Jumat, 08 November 2013

Berhijab dari Korupsi


“Maaf, Bu. Saya mungkin tidak sholeha, tapi saya tidak korupsi.”

Itulah kalimat terakhir dari sebuah status teman saya. Cerita awalnya menjelaskan bahwa dia pernah mengikuti sebuah mata kuliah yang dosennya menyatakan bahwa wanita tidak berhijab adalah wanita tidak sholeha. Sebuah pernyataan yang tidak diamini teman saya yang juga seorang muslim. Dan ketika berbondong-bondong wanita berhijab ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah peristiwa di bangku kuliah ini yang mendorong pernyataannya.

Hijab walau sudah diberi embel-embel modis ternyata masih menggantungkan harapan masyarakat bahwa mereka yang mengenakannya adalah simbol manusia yang telah memuliakan islam di atas segalanya. Saya sendiri termasuk yang tidak suka dengan harapan itu. Saya kan juga manusia, begitu saya biasa membatin. Jika saya harus memutihkan segala yang gelap dalam hati saya, niscaya hijab itu tidak akan pernah terbalut.  Well, itu pendapat saya 20 tahun yang lalu.

Mungkin usia pulalah yang membuat saya terkadang larut gemas dengan mereka yang melakukan khilaf dan terumbar di mana-mana dengan hijab di kepalanya. Ikut malu, saat melihat pemberitaan polisi atau KPK menggelandang wanita berhijab atau suami dari wanita berhijab. Rasanya ingin berkata, what the hell are they thinking of? Yes, do they even think about hell after all?

Hijab dan Islam seolah menjadi kata kunci akan sebuah kemuliaan. Setidaknya di Indonesia dengan Islam sebagai agama mayoritas tetapi sempat mengalami masa ketika muslimah berhijab akan sulit mendapatkan pekerjaan, bahkan di kantor pemerintahan. Lalu apa yang terjadi di negara di mana seluruh wanitanya wajib berhijab?

Pikiran saya lalu melayang, teringat akan sebuah adegan di novel Kite Runner. Novel yang berlatar konflik muslim syiah-sunni di Afganistan itu menceritakan soal keluarga syiah yang bersahabat dengan keluarga pelayan dari kaum sunni. Disebutkan bahwa kaum sunni adalah kaum yang sangat taat beragama, berbeda dengan syiah yang bahkan menyediakan bar di rumah-rumahnya.  Tatkala sang anak bertanya tentang kebiasaan ayahnya menenggak alkohol, si ayah berkata, “Hanya ada satu dosa, yaitu mencuri. Ketika kamu berdusta, kamu mencuri hak seseorang akan kebenaran. Ketika kamu membunuh seorang pria, kamu mencuri sebuah kehidupan. Mencuri hak istri akan suami. Merampok ayah dari anak-anaknya. Ketika kamu berbuat curang, kamu mencuri hak akan keadilan.“

Pernyataan yang menohok dari seorang muslim penikmat alkohol.

*

Abu Laits meriwayatkan dari Usman bin Affan r.a: Berhati-hatilah kamu dari khamar (minuman keras) karena ia adalah induk segala dosa yang keji. Sesungguhnya dahulu ada seorang saleh yang rajin pergi ke masjid. Suatu hari dia bertemu dengan seorang pelacur, maka dia dipanggil oleh pelayannya dan dimasukkan ke dalam ruangan yang kemudian ditutup pintunya. Sedang di sisi wanita itu ada segelas khamar dan seorang anak kecil. Maka berkatalah wanita itu: ‘Engkau tidak boleh keluar hingga meminum khamar atau berzina denganku atau membunuh anak kecil ini. Jika tidak aku akan menjerit bahwa ada laki-laki masuk ke rumahku.’ Orang saleh itu menjawab, ‘Saya tidak mau berzina, juga tidak mau membunuh.’ Akhirnya dia memilih khamar. Dan setelah ia minum maka dia berzina dan membunuh anak kecil itu.

Hingga kini orang-orang yang mabuk pun akan mulai membunuh, memperkosa, dan bahkan masih mencuri. Hanya saja kelompok pemabuk miras itu menambah jaringannya dengan mereka yang mabuk kekuasaan. Harta tanpa kuasa hanyalah tong kosong nyaring bunyinya. Wanita tanpa kuasa adalah serigala tanpa taring. Tahta tanpa kuasa adalah raja yang ditelanjangi.

Entah ada hubungannya atau tidak, tetapi sejak zaman reformasi, orang kini berebut kekuasaan. Setelah berpuluh tahun dipegang oleh satu kelompok, kini dengan adanya demokrasi, orang melihat peluang untuk mendapat kekuasaan secara bergiliran dan oleh sebab itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Mengerikan.

Dan yang lebih mengerikan adalah ketika para haters menantikan berita ditangkapnya mereka yang memiliki ‘tanda’ di dahinya, yang mengenakan hijab, dan yang bergabung di partai politik berbasis Islam atas dugaan korupsi. Sungguh adalah sebuah bencana ketika sesama muslim saling menghujat. But, who’s to blame?

Jika khamar atau minuman keras dianggap sebagai induk dari segala kejahatan, bagaimana dengan korupsi? Jika aturan pemerintah mengizinkan seseorang yang berusia 21 tahun ke atas membeli minuman keras yang dijual bebas bahkan di mini market, bagaimana dengan korupsi?

Zero tolerance. Sejatinya, tidak ada kata toleransi untuk korupsi. Namakan saja sesukamu, komisi, hadiah, bonus, gratifikasi ... tidak ada yang gratis di dunia kapitalis ini. Many times, what you get is not what you deserve.

Be afraid and be ashame. Takut dan malulah kita jika berdekatan dengan korupsi. Seperti ketika malu itu mendorong kita berhijab. Seperti ketika takut itu kian melekatkan kening kita di atas sajadah terlalu lama. Dan semoga Tuhan selalu melindungi kita semua.
#MuslimAntiKorupsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar