sumber foto: Instagram @Qonita_farah_dian
Waktu sudah mulai mendekati pukul 11 siang,
seorang wanita yang tadinya tengah sibuk dengan tube-tube cat acrylicnya di
sebuah gazebo di pinggir kolam renang di Green Palace, Kalibata City, merapikan
kembali bercak-bercak idenya lalu bersegera meluncur menjemput putra semata
wayangnya pulang sekolah.
Namanya Qonita Farah. Setelah menerima
pertemanannya di Facebook, saya terkadang membiasakan diri memanggil dengan
nama aslinya ketimbang panggilan sayang para mama di sekolah yang sering
melibatkan nama anak. Sejatinya kami bertetangga di Kalibata City, tapi baru
bersua saat kedua anak kami berada dalam satu kelas di TK yang sama. Tak lama,
kami pun bergabung di sebuah komunitas yang sama di Kalibata City, Friday Fun
Club. Dari kegiatan FFC lah, saya baru mengetahui bahwa ibu ini adalah seorang
pelukis.
Pertama kali mengetahuinya, I was like what
.... ? Namun kemudian saya ingat reaksi para tetangga ketika saya katakan
menerima orderan kue. Reaksi yang wajar terbentuk karena betapa ‘luasnya’ unit
kami. Tetap saja, saya lama ternganga. Melukis adalah pekerjaan yang secara
fisik membutuhkan ruang dan waktu. Beda dengan kue, yah sehari dua hari lantai
berminyak. Setelah uang diterima, beres pula dapurnya ^^. Apalagi jika
dibandingkan dengan aktivitas saya sebagai blogger atau editor, hanya perlu
laptop. Itupun harus tunggu anak3 tidur, biar aman. But to paint, really?
“Seringkali kita menjadikan banyak hal dalam
hidup sebagai alasan. ‘Karena menikah, jadi terbatasi. Karena punya anak, jadi
terbatasi. Karena ruang sempit, jadi terbatasi’. Semua batasan itu sebenarnya
hanya kita buat sendiri, yang akhirnya hanya membuat kita berhenti (boro-boro
jalan) di tempat. Ketika teman-teman kita sudah ke bulan, kita tidak ke
mana-mana.”
Saya jarang bertemu dengan pelukis atau
seniman betulan. Yang pernah saya temui hanya seorang seniman dari kampung mama
saya bernama Itji. Konon termasuk salah satu pelukis terbaik yang pernah ada di
Indonesia. Dandanannya nyentrik dengan jaket biru. Saya pikir (dan dengan
melihat banyak film tentang seniman) itulah pencitraan seorang seniman. Makanya
saya agak sulit menyandingkan kata ‘pelukis’ dengan seorang ibu rumah tangga
berparas ayu dengan tutur kata lembut itu.
“Dulunya sih pernah arsitek.” Selorohnya di
awal-awal perkenalan kami.
Terkadang saya tidak tahan untuk kepo terkait
latar belakang pendidikan tetangga saya di Kalibata City. Ada yang berbeda dari
mereka, walau statusnya sesama ibu rumah tangga dengan kegiatan mayoritasnya
adalah antar jemput anak.
Lakonnya sebagai arsitek tak lama memang
disandang Mba Farah. Dinas suami mengharuskan dirinya turut berpindah-pindah
kantor. Dari Jakarta, Jogjakarta, Semarang, lalu kembali lagi ke Jakarta.
Hingga kemudian, dia memutuskan tak lagi menjadi pegawai kantoran. Namun,
menjadi ibu rumah tangga sedangkan buah hati belum kunjung tiba, terkadang
menimbulkan sepi di hati, itulah yang kemudian mendorongnya melukis di atas
kanvas. Rupanya, memang tidak ada hal yang muncul secara mendadak.
“Alhamdulillah saat duduk di bangku SD, pernah
beberapa kali menjadi juara di lomba gambar. Hanya saja kegiatan ini berhenti
sama sekali begitu masuk SMP hingga kemudian duduk di bangku kuliah menekuni
ilmu arsitektur. Ada banyak bekal yang didapat dari kuliah, mulai dari
komposisi bentuk dan permainan warna. Setelahnya saya banyak membaca buku-buku
tentang teknik melukis dan beberapa biografi pelukis. Namun, kanvas baru
benar-benar menjadi fokus melukis pada tahun 2007 ketika pindah ke Semarang.”
