Senin, 29 Februari 2016

Ada Pelaminan di Rumah Duka Lintau

Lintau adalah nama salah satu kampung di Sumatera Barat yang masuk wilayah Batu Sangkar. Sebagai anak yang tidak pernah tinggal di kampung, saya senantiasa merasa kagum melihat bagaimana keluarga besar mama saya tetap mempertahankan tradisi walau tinggal di perantauan. Tradisi di pertahankan saat pernikahan itu biasa, yang tidak biasa adalah bagaimana tradisi dan sistem adat dijalankan saat ada yang meninggal.

Pertama kali saya menyaksikannya adalah ketika nenek saya meninggal dunia. Oleh karena mama adalah anak perempuan tertua, maka serta merta datanglah seluruh adik dan ipar juga bako (sebutan untuk perempuan tertua dari pihak bapak, seperti mak tuo atau dalam ranah Jawa disebut Bu De) ke rumah untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Hal itu dilakukan bukan semata-mata jiwa kemanusiaan melainkan sistem. Pihak bako wajib membawa segala sesuatu untuk keperluan jenazah, seperti kain kafan, bunga, air, dan sebagainya. Sedangkan adik dan ipar mama sibuk bertanya pada saya, "di mana mama menyimpan pelaminan?"

"Eh, pelaminan?"
Mama saya memang memiliki set pelaminan, belum lengkap semua sih. Beliau bercita-cita ingin menjadi penyewa pelaminan walau akhirnya pelaminan mama lebih sering dipinjamkan ketibang disewakan karena mama pun seorang bako utama (nah kalau ini beda lagi topiknya ya). Nah karena topiknya sedang berduka, saya bingung kenapa harus mencari pelaminan?

Rupanya ruang tempat nenek saya akan disemayamkan dihias dengan pernak pernik pelaminan. Seluruh dinding ditutupi kain dasar berwarna merah, oranye, dan kuning. Tema emas terlihat dominan seperti biasa, hanya saja nuansa hitam lebih banyak muncul ketimbang merah. Pada tengah-tengah langit-langit, persis di atas jenazah, ada hiasan utama dengan kaca-kaca di atas kain beludru. Hasilnya? Cantik.

Inilah cara orang Lintau menghormati seseorang yang meninggal. Lahir disambut dengan sukacita, begitu juga dengan saat berpulang ke hadirat-Nya.

Namun sistem adat tidak berhenti di situ, salah satu tradisi yang masih dipertahankan oleh para anak rantau ini adalah sistem berkunjung. Saya ambil contoh yang agak unik, beberapa waktu lalu Datuk yang merupakan adik nenek meninggal dunia. Kebetulan seluruh anak perempuan Datuk ini pun sudah lebih dulu meninggal, begitu juga istrinya. Jadi, satu hari setelah berpulang, mama dan keluarga besar melayat ke rumah duka. Istilahnya melayat anak, karena berasal dari satu 'rumah'. Hari berikutnya, anak-anaknya Datuk dan keluarga yang sudah melayat ke rumah Dayuk, yang datang ke rumah mama saya.

Lho, kok?
Ini namanya saling menghibur di antara yang berduka. Mama saya beserta adik-adiknya termasuk keluarga inti yang berduka, jadi rumah mama saya yang sekali lagi sebagai anak perempuan tertua menjadi base camp kedua.

Kunjungan pun tak sekadar kunjungan, ada bawaannya. Bagi keluarga inti atau bako harus membawa ayam jago kampung berwarna hitam. Nah, waktu nenek saya meninggal, rumah saya kebanjiran ayam hidup. Namun sekarang lebih sederhana, ada yang memberikan uang di amplop yang ditulis 'uang ayam'. Ada pula yang membawa ayam dalam keadaan sudah siap dimakan. Sedangkan untuk pihak di luar keluarga inti membawa beras atau beras ketan dan telur, jumlahnya sekitar 5 atau 7.

Kenapa?
Alasannya adalah ada ketentuan bahwa orang berduka tidak boleh ke mana-mana. Di Lintau sendiri proses orang melayat bisa sampai satu minggu. Nah, karena tidak bisa ke mana-mana, tidak bisa belanja dong. Makanya dibawakan makanan oleh keluarga-keluarga yang melayat.

Nah, karena sudah dibantu, maka sesuai tradisi pihak berduka pun membalas. Apa lagi ini? Khusus yang bawa ayam saja kok. Mereka yang membawa ayam diberi uang sebagai ucapan terima kasih. Nominalnya tentu lebih murah daripada harga ayamnya dan kemudian disesuaikan saja. Misal, ada yang kasih uang ayam sebesar Rp100000,- maka dibalas Rp50000,-. Kenapa tidak langsung bawa Rp50000,-? Itulah namanya disuruh berinteraksi. Kesannya ribet tapi ada maknanya bagi mereka yang ingin memahaminya hehehe ...

Semoga tradisi ini terus dijalankan dan diturunkan seperti ketika mama meminta kakak perempuan saya untuk datang ke rumah saat orang melayat. "Karena kamu anak perempuan tertua." Tempat tradisi dipertahankan. Sedangkan si adik seperti saya yah bagian mempromosikan lah hehehe ...









7 komentar:

  1. Semoga tempat-tempat seperti ini bisa terus dilestarikan.

    BalasHapus
  2. Seneng ya masih ada yg melestarikan adat. Terima kasih ceritanya mbak, jd lbh tau soal salah satu adat di Sumatra :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama2, mbak. ^^ aku malah belum pernah ngalamin di sumatra betulan hehehe ... Mgkn lebih strict lagi

      Hapus
  3. "Ada pula yang membawa ayam dalam keadaan sudah dimakan .." dimasak mungkin maksudnya ... ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah siap dimakan maksudnya, bang hehehe sudah dikoreksi yaaa

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus