Rabu, 26 Februari 2020

RABUku: AYESHA (Uzma Jalaluddin) - Cinta lewat Prasangka




Kaya judul buku yang lain ya. Pride & Prejudice. Kebetulan buku ini disebut-sebut sebagai versi muslim untuk novel klasik ini loh. Dan ini buku terjemahan, bukan buku lokal. Penulisnya adalah keturunan India muslim yang sudah bermukim di Kanada sejak kecil. Dan budaya yang kental seperti di Indonesia, tentu menjadi tantangan bagi mereka, menjelang terbentuknya generasi pertama di negara yang jelas sangat bertolak belakang dari negeri asal mereka. 


Uzma Jalaludin menulis karena melihat koleksi di toko buku di Kanada jarang sekali buku bertema Islam. Kalaupun ada, seringkali yang diangkat adalah tema kekerasan. Padahal, namanya ibu-ibu kan butuh drama ya, butuh romance hehehe... Buku ini pun rampung setelah bertahun-tahun digarap pada 2018 lalu. Yah namanya juga ibu-ibu. Baru bisa mengerjakan yang lain kalau tugas utama sudah selesai. Apalagi, beliau pun bekerja sebagai guru SMA pun ibu dari 3 bujang.



Adalah Ayesha, seorang gadis yang membawa tumbler merah. Begitu yang tertangkap di pandangan Khalid. Tatapannya sayu... Dan cantik. Ayesha baru saja menerima pekerjaan sebagai guru pengganti di sebuah sekolah menengah di Toronto. Sebuah karier yang dianggap aman bagi keluarga besar Ayesha. Pilihan ini termasuk tidak populer, karena di kalangan India muslim di sana lebih mementingkan para wanita menikah muda ketimbang bekerja. Wanita bekerja dianggap sebagai bakal perawan tua alias gak laku. Tradisi perjodohan atau perkenalan keluarga pria ke keluarga wanita pun masih lazim, tapi Ayesha, karena umurnya, mulai mendapat tawaran-tawaran dari pria-pria yang tertolak. Ayesha sendiri tak peduli dengan nyinyiran keluarga besarnya, dia tak peduli telah banyak melanggar budaya-budayamya. Dia lebih memilih sibuk bekerja, dan rutin mengisi acara pembacaan puisi di salah satu lounge. Tentu saja, tak ada yang tahu soal hal ini kecuali sahabatnya, Clara. 

Sementara Khalid bekerja di bagian IT di perusahaan yang sama dengan Clara. Tapi Khalid berbeda. Dia menerima semua budayanya dengan lapang dada. Tak hanya penampilannya yang kerap menggunakan gamis dan berjanggut tebal, bahkan ke kantor. Dia juga pasrah bahwa dirinya akan menikahi gadis yang dipilihkan oleh ibunya. Meski wajah Ayesha telah menarik perhatiannya sejak pertama kali. 


Saat keduanya pertama kali bertemu muka, prasangka telah menyelimuti mereka. Ayesha merasa Khalid adalah orang yang kolot dan suka menghakimi. Sementara Khalid, merasa Ayesha bukan wanita baik-baik karena mendatangi acara di bar alias lounge tempat Ayesha membaca puisi. 


Sialnya, mereka berdua terpaksa berjumpa lagi di sebuah kepanitiaan acara masjid besar. Oleh karena pertemuan pertama yang tak sempurna, Khalid mengira bahwa Ayesha adalah Hafsah. Gadis muda yang dijodohkan sang ibu. Padahal Hafsah adalah sepupu Ayesha, yang seharusnya menangani acara komunitas tersebut. Akan tetapi karena sepupunya adalah remaja manja, dia seenaknya tidak datang dan terpaksa Ayesha mengaku sebagai Hafsah. 


Cinta Khalid semakin tumbuh. Dia bahagia, pilihan ibunya rupanya cocok dengan hatinya. Tapi Ayesha, perasaannya justru kian membuatnya tertekan. Dia tahu, pada akhirnya, kebenaran akan terungkap. Dan semua akan sirna. 


Ayesha memang meragukan cinta. Melihat ibunya yang hampir tak pernah membicarakan mendiang ayahnya. Sementara Khalid, dia hanya ingin membahagiakan ibunya, karena tahu sejak kakaknya dikirim ke India, ibunya kehilangan kebahagiaannya. 


Menarik melihat bagaimana Uzma mengangkat tema Islamofobia, sekaligus juga gambaran para muslim imigran di sana. Memang ada yang Amir, rekan kerja Khalid, yang senantiasa ke barat dan esoknya terbangun di rumah wanita yang berbeda setiap harinya. Tapi ada juga yang seperti Khalid, tak terpengaruh apa pun. Persahabatan Ayesha dan Clara yang meski jelas sangat berbeda, tidak melunturkan ketulusan mereka. Tanpa prasangka. Meski, dalam urusan percintaan, ada banyak prasangka yang lalu lalang. 


Dalam pengerjaannya, Uzma sama sekali tidak bermaksud membuat versi muslim novel Pride & Prejudice. Namun, karena memang itu buku klasik yang sudah berulang kali dia baca, secara tak sadar ada inspirasi yang tertutur di dalamnya. Meski begitu, Uzma berhasil memberikan cita rasa India muslim dengan sangat baik, sehingga bagi mereka yang belum membaca Pride & Prejudice pun akan merasakannya sebagai cerita yang sama sekali baru. 


Ini memang drama sederhana, akan tetapi senang rasanya bisa menikmati sebuah karya yang menjadi pionir literasi novel islami di negeri orang. Semoga semakin banyak tumbuh Uzma-uzma lain di luar sana.


Saya merasa beruntung bisa menghadiri peluncuran bukunya dan dihadiri pula oleh Uzma Jalaludin bersama suami yang tak henti menatap istrinya dengan bangga. Walau tak sempat berfoto bersama karena saya harus menghadiri rapat di tempat lain. Tadinya saya tak hendak meminta tanda tangannya, tapi kawan saya yang juga manajer Noura Publishing berujar, "Sudah jauh-jauh datang ke Jakarta, masa ga minta tanda tangan?" 


Jadi saya titipkan novel ini padanya, dan beberapa hari kemudian, tiba buku ini dengan  ucapan yang pasti sudah dipesan oleh kawan saya hahahaha... Thank you yaa... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar