Kamis, 10 Oktober 2013

Kerudung, Jilbab, Hijab .... (Setelah dua puluh tahun ....)


Lama aku membolak-balik halaman album fotoku. Terpaku memandangi foto diri sendiri. Bukan karena narsis, tetapi karena teringat ucapan teman SD di komentar facebooknya. Ati, muka lo ga berubah dari duluu!!!
Ini bukan kali pertama dia berkata begitu. Masa, sih? Ada separuh ge er bercampur di kalimat tanyaku. Setelah lama termenung, aku tersenyum sendiri karena tahu jawabannya.
Ini karena jilbabku.
Sekarang orang ramai menyebutnya hijab.

Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, ketika aku memasuki sekolah menengah pertama dengan status negeri, aku justru memutuskan untuk tetap mengenakan hijab. Hijab yang kala di bangku SD Muhammadiyah, hanya seumur upacara sekolah dan menjadi syal di leher saat pulang sekolah.
Saat itu aku tidak banyak berpikir. Aku hanya merasa, tidak ada yang salah dengan memakai jilbab. Dahulu, hanya mereka yang telah mendapat 'pencerahan' yang berani memutuskan berjilbab. Berani keluar dari kemilau fashion terkini. Sedangkan aku yang tomboy, tidak pernah peduli soal fashion, jadi kenapa harus takut berjilbab?
Jilbab
saat itu
adalah kain yang dipotong 115 cm dan dineci pinggirnya. Sesederhana itu. Hijab gaya tanpa banyak biaya? Memang tidak banyak makan biaya, tetapi belum tentu gaya.
Aku ingat di bangku kelas 1 SMP, aku pernah mencoba gaya Neno Warisman dengan dua lapis jilbab. Gaya yang sangat boros di cucian dan berat di kepala karena bahan katun yang bertumpuk-tumpuk.
Atau ada masanya
aku ingin kerudung yang menjuntai panjang di belakang. Untuk itu aku lipat satu ujungnya sedikit saja sebelum dikenakan dan efek panjang pun didapat tetapi aku harus menggunakan satu renteng peniti untuk menata bagian depannya.
Gaya yang membuat kain kerudungku cepat rusak karena penuh lubang.
Banyak orang bilang, dengan berhijab maka menjauhkan diri digoda oleh orang-orang jahil. Sorry to saya, sejak aku TK hingga sekarang, apa pun yang aku kenakan sepertinya tidak menyurutkan keinginan orang untuk tidak menggodaku. Sehingga akhirnya aku pun berhenti berpakaian untuk orang lain.

Gaya bukanlah berarti menjadi perhatian orang. Gaya berarti membuatmu nyaman dan senang.

Gaya bergo panjang lalu muncul ketika aku hendak duduk di kelas tiga SMP. Praktis memang, hanya saja kepalaku nan bundar dan lonjong ini jadi samgat menonjol. Aku ingat teman cowokku senang menggunyeng-ngunyeng kepalaku yang terasa licin dan bulat.

Lalu akhirnya muncullah kain untuk jilbab, dengan renda di pinggirnya. Belinya jauh. Harus ke Bukittinggi dulu. Aku cukup lama bertahan dengan jilbab ini. Saat kuliah, aku menikmati hari-hari berjilbab dengan warna selain putih. Walau masih dengan kain dari Bukittinggi itu.

Lalu di tahun kedua, mulailah bermunculan hijab-hijab Timur Tengah modern. Tren muslimsh mengenakan pakaian tertutup tetapi ketat dari ujung kepala hingga kaki. Yah, namanya juga baru belajar, kataku dalam hati. Sedangkan aku sudah lama malang melintang dan memutuskan bergaya jilbab tomboy. Jika sedang ingin tampil manis, aku ikat ujungnya. Selebihnya, biasa saja. Aku bisa melakukannya tanpa harus menggunakan cermin.

Setahun setelah lulus aku justru bekerja di kantor yang bernuansa islami. Banyak gaya yang kulihat tetapi tidak banyak yang kucoba. Hijab yang begitu rapat di leher tidak masuk dalam daftarku, karena aku gelian. Belum lagi, bahan yang digunakan terlalu lunak sehingga tidak cocok dengan raut wajahku yang ekspresif. Efek rapi hanya bertahan hingga masuk bus, dan kemudian acak kadut ketika turun dari bus yang penuh sesak itu.
Evolusi dalaman kerudung
sudah kumulai sejak awal. Aku memang suka menampilkan dalam kerudung terlebih yang berbeda warna. Mulai dari kerudung segitiga yang kupakai saat madrasah ketika SD, scarf mama waktu di Eropa, hingga kemudian mencoba ciput dengan cara yang salah sehingga lebih terlihat seperti topi, padahal harus bertemu tamu dengan jabatan tinggi. Hijab gaya tanpa banyak biaya. Memang betul, karena saat itu mulai ramai penjual hijab. Tetapi hijab gaya itu mulai meminta perhatian dengan mematut di cermin sedikit lebih lama.
Aku mencoba mengikuti perkembangannya walau tidak selalu. Karena memang bukan itu niat awal berhijab. Bukan untuk terlihat fashionable. Dan ketika kita mulai terlalu berusaha untuk itu, niatan awal jadi melenceng.
Hingga, bertahun-tahun kemudian berada di zona nyaman berkerudung, terjadilah sesuatu. Saat tengah bermain dengan anak-anakku di taman, ada dua orang wanita menghampiriku.
"
Teh, teteh kerja di sini?" tanyanya.
Aku terbengong melihatnya. Lalu matanya bergerak-gerak ke arah anak-anakku. Damn, aku dikira pembantu.
"ini anak-anakku." Lalu mereka pun berlalu.
Suamiku tertawa mendengarnya. Memang sejak mengundurkan diri dari dunia profesional, aku hanya mengandalkan jilbab bergo ketika pergi ke mana-mana. Toh, hanya ke taman di dekat rumah.
Dan peristiwa itu membuatku tidak nyaman. Bukan karena merasa lebih tinggi dari orang lain tetapi bukankah kini aku tidak hanya merepresentasikan diriku saja tetapi juga suami. Kita semua tahu begitu lihat seorang wanita terlihat lusuh, pasti lidah gatal ingin berkomentar, "
G
a diurusin sama suaminya, ya."
Sepertinya sudah saatnya aku update hijab. Dan beberapa hari setelah itu aku sibuk membuka-buka katalog online shop milik temanku. Mencari hijab gaya tanpabanyak biaya. Lalu aku buka lagi gantungan jilbabku. Aku tidak pernah menyortir jilbab. Rasanya aneh. Tidak sama dengan baju. Dan kemudian kuambil beberapa untuk kupadupadankan. Bukankah itu yang dilakukan para muallaf di Eropa yang minim stok hijab? Mereka berkreasi.

Yah, hijab itu masih nangkring di kepalaku. Dan apa pun bahan dan bentuknya, ia tetap membingkai wajahku dengan cara yang sama. Pantaslah mukaku terlihat sama. Penampilanku tidak memiliki dampak seperti model rambut. Walau saat masih jadul, tersesat, malas, atau bahkan ketika sedang genius merangkai jilbab, mukaku tetap sama. Dengan rekah senyum yang serupa. Jadi, buat apa repot?

3 komentar:

  1. saya termasuk org yg pengennya simpel kalo pake kerudung, gak mau ribet gitu....
    sukses ya, ngontesnya :)

    BalasHapus
  2. kalau aku sering kali simpel lebih condong ke berantakan. ya karena itu, muka yang terlampau ekspresif. sepertinya setiap senti kepala berdenyut. apalagi bawa dua bocah, ya ditarik lah, buat gelantungan lah ... sedangkan ga mau sebentar2 benerin kerudung :)

    BalasHapus
  3. hihi, emang kalo udah emak2 paling enak ya pake jilbab yang simple aja yee :)

    BalasHapus