“Maaf, Bu. Saya
mungkin tidak sholeha, tapi saya tidak korupsi.”
Itulah kalimat terakhir dari sebuah status teman saya.
Cerita awalnya menjelaskan bahwa dia pernah mengikuti sebuah mata kuliah yang
dosennya menyatakan bahwa wanita tidak berhijab adalah wanita tidak sholeha.
Sebuah pernyataan yang tidak diamini teman saya yang juga seorang muslim. Dan ketika berbondong-bondong
wanita berhijab ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah peristiwa di bangku kuliah ini yang
mendorong pernyataannya.
Hijab walau sudah diberi embel-embel modis ternyata masih
menggantungkan harapan masyarakat bahwa mereka yang mengenakannya adalah simbol
manusia yang telah memuliakan islam di atas segalanya. Saya sendiri termasuk
yang tidak suka dengan harapan itu. Saya
kan juga manusia, begitu saya biasa membatin. Jika saya harus memutihkan
segala yang gelap dalam hati saya, niscaya hijab itu tidak akan pernah
terbalut. Well, itu pendapat saya 20 tahun yang
lalu.
Mungkin usia pulalah yang membuat saya terkadang larut gemas
dengan mereka yang melakukan khilaf dan terumbar di mana-mana dengan hijab di
kepalanya. Ikut malu, saat melihat pemberitaan polisi atau KPK menggelandang
wanita berhijab atau suami dari wanita berhijab. Rasanya ingin berkata, what the hell are they thinking of? Yes, do
they even think about hell after all?
Hijab dan Islam seolah menjadi kata kunci akan sebuah
kemuliaan. Setidaknya di Indonesia dengan Islam sebagai agama mayoritas tetapi
sempat mengalami masa ketika muslimah berhijab akan sulit mendapatkan pekerjaan,
bahkan di kantor pemerintahan. Lalu apa yang terjadi di negara di mana seluruh
wanitanya wajib berhijab?
Pikiran saya lalu melayang, teringat akan sebuah adegan di
novel Kite Runner. Novel yang
berlatar konflik muslim syiah-sunni di Afganistan itu menceritakan soal keluarga syiah
yang bersahabat dengan keluarga pelayan dari kaum sunni. Disebutkan bahwa kaum
sunni adalah kaum yang sangat taat beragama, berbeda dengan syiah yang bahkan
menyediakan bar di rumah-rumahnya.
Tatkala sang anak bertanya tentang kebiasaan ayahnya menenggak alkohol,
si ayah berkata, “Hanya ada satu dosa, yaitu mencuri. Ketika kamu berdusta,
kamu mencuri hak seseorang akan kebenaran. Ketika kamu membunuh seorang pria,
kamu mencuri sebuah kehidupan. Mencuri hak istri akan suami. Merampok ayah dari
anak-anaknya. Ketika kamu berbuat curang, kamu mencuri hak akan keadilan.“
Pernyataan yang menohok dari seorang muslim penikmat alkohol.
*
Abu Laits meriwayatkan
dari Usman bin Affan r.a: Berhati-hatilah kamu dari khamar (minuman keras)
karena ia adalah induk segala dosa yang keji. Sesungguhnya dahulu ada seorang
saleh yang rajin pergi ke masjid. Suatu hari dia bertemu dengan seorang
pelacur, maka dia dipanggil oleh pelayannya dan dimasukkan ke dalam ruangan
yang kemudian ditutup pintunya. Sedang di sisi wanita itu ada segelas khamar
dan seorang anak kecil. Maka berkatalah wanita itu: ‘Engkau tidak boleh keluar
hingga meminum khamar atau berzina denganku atau membunuh anak kecil ini. Jika
tidak aku akan menjerit bahwa ada laki-laki masuk ke rumahku.’ Orang saleh itu
menjawab, ‘Saya tidak mau berzina, juga tidak mau membunuh.’ Akhirnya dia
memilih khamar. Dan setelah ia minum maka dia berzina dan membunuh anak kecil
itu.
Hingga kini orang-orang yang mabuk pun akan mulai membunuh,
memperkosa, dan bahkan masih mencuri. Hanya saja kelompok pemabuk miras itu menambah
jaringannya dengan mereka yang mabuk kekuasaan. Harta tanpa kuasa hanyalah tong
kosong nyaring bunyinya. Wanita tanpa kuasa adalah serigala tanpa taring. Tahta
tanpa kuasa adalah raja yang ditelanjangi.
Entah ada hubungannya atau tidak, tetapi sejak zaman reformasi,
orang kini berebut kekuasaan. Setelah berpuluh tahun dipegang oleh satu
kelompok, kini dengan adanya demokrasi, orang melihat peluang untuk mendapat
kekuasaan secara bergiliran dan oleh sebab itu harus dimanfaatkan sebaik
mungkin. Mengerikan.
Dan yang lebih mengerikan adalah ketika para haters menantikan berita ditangkapnya
mereka yang memiliki ‘tanda’ di dahinya, yang mengenakan hijab, dan yang bergabung
di partai politik berbasis Islam atas dugaan korupsi. Sungguh adalah sebuah bencana ketika sesama
muslim saling menghujat. But, who’s to
blame?
Jika khamar atau minuman keras dianggap sebagai induk dari
segala kejahatan, bagaimana dengan korupsi? Jika aturan pemerintah mengizinkan
seseorang yang berusia 21 tahun ke atas membeli minuman keras yang dijual bebas
bahkan di mini market, bagaimana dengan korupsi?
Zero tolerance. Sejatinya,
tidak ada kata toleransi untuk korupsi. Namakan saja sesukamu, komisi, hadiah, bonus,
gratifikasi ... tidak ada yang gratis di dunia kapitalis ini. Many times, what you get is not what you
deserve.
Be afraid and be
ashame. Takut dan malulah kita jika berdekatan dengan korupsi. Seperti ketika
malu itu mendorong kita berhijab. Seperti ketika takut itu kian melekatkan
kening kita di atas sajadah terlalu lama. Dan semoga Tuhan selalu melindungi
kita semua.
#MuslimAntiKorupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar