Senin, 18 November 2013

Korupsi PNS: Ideal tapi Ilegal

"Waktu uda meninggal, kantornya baik. saya ga masuk kantor enam bulan, teman-teman yang isi absen jadi tetap dapat gaji. Kalau sudah pensiun seperti sekarang ..."

Ucapan salah satu kerabat ini menggantung. Dia bertandang usai menemui dokter terkait kanker payudara yang diidapnya. Hatinya sedih karena mendapat penyakit ganas kala suami sudah wafat dan sudah pensiun dari jabatan sebagai pegawai negeri sipil.

Di ujung sofa, aku lihat papa menggaruk kepalanya dan mencabut tusuk gigi dari genggaman bibirnya. Aku menarik napas dalam, sebelumnya aku sudah lihat dia menggeleng-geleng mendengar cerita kerabat mama itu. Aduh, pasti sebentar bakal ada petir nih. Hatiku membatin.

"Mungkin itu sebabnya ..." ujarnya dengan nada lebih rendah dari perkiraanku.
"Kenapa Pak Tuo?" tanya tanteku ini.
"Mungkin itulah kenapa kamu dapat penyakit ini. Makan gaji buta itu kan sama dengan nyolong. Korupsi."
Aku bisa merasakan papa menekan nada suaranya. Usia membuatnya lebih paham bahwa orang yang di hadapannya ini tidak akan sanggup menerima segala tudingan dari dirinya.
"Oh begitu ya, Pak Tuo. Saya pikir itulah enaknya jika perempuan jadi PNS. Absen jam 8 lalu bisa kembali pulang untuk mencuci dan masak. Jam makan siang sudah bisa di rumah menunggu anak-anak pulang sekolah."
Gambaran suasana wanita bekerja yang ideal memang, tapi ilegal. Aku berbisik sendiri. Dari lirikanku, terlihat papa menyeringai sambil lagi-lagi bergeleng.
Sementara papa melanjutkan pembahasan dengan nada bercanda, pikiranku melayang pada suatu masa. Papa kala itu baru pulang dari Aceh mengunjungi kakak satu-satunya yang masih hidup. Nyak uwa saya itu sudah sakit selama bertahun-tahun dan dirawat oleh anak perempuannya yang sepertinya lebih memilih fokus mengurusi kesehatan beberapa anggota keluarganya ketimbang menikah. Dengan suaranya yang selalu lantang, aku bahkan cukup berdiam di kamar sembari mendengarkan papa bercerita ke mama perihal kunjungannya itu.
"Rupanya selama ini, si I itu bayar obat ibunya pakai jatah berobatnya dia sendiri." Oh, nama sepupu saya disebut. Saya belum paham benar alur ceritanya, maklum, mendadak nguping.
"Begitu saya tanya
, 'bagaimana kamu bayar obat mama dan abang-abangmu selama ini. Gaji kamu kan kecil' Dia bilang 'Oh, pakai jatah berobat saya di kantor, Cek (Om)'. Waduh, langsung saja saya bilang, 'Wah, ga boleh itu! Itu kan bukan hak ibu kamu!' 'Tapi teman-teman yang malah saranin begitu, mereka semua juga begitu. Jadi kita ga susah.'  'Iya memang enak, tapi bukan begitu aturannya. Itu sama saja kamu mencuri. Haram itu uang
. Pantas saja kakak saya ga sembuh-sembuh!'"
Kali ini saya yakin nada dan raut wajah papa saat itu pasti lebih mengerikan ketimbang saat berbicara dengan saudara mama tadi. Dua peristiwa ini menjadi contoh nyata bagi saya bahwa di luar rumah kami ada begitu banyak orang yang tidak sadar dirinya tengah masuk lingkaran korupsi. Mereka menganggapnya kebaikan kantor, padahal mereka pegawai negeri, bukan perusahaan keluarga. Di mana kebijakan bisa diambil atas dasar pengecualian. Saya yakin di perusahaan keluarga sekalipun tidak ada yang mau menggaji karyawan yang tidak masuk selama enam bulan karena berduka. Tidak absen berarti produksi berkurang. Produksi kurang, laba juga turut turun. Hukum ekonomi sederhana.
Mungkin bagi para PNS itu, posisi semacam itu tidak akan memberikan efek bagi dirinya. Maklum, gaji mereka berasal dari pajak rakyat. Siapa yang tahu jika ada pegawai yang tidak bekerja, toh dari dulu pelayanan kementrian itu selalu lelet tetapi tidak membuat rakyat berhenti datang ke kelurahan, ke kantor imigrasi, mendaftarkan anaknya di sekolah negeri, dan masih banyak ketergantungan lain dari rakyat terhadap perusahaan pemerintah ini. Dan ketika mereka didera cobaan berat, mereka merasa bingung salah apa yang telah mereka perbuat.
Celakanya, persepsi keliru diwariskan dari generasi ke generasi sehingga mereka tak lagi melihat itu sebuah tindakan kriminal. Kenyataan yang lebih pahit ditelan ketimbang brotoali.
Saya termasuk beruntung tidak termasuk di dalamnya. Sejak kecil, keluarga kami memang tidak berbau PNS sama sekali. Orang tua saya PNS, tetapi bukan untuk NKRI melainkan untuk Kerajaan Belanda saat mereka menetap dan bekerja di sana sebagai pegawai kantor pos dan perawat. Negara yang memangkas beberapa generasi tua demi membasmi budaya korupsi pada tahun 60-an kala terjadi baby boomer. Dan kemudian menjadi negara paling sistematis dan akurat data individunya. Negara yang berkomitmen memberikan uang pensiun di usia 65 tahun walau hanya bekerja selama 10 tahun dan sudah tinggal di negara lain, seperti kedua orangtua saya ini.
Mereka memang tidak bisa pulang dua jam lebih awal dari seharusnya. Mereka memang tidak bisa membiayai pengobatan orangtua mereka dengan tunjangan pribadi. Mereka juga bukan pemilik gaji tertinggi di Belanda, tetapi mereka tetap bisa menempati rumah dinas (dalam bentuk flat alias rusun dengankeluarga tiga kamar) dan menyekolahkan keempat anak mereka, juga masih ada sisa untuk dikirim ke orangtua di kampung halaman. Yang penting cukup, begitu tekad mereka.
Jadi, takdir manakah yang hendak kau jemput, wahai PNS? Bersenang-senang sekarang, bersakit-sakit kemudian? Atau bekerja jujur selamanya, demi hidup berkah selamanya jua?

