Jumat, 24 Januari 2014

(readie's project): Paquita dan Pangeran Bianglala karya Citra Rizcha Maya

Mendadak saya memutuskan mampir ke rumah mama setelah awalnya hendak melihat salah satu TK Aisyiyah lain di Tebet. Dan saya senang melihat bungkus tiki sudah nangkring di nakas kamar saya. Novel Paquita & Pangeran Bianglala ini juga termasuk pemenang unggulan di lomba cerpen yang diadakan penerbit qanita romance. Dan sudah lama pula ingin saya angkat kisah di balik layarnya karena menyangkut teknis penulisan.

"Aku sudah bertemu dengan jodohku di masa depan."
Paquita, seorang gadis remaja, tak mau mengisi cinta remajanya dengan kisah cinta monyet. Bukan karena dia sudah begitu dewasa pemikirannya, melainkan karena dia menantikan pertemuan kembali dengan pangeran yang pernah dia temui saat usianya masih sembilan tahun.

Bukan, ini bukan mau menyamakan dengan kisah Candy Candy dan pangeran Candy-nya. Percaya deh. Baca dulu, nanti kaget. Kalau dikasih tahu sekarang spoiler banget soalnya.

Dan karena si spoiler itulah mungkin yang menjadikan salah satu alasan bagi juri untuk menunjuk novel ini sebagai kisah dengan ide twist yang menarik.

Saya banyak terlibat diskusi dengan penulisnya saat mengeditnya. Dalam garis besar diskusinya, saya mengutip perkataan salah seorang pemenang lomba cerpen ini kala peluncuran tiga buku pemenang, Shabrina WS, pemilik karya Always be in Your Heart, di salah satu kafe di dekat IKJ "Endapkan naskahmu, jangan langsung dikirim usai menuliskannya. Maka kamu akan menemukan banyak hal yang bisa ditambah, dikurangi, atau diperindah saat membacanya kembali." Dengan kata lain, diedit.

Memang sih setiap penerbit pasti punya editor, mereka dong yang bertugas memperbaiki. (seandainya ada yang berpikir seperti itu). Saya sebagai mantan editor in chief dan kini editor freelance pun lebih memilih naskah yang tidak memerlukan banyak perbaikan dengan ide sederhana ketimbang ide brilian dengan cacat tulisan di mana-mana.

Apakah naskah ini awalnya banyak kecacatan? Nope. Kalau iya, ga bakal kepilih sebagai salah satu unggulan dong. She just needed a little bit time out.

A. A Writing Competition is not a Blog Contest
Usai membaca naskahnya pertama kali sebelum mulai mengedit, saya melihat ada kesan buru-buru dalam pengerjaannya. Dialog yang silih berganti tanpa keterangan sebelum atau sesudahnya. Adegan yang melompat tak kalah cepat. Yang kemudian menghasilkan beberapa hal terlewat, tertukar, terlupakan dll.

Saat saya tanyakan hal ini pada Icha, dia mengakui bahwa dia memang tidak benar-benar membaca lagi naskahnya. Mungkin karena deadline. Namun dia menginformasikan bahwa dirinya sering menulis fiksi dan mempublikasikannya di blog.

Saya jadi teringat diri saya beberapa tahun lalu sewaktu masih menjadi editor kantoran. Saya masih menyempatkan diri menulis di blog. Dan kata 'menyempatkan' memang benar-benar singkat, alias di jam istirahat kerja. Hasilnya? Tulisan yang dibuka dan ditutup dengan tema yang berbeda.

Sebuah fiksi sejatinya dibuat dengan pemikiran mendalam, mulai dari ide, pengaturan alur, hingga twist yang dipilih. Ini berlaku bagi fiksi dalam bentuk cerpen atau novel ya. Sekarang ini, tulisan mendalam tidak berlaku untuk lomba cerpen mini atau fanfict atau lomba blog.

Menulis untuk lomba blog disesuaikan dengan daya tahan si pembacanya. Rasanya tidak manusiawi memberikan 10 halaman cerita dalam satu jendela. Belum-belum si pembaca akan merasa terintimidasi. Biasanya hal ini diatasi dengan membagi-bagi tulisan tersebut. Seolah memberikan pilihan, yang suka cerita ini silahkan lanjut, yang nggak ya boleh berhenti.

Karya Icha ini memang tidak ada yang melenceng dari tema hanya saja kurang hiasannya. Contoh sederhananya adalah penambahan keterangan sebagai pendamping dialog.

Mungkin bagi banyak orang merasa penambahan keterangan ini membosankan. Bayangkan saja harus memikirkan variasi dari, 'ujarnya', 'katanya', 'jawabnya', 'kilahnya', dll. Namun, saya katakan padanya untuk membaca karya Rhein Fathia.