“Pada tahun 2010, di Jakarta, saya mendatangi
sebuah pameran yang diselenggarakan IWPI (Ikatan Wanita Pelukis Indonesia). Di
sana, saya sempat berbincang-bincang dengan salah seorang pendirinya. Merasa
diterima dengan hangat, saya pun bergabung.”
keterangan: sharing melukis di kegiatan FFC
Kini, fokus lukisan Mba Farah adalah di
kaligrafi kontemporer yang dapat dilihat di Instagramnya @qonita_farah_dian
Kalau diperhatikan, latar sebagai arsitektur senantiasa terbawa dalam
lukisannya, apalagi ketika saya mendapat kesempatan melihat lukisannya saat
masih berbentuk sketsa. Dengan segala garis-garis lurus itu ^^. Dan ada
penggaris tergeletak di dekatnya.
“Tantangan melukis di kanvas adalah teknisnya
alih-alih tahapannya. Coba-coba menggunakan cat minyak dan acrylic. Tapi karena
kemudian saya punya bayi dan tinggal di unit yang terbatas, penggunaan cat
minyak saya rasa terlalu tajam baunya sehingga khawatir akan berbahaya bagi
kesehatan. Akhinya saya memilih acrylic yang lebih aman.”
“Ada masa-masa saya sempat mencari jatidiri
dalam melukis. Namun yang paling utama dibangun adalah kepercayaan diri dalam
melukis. Keisengan mengikuti seleksi golden box yang diselenggarakan Jogja
Gallery dan kemudian diterima, sungguh menjadi alat pacu yang sangat berguna
dalam proses saya menjadi pelukis yang lebih percaya diri dan kemudian
menghasilkan karya-karya yang lebih baik.”
“Awalnya memang tidak PD untuk menjual, tetapi
ketika sedikit demi sedikit karya saya terpasang di dinding rumah saudara saya,
kawan, atau kerabat, itu menjadi pengalaman yang sangat membahagiakan. Sehingga
saya semakin semangat, semakin yakin dalam menggeluti passion ini.”
Dari
sekian banyak genre lukisan, kenapa kaligrafi? Bukankah pencitraannya agak
pasaran? Pikiran saya melayang ke kios-kios penjual
bingkai. Apalagi dengan latar belakang
pendidikan yang terdengar keren itu.
“Mungkin faktor usia juga yang membuat saya
memilih kaligrafi. Dengan melukis kaligrafi saya turut terlibat dalam syiar
Islam. Saya berharap hal ini diridhoi Allah dan lebih bermanfaat bagi orang
banyak sekaligus menjadi energi positif bagi diri sendiri.”
“Justru karena sadar orangtua sudah
menyekolahkan hingga S2, alangkah kasihan mereka jika ternyata saya tidak
menjadi apa-apa dalam artian tidak bermanfaat untuk orang banyak. Dan
alhamdulillah keluarga, terutama suami , sangat mendukung dan tidak
bosan-bosannya memberikan motivasi pada saya agar bisa terus berkarya.”
Dari
unit yang berluas tidak lebih dari 35m3 ini, menurut Anda berapa yang dia
hasilkan setiap bulannya?
“Tidak pasti. Pernah mengalami pesanan hingga
25 lukisan ukuran kecil/sedang. Pernah juga tidak ada pesanan dalam sebulan.
Namun, kalau dirata-rata sekitar 1—4 lukisan setiap bulannya.”
Ruang boleh terbatas, tetapi ide tak akan bisa
dibendung. Mimpi tak akan pernah surut. Jika kita membiarkannya.
“Ide-ide kreatif memang biasanya lebih nyaman
ketika dalam keadaan sepi, tapi pengerjaannya bisa kapan saja. Di depan TV
bisa, di atas kasur pun oke.”
“Suatu hari nanti, ingin sekali bisa pameran tunggal di dalam dan di luar negeri.
Punya galeri yang bisa menghidupi banyak orang. Juga bermanfaat untuk lebih
banyak orang lagi. Ini mimpi atau khayalan ya? Entahlah hihihi ...”
Kata orang life begin at 40. Wawancara ini
dilakukan pada Juli 2016 lalu, dan hari Minggu ini, di bulan November 2016,
beliau akan berangkat ke Aljazair untuk pameran. Semoga semakin banyak dinding
yang ‘bertasbih’ karenamu.
Doa terbaik untukmu, tetanggaku ....