2 komentar:

  1. pak tuo itu yg kerja di belanda dan yg menebak bahwa kanker payudara akibat makan duit korupsi serta berobat gak sembuh2 gara2 pake duit korupsi ya?

    kok beda denga teman saya ya, kelamaan hidup di belanda pemikirannya jadi SANGAT RASIONALIS: makan duit korupsi ya gak sampai bisa kanker payudaya, penyebab kanker ya kemungkinan besar karena keturunan atau pola hidup/makanan yang gak sehat dlsb

    begitu juga dengan berobat gk sembuh2....kemungkinan yg hampir mendekati pasti ya karena mungkin penyakitnya sudah akut, atau "ketidakcocokan" dengan dokternya,,,maksudnya mungkin harus dicoba dokter yg lebih profesional.

    teman saya anti korupsi ya karena KESADARAN SEBAGAI MANUSIA saja...bahwa korupsi itu hal yg tidak mengenakkan kalo seandainya kita dipihak sebagai korban, korupsi itu sesuatu yg bisa membuat kekacauan, dan secara naluri manusia itu memang tidak suka dengan kekacauan. gitu saja...

    mohon maaf kalau ada salah kata

    BalasHapus
  2. Heheheh banyak jg kok teman2 papa mama yg bgitu pemikirannya. Ibu saya sendiri perawat jd klo bicara medis ya lebih tau. Tp papa saya sejak kecil sudah ketat belajar agama, di belanda pun aktif di perkumpulan pemuda muslim eropa. Jd walau puluhan tahun tinggal di sana tetep aja ga makan babi =Pm ibu saya aja ga pernah mau lewat red light-lokalisasi yg ad d tengah kota. Jd ktk ilmu agama dr kecil itu disandingkan sama gaya rasionalis eropa, jadinya seimbang. Bahwa apa pun yg tjd sama diri kita, ga semata2 krn faktor kasat mata yg bisa dipertanggungjawabkan di atas kertas. Yah, kira2 begitulah =)

    BalasHapus