 Harus saya akui, saya bukan penggemar karya lokal, tetapi begitu mengedit naskah Rhein Fathia saya tertarik dengan caranya mengubah frase membosankan tadi dengan banyak keterangan lain. Dia menulis seolah dirinya tengah membuat skenario plus notulensi sutradara. Detailnya tidak membosankan melainkan turut membangkitkan emosi. Saya diskusikan tentang dia nanti ya.

Nah, begitulah sebuah cerpen. Memainkan emosi pembaca dengan naik turun keterangan, yang membuat pembaca perlahan juga harap-harap cemas saat membalikkan halamannya helai demi helai.

Jadi, take your time. Endapkan naskahmu. Lalu kembali dengan pikiran yang segar usai proses kreatif yang jelas menguras jiwa dan raga, dan mulailah memoles.

B. Latar Belakang Bukan Hanya Soal Tempat
Nah yang ini agak spoiler ya. Sesuai dengan judul dan gambar sampulnya, si bianglala ini jadi bahasan serius di chat kami melalui whatsapp. Ada adegan ketika Paquita jatuh dari bianglala ketika dia berdiri.

Saya memutar otak, bagaimana teknisnya dia bisa berdiri lalu jatuh dari bianglala yang seperti kubus itu? Setelah beberapa kali tidak nyambung, saya tanyakan lagi, bentuk bianglala seperti apa yang tengah dia bicarakan?

Dan jawabannya adalah bianglala seperti di film 'Notebook'. Dia bahkan menyebutkan adegan menit ke berapa. Penggemar berat rupanya dan memudahkan saya saat langsung mengecek di youtube. Handphone zaman sekarang, oh kamu keren banget.

Rupanya itu naked bianglala. Bukan berupa kubus. Mungkin kaya becak dipasangin di situ, hanya tanpa roda-roda. Saya buka sejarahnya. Rupanya bianglala model itu populer di Amerika tahun '70 an, setara dengan latar si film 'Notebook'. Nah, saya tidak yakin, apakah model ini juga populer di Indonesia. Karena bagi saya model bianglala paling jadul adalah yang kita temukan di pasar malam.

Saya pun menawarkan beberapa alternatif, perubahan besar atau perubahan kecil tapi rumit. Icha menolak beberapa alternatif karena dia tidak mau mengikatkan diri dengan latar belakang yang menurutnya akan menghilangkan unsur romantisnya.

Oleh karena melihat Icha yang sejak awal sangat kooperatif, saya menampik dugaan bahwa saya tengah berhadapan dengan penulis pemula yang ga mau dikasih tahu demi alasan orisinalitas. Saya harus cari jalan keluar.

Ketika saya pelajari lagi opsi saya, rasanya
terlalu berlebihan jika harus mengubah alur cerita. Agak lama hal itu menggantung di pikiran saya. Hingga kemudian saya putuskan memberi sejarah bagi si bianglala. Dan ternyata hanya membutuhkan beberapa kalimat. =D

Menurut pengalaman saya saat menjadi mahasiswi Ismail Marahimin, latar belakang punya faktor penting. Tidak melulu tentang tempat tetapi juga tentang benda bahkan manusia.

Jadi ketika si penulis bersikukuh tidak menjelaskan latar belakang kisahnya, pilihan nama karakternya menjelaskan setidaknya itu terjadi di Indonesia. I mean, we are not talking about Alice in Wonderland dengan setting yang luar biasa ajaib dan tentu saja pilihan nama karakternya.

 Lalu kemudian pertanyaan selanjutnya, bagaimana bianglala tahun 70-an ala Amerika bisa nemplok di Indonesia dengan segala catatan sejarah yang terjadi saat itu? Nah, di situlah tugas saya. Mempertanyakan semuanya untuk kemudian mencari solusinya.  Bersyukur, Icha menerima penambahan itu. And I hope you will hard to find it. Hehehe ...

Saya harap Anda menikmati bacaan ini. Sebuah kisah yang bisa membuat dirimu iseng bertanya pada diri sendiri, 'diakah pangeran impianku di masa lalu?'

I know he does. =)

2 komentar:

  1. Hi mbak Melati, terima kasih ya sudah menjadikan Paquita jadi 'siap dibaca', pas kita diskusi-diskusi kemaren sumpah dapat banyak pelajaran banget :) nggak lagi-lagi deh buru-buru, sama jangan bosen baca karya sendiri, hihi :) terima kasih juga ya sudah sempat menuli catatan ini, XO

    BalasHapus
  2. hai hai paquita eh icha, kunanti karya-karyamu selanjutnya =D

    BalasHapus