ini menjadi bagian dari rasa historis khas
Aceh.
Bencana ini memang kenangan yang menyakitkan. Namun,
jadikanlah ini sebagai pembelajaran bagi kita semua. Bahwa Allah senantiasa
memberikan kemudahan dalam setiap kesulitan. Karena ombak akan senantiasa tercipta dalam bahtera
kehidupan manusia. Pintar-pintarnya kita untuk mampu bertahan dalam kapal kita.
Jadi, jika Anda merasa menjadi orang paling menderita di
seluruh dunia, datanglah ke Aceh. Masuki Museum Tsunami Aceh. Maka Anda akan
memahami bagaimana seharusnya kita menghargai kehidupan.
Sumber: http://m.kompasiana.com/post/read/476854/ada-apa-di-dalam-museum-tsunami-aceh.html
Sumber: http://m.kompasiana.com/post/read/476854/ada-apa-di-dalam-museum-tsunami-aceh